Be My Mistake (And I’ll Make You Right)
tonseok one-shot au, commissioned by anonymous. written in 5711 words. tags: post breakup, exes to lovers — getting back together.
Kalau orang berkata bahwa hubungan yang didasarkan dengan banyak perbedaan akan menjadi cobaan untuk lebih saling melengkapi, bagi Eunseok enggak benar-benar begitu terjadi. Sebab yang dirasanya bukan sekedar perbedaan biasa yang bisa diakali dengan perubahan-perubahan kecil supaya bisa lengkap terisi. Karena yang terjadi dalam hubungannya dan Anton adalah kesenjangan sosial yang terlampau jauh maksimal.
Ia bertemu Anton sewaktu mobil lelaki yang lebih muda darinya tiga tahun itu mogok di tepi jalan. Kemudian empati tinggi yang dimilikinya membuat motor yang dikendarainya turut berhenti. Terlihat wajah kalut Anton dengan ponselnya yang enggak berfungsi dan Eunseok simpulkan bahwa mungkin kehabisan daya—tapi itu enggak penting, sebab waktu itu sudah malam hari dan jalanan sepi.
“Kenapa mobilnya?” Eunseok bertanya setelah ia turun dari motornya, melangkah mendekat sambil menatap kap mobil yang terbuka. Asalnya, sih, sok tau saja. Kemudian pandangannya bertemu dengan tatapan penuh takut yang dilempar padanya oleh Anton yang berdiri kaku. Bibir bawahnya digigit ragu. Ia menjauh dengan langkahnya yang mundur satu persatu.
Pun Eunseok menyadari bahwa mungkin penampilannya kurang meyakinkan—kemeja flanel lusuh dan jeansnya yang robek-robek, kontras dengan penampilan Anton yang terlampau trendy dengan balutan kaos putih polos dan varsity jacket serta celana pendek. Yah, Eunseok tanpa perlu menyimpulkan ini-itu juga sudah tau pasti perbedaan ini, sebab seonggok mobil yang mogok adalah Pajero Sport. Jauh apabila disandingkan dengan motor bututnya yang kalau dibawa berkendara kadang mereot-reot.
“Tenang, saya bukan begal, kok,” Eunseok terkekeh bukan karena ada yang lucu, sebab saat ini ia betulan ingin membantu. “Saya kebetulan lewat di jalan ini, terus liat mobil kamunya lagi gak oke. Jadi mau coba mampir siapa tau ada yang bisa saya bantu.”
Anton saat itu anggukan kepalanya paham, bibirnya ciptakan senyum tipis untuk menghantarkan kehangatan kala angin malam berhembus kencang.
“Sorry, sorry, gue agak panik aja tadi...” tuturnya lembut, suaranya begitu pelan hingga Eunseok hampir enggak mendengar. “Handphone gue mati, jadi gak bisa ngabarin siapa-siapa kalo mobil gue mogok. Makanya sekarang bingung mau gimana...”
Tengkuknya yang digaruk frustasi entah kenapa bisa membuat Eunseok mengulum senyum diam-diam. Menggemaskan. Tapi Eunseok mendadak dihantam kenyataan bahwa ini bukan saat yang tepat untuk ia rapalkan puji. Maka ia keluarkan ponsel miliknya dari saku celana. Ponsel dengan retakan di layar kaca—nyaris enggak lagi bisa terpakai, tapi keadaan memaksanya untuk tetap menggunakan ponsel tersebut.
“Pake handphone saya aja kalo gitu,” katanya. “Maaf kalo keliatannya udah gak layak pake. Tapi itu masih bisa nyala dan bisa dipakai buat telepon—”
Kemudian Anton anggukan kepala, menerima ponsel yang dipinjamkan untuknya lalu mengetik nomor telepon orang rumahnya untuk segera membantu. Tapi baru saja panggilan menyentuh didetik kelima, Anton menolehkan kepalanya bertanya-tanya.
“Walaupun suaranya jadi enggak jelas...”
Anton terkekeh sambil gelengkan kepala, lucu pikirnya. Berlanjut ia mengatakan kondisinya saat ini setelah itu ia kembalikan ponselnya ke tangan Eunseok.
“Aman,” ucapnya pelan. “Bentar lagi ada yang mau nyusul gue buat angkut mobilnya. Tapi ya... lumayan lama nyampenya.”
Mengangguk paham, Eunseok menerima ponselnya kembali untuk dimasukkan kedalam saku celananya. “Kalo gitu, mau nunggu sambil makan dulu?”
Bola mata Anton membesar bak anak anjing yang bersemangat diberi mainan, “Ada tempat makan emangnya di daerah sepi begini?”
Kini giliran Eunseok yang garuk tengkuknya bingung, “Adanya warung kopi sederhana... tapi makanannya enak-enak, kok! Oh, kalo kamu enggak terbiasa mending jangan—”
“Gue mau coba. Ayo ke sana?”
Dan untuk kali pertama, Eunseok membonceng sosok lelaki yang baru dikenalnya menuju warung kopi. Menggelikan, diam-diam ia tersenyum di balik helm yang dikenakan. Kemudian warung kopi bertenda di tepi jalan pada tengah malam itu jadi tempat singgah. Dua cangkir kopi juga dua mangkuk mie datang setelah dipesan. Anton memandang penuh bimbang, sementara Eunseok sudah sampai beberapa suapan.
Menyadari hening sebab bangku di sampingnya enggak bergeming, Eunseok menoleh dengan mulutnya yang penuh—mengembung pipi kanan dan kirinya juga matanya yang membola. Anton refleks menutup mulutnya, tertawa kecil menyaksikan tingkah lucu yang enggak disengaja.
“Kok gak dimakan? Gak suka mie goreng?” tanya Eunseok setelah menelan makanannya sampai habis. “Maunya mie kuah kali, ya? Kalo gitu biar aku ganti aja ya.”
“Enggak. Enggak usah,” potong Anton dengan gerakan tangannya yang dikibaskan. “Gak apa-apa, gue cuma seneng aja liat lo makannya lahap.”
“Hah?”
Ada kekeh patah-patah yang keluar selanjutnya, “Lucu.”
Dan Eunseok gak pernah tau satu kata yang dilontar oleh orang yang belum ia ketahui namanya siapa pada malam itu entah betulan sebuah pujian atau sekedar gurauan. Yang pasti, malam itu secarik kertas berisikan nama juga alamat lengkap diterima di tangannya usai kedatangan beberapa orang yang menjemput Anton untuk pulang.
“Thanks, uhm...?”
“Eunseok,” sebutnya memperkenalkan.
“Okay, Eunseok. Thank you, gue gak tau kalo tadi lo gak bantu bakal gimana,” tutur Anton bersamaan dengan pintu mobil dibukakan oleh orang berseragam hitam yang menjemputnya. “If you don’t mind, bisa ketemu lagi lain waktu?”
Yang ini. Yang ini bagian yang Eunseok tunggu-tunggu. Senyumnya terulas bersamaan dengan anggukan kepala penuh antusias.
“Bisa. Bisa, Anton.”
“That’s the answer I want to hear,” balasnya dengan wajah yang bersemu merah.
“Tuan, silakan masuk. Di rumah sudah ditunggu.”
Maka kalimat yang didengar keduanya kala itu menjadi alarm perpisahan pada kali pertama mereka bertemu. Anton memasuki mobil jemputannya lebih dulu, sementara Eunseok hanya berdiri menunggu mobil yang dinaiki oleh Anton melenggang pergi. Nyatanya enggak langsung terjadi, sebab jendela mobil dibuka dan Anton menyembul di sana.
“Kabarin gue secepatnya, ya? Gue tunggu.”
Kertas di tangan Eunseok diremat kuat-kuat bersamaan dengan jantungnya yang kian bergedup makin cepat. Perjalanan pulang Eunseok dengan motor bututnya malam itu menjadi perjalanan pulang yang terasa panjang. Senyumnya enggak berhenti tersungging, isi kepalanya berbunyi nyaring; Eunseok resmi jatuh cinta pada kali pertemuan pertama.
Mengambil keberanian, sesampainya di kosan Eunseok langsung menyentuh ponselnya untuk mengetik sesuatu di sana. Nomor telepon Anton yang tertera di secarik kertas yang sedikit kusut setelah digenggamnya sepanjang jalan. Diambil napas penuh persiapan tatkala Eunseok mulai mengetik sebuah pesan.
Eunseok:
Anton, ini aku. Eunseok.
Terkirim. Eunseok langsung meraih bantal kupuknya di sisi kasur, digenggam kuat-kuat menunggu balasan yang kemudian datang.
Anton:
Hi, Eunseok!
Beneran dikabarin nih ya guenya.
Rugi besar kalau Eunseok enggak memutuskan untuk terus jalan.
Eunseok:
Ya, hahahaha.
Yang tadi beneran?
Mau ketemu aku?
Dan Eunseok enggak pernah merasa menggelikan seperti saat ini.
Anton:
Beneran.
Gue mau ketemu lo lagi with better conditions, enggak kaya tadi pas kerepotan mobil mogok. Lol. Sorry bikin lo repot.
Kalau enggak ada insiden mobil mogok, Eunseok gak bakal menaruh rasa (yang masih terdengar konyol mengingat ini pertemuan pertama) maka Eunseok enggak menganggap bahwa hal tersebut menjadi hal yang merepotkannya. Harusnya ia berterima kasih pada kesialan yang terjadi—meski ia enggak sepenuhnya ingin itu terulang lagi.
Eunseok:
Enggak ngerepotin, kok.
Aku seneng bisa bantu kamu.
Anton:
I just realized lo kalo ngobrol pakenya aku-kamu.
Lucu.
Ke gue aja atau ke semua orang juga sama?
Pertanyaan yang dibacanya barusan buat Eunseok sontak merubah posisinya menjadi duduk tegak. Ia gigit bibir bawahnya sekejap.
Eunseok:
Emang kenapa kalo aku ke yang lain begitu juga?
Terlihat pemberitahuan bahwa Anton sedang mengetik balasan.
Anton:
Yaaah.
Geer dong guenya wkwkwkwk.
Kali ini kasur Eunseok yang mengepul debu diinjak dan dipakai untuk melompat-lompat. Kalau sudah begini, bukankah jelas bahwa Anton juga mengalami perasaan yang serupa, bukan?
Eunseok mau temukan jawabannya sekarang. Hari ini. Setelah semalaman memiliki beragam topik obrolan yang berhenti karena ia ketiduran, Anton membawa motornya membelah jalanan siang untuk sampai di tempat yang sebelumnya sudah ditentukan. Sebuah kafe yang letaknya di tengah kota. Eunseok memakai pakaian terbaiknya—kemeja putih dan celana kain. Ia datang lebih dulu, duduk di meja paling ujung yang langsung menghadap pada area parkiran.
Enggak berlangsung lama, Eunseok mendapati seonggok mobil berhenti. Diparkirkan dengan handal oleh sang pemilik yang membuat Eunseok hampir memekik—ternyata Anton yang keluar dari sana. Ganti mobil, ternyata. Tapi Eunseok enggak menaruh peduli pada fakta tersebut, sebab ada kehadiran Anton yang lebih menarik sewaktu menyadari keberadaannya di dalam kafe. Senyum manis dan lambaian tangan diterima oleh Eunseok seorang, ia anggap begitu meski jajaran orang-orang kegeeran.
“Hai. Udah nunggu lama, ya?” sapa Anton setelah menduduki dirinya di kursi yang berhadapan dengan Eunseok.
“Enggak!” Eunseok menggelengkan kepalanya. “Aku baru dateng juga, kok.”
Aku, lagi. Anton enggak tau bahwa mengobrol dengan seseorang yang menggunakan embel-embel aku-kamu bisa selucu ini. Atau mungkin hanya Eunseok satu-satunya yang membuat ia berpikir begini?
“Semalem lo bilang lebih tua dari gue tiga taun, ‘kan? Gimana kalo gue jadinya panggil lo Kak Eunseok aja?” Anton lontarkan pertanyaan. Kali ini serius setelah semalam saat bertukar pesan, ia mengetahui fakta selisih umurnya dan Eunseok yang terpaut tiga tahun. Mengejutkan, memang. Saat ini ia masih memegang status mahasiswa baru, sementara Eunseok sedang bergumul dengan tugas akhirnya yang belum usai juga.
“Enggak perlu juga gak apa-apa, Anton... kamu bisa lebih santai, kok—”
“Okay, Kak Eunseok, jadi mau pesen apa ini ya?”
Dan yang harus Eunseok ketahui, Anton enggak bisa dibantah sama sekali. Jika maunya begitu, maka harus begitu. Eunseok lantas mengatupkan bibirnya, merubahnya menjadi segaris kurva tipis. Menyenangkan mendengar Anton berkali-kali mulai memanggilnya dengan sebutan Kak Eunseok dalam obrolan yang berlangsung selama beberapa jam.
Setelah hari itu, mereka enggak berakhir dengan kesialan. Sebab mereka memutuskan untuk melanjutkan hari-hari bersama setelah mengetahui fakta bahwa mereka sama-sama suka. Sama-sama ingin mencoba. Sama-sama ingin menjalankan hubungan yang pasti berdua.
Tapi lika-liku enggak bisa ditangani begitu saja. Ada kalanya Eunseok merasakan insekuritas yang membuat kepalanya penuh dengan keputusan; berhenti dan enggak perlu dilanjut lagi karena ia tau bahwa akhirnya enggak semulus FTV. Di mata keluarga Anton, mungkin dirinya enggak akan dipandang bak seorang pangeran yang datang dengan gagah untuk mengencani anaknya. Sudah pasti. Kendati demikian, Eunseok rasanya mau berhenti. Tapi Anton selalu meyakini bahwa semua isi pikirannya enggak bakal terjadi.
Kemudian Eunseok pikir memang begitu. Semua isi pikirannya enggak bakal terjadi, benar adanya memang. Tapi hal lain yang datang. Bersama Anton, Eunseok dibuat terkejut dengan kenyataan bahwa orang berduit dapat memudahkan segalanya. Harta dan kekayaan adalah kuncinya. Beberapa kali Eunseok mendapati Anton yang menyelesaikan masalah dengan hak istimewanya sebagai konglomerat yang dengan mudah membuka dompetnya supaya masalah dapat selesai dengan mudah.
Tapi Eunseok enggak punya alasan untuk menasihati atau sok menggurui—selagi Anton enggak melakukan hal yang serupa padanya sebagai pasangan, seharusnya Eunseok enggak perlu keberatan, bukan?
Harusnya. Sebab yang terjadi setelah tahun kedua menjalin hubungan, Eunseok merasa masalah mulai berdatangan. Tapi semuanya terkurung di dalam pikiran. Penyakit, memang. Seharusnya masalah dalam hubungan bisa selesai dengan dibicarakan. Tapi baik Eunseok maupun Anton, keduanya memilih untuk menanggap bahwa semua akan baik-baik saja.
Pun semua ada puncaknya.
Eunseok menyadari bahwa ada tembok tinggi yang membentang selama ia dan Anton berdua dan berdampingan. Jika Anton mengabari bahwa agenda harinya penuh dengan foya-foya, maka Eunseok juga punya waktu untuk keras bekerja. Jika Anton memberi tau hobinya yang merangkap menguasai olahraga air, maka Eunseok adalah seorang manusia yang menjalani kehidupan monotonnya dengan penuh tawa getir. Pun ketika Anton membawa langkahnya dengan sepatu mewah yang harganya berkisar puluhan juta, maka Eunseok cuma memakai yang seadanya; yang solnya sudah rapuh dimakan waktu hingga mengaga seperti dirinya yang mendapati Anton dengan mudah membayarkan segalanya.
Begitu.
Semuanya dirasa Eunseok dalam kurun waktu cukup panjang. Melelahkan. Seperti ketika saat ini ia mendorong motornya yang mendadak ngadat tanpa sebab. Padahal ia dan Anton ada janji temu malam ini. Sudah dipastikan bahwa Eunseok telat sampai di tempat yang dijanjikan. Sialnya, ponsel payah miliknya itu sudah mati total setelah berusaha untuk bertahan hidup dengan segala kerusakannya dari luar dalam. Maka Eunseok enggak bisa mengabari Anton bahwa saat ini ada hal yang menghalanginya untuk datang tepat waktu.
“Anton, maaf aku telat datengnya. Tadi motor aku mogok jadi aku harus dorong—”
“Kamu tau gak aku udah nunggu di sini berapa lama?”
Eunseok sudah sampai. Menghampiri Anton yang duduk di kursi dengan tangannya dilipat di dada dan tatapannya yang tersorot bosan. Kemudian Eunseok meminta maaf atas keterlambatannya, namun respon yang diberi adalah berupa kalimat yang dilontar dengan tegas dan datar—enggak lagi lembut dan pelan.
“Tau, Anton. Tapi—”
“Dua jam, Kak. Aku udah nunggu kamu dua jam. Terus kamu dateng dengan penampilan berantakan kaya gitu, alasannya karena motor kamu mogok?” Anton menghela napasnya. “Aku udah bilang juga ‘kan kemarin? Mending kamu terima motor yang aku beliin supaya kamu gak ada lagi alesan kaya gini.”
“Anton—”
“Lagian apa susahnya, sih, tinggal terima doang?”
Pertanyaan yang seketika membuat rongga dada Eunseok sesak. Emosinya naik meluap.
“Susah!” Eunseok membantah dengan suaranya yang tinggi. Seisi restoran memandang keduanya sebagai pusat perhatian saat ini. “Buat kamu semuanya emang gampang, ya? Emang mudah. Apa-apa bisa kamu ganti. Apa-apa bisa kamu beli. Tapi kamu mikir gak? Yang kamu ajak ngobrol sekarang tuh siapa?”
Dan Anton mengerjap, ini kali pertama Eunseok membentak.
“Kak, maksud aku gak gitu—”
“Ini yang aku gak suka dari kamu, Anton,” tuturnya jujur. “Kamu bisa menggampangkan segalanya karena kamu orang berada. Aku pikir aku gak bakal dapet perlakuan kamu yang begitu karena aku pacar kamu. Tapi ternyata sama aja.”
Bibir yang termuda gemetar, pupil matanya juga membesar. “Kak, I swear, aku gak maksud buat bilang gitu.”
Tapi Eunseok sedang dilanda perasaan paling kacau. Enggan mencoba mengerti karena malam ini, semua yang dirasanya dari tempo hari seperti divalidasi. Insekuritasnya menjadi-jadi. Kemudian ia menundukkan kepalanya sekilas untuk merasakan kekecewaan, setelahnya diangkat untuk bersitatap berlawanan.
“Aku baru sadar, harusnya hari itu aku gak mutusin buat berhentiin motor aku supaya bisa nolong kamu. Harusnya aku tau kalau orang kaya aku cuma hal kecil di mata orang yang bisa menggampangkan semuanya dengan uang,” Eunseok menjeda. “Aku pulang. Besok-besok gak perlu dateng nyusulin aku ke kosan atau bayar orang buat mantau aku. Simpen uang kamu buat hal yang lebih berguna dan gak perlu pacaran sama aku yang bukan apa-apa.”
Anton malam itu ditinggal sendiri. Ditinggal tanpa janji, barangkali semua masalah hari ini bisa dibicarakan esok hari. Sebab Eunseok benar-benar pergi. Benar-benar pergi. Ia sendiri, menjalani kekosongan hari selama dua tahun yang menyakitkan; ini semua karena sebuah kesalahan dan Anton tau bahwa ia adalah sebuah alasan.
Semua terus berjalan. Anton merasa hari-hari yang biasanya dilengkapi dengan sambutan pertemuan berupa senyum dan lambaian tangan enggak lagi menemaninya hingga ia dibiarkan jadi manusia kesepian.
“Pokonya, besok pasti acara tunangan gue jadi acara paling meriah taun ini. Masuk TV deh kalo bisa. Kepampang di layar kaca muka gue sama calon suami gue yang super bahagia!”
Mendengar celotehan Wonbin yang ia temani dalam agenda pengepasan baju ini membuat Anton memijat pelipisnya frustasi. Tau bahwa temannya ini cerewet minta ampun, tapi sudah hampir seminggu pendengarannya jadi tempat untuk diteriaki heboh.
“Tapi, Ton, lo beneran mau dateng sendirian aja?”
Ini bagian menyebalkannya.
“Ya emang mau sama siapa lagi, sih, gue?” Anton menanggapi dengan malas. Pertanyaan retoris.
“Ya... siapa tau lo mau dateng sama temen lo gitu. Ih, emang lo beneran gak ada pacar apa ya?!”
Bawel. Untung Anton dilahirkan dengan kesabarannya yang luas. Kalau enggak, mungkin Wonbin sudah habis dibalas.
“Enggak kepikiran juga gue, Bin.”
Mendadak suasana jadi sedikit sendu. Wonbin memberi gestur memerintahkan para pegawai untuk keluar dan meninggalkan ia dan Anton berdua. Diawali dengan Wonbin yang mendudukkan diri di sofa kemudian melipat satu kakinya.
“Enggak kepikiran atau lo cuma pengennya sama si Mas Jawa yang gemes itu?”
Anton tertawa, menggelengkan kepalanya enggak menyangka. “Siapa, sih, maksudnya? Aneh-aneh aja lo, tuh. Enggak ada ya. Gue beneran gak kepikiran apa-apa.”
“Yeh,” tukas Wonbin. “Boong banget tau gak? Dikata dua taun ini gue gak tau apa kalo lo masih suka nyari dia ke mana-mana? Tanya sana, tanya sini, sewa orang buat cari informasi. Gue tuh tau, Ton. Gue tuh tau kalo lo belum bisa lupa. Menurut gue juga itu hal yang wajar-wajar aja, kehilangan orang yang ninggalin lo dengan rasa bersalah tuh beratnya berkali-kali lipat. Paham banget gue.”
Harusnya Anton menolak permintaan Wonbin untuk menemaninya fitting kalau tau bahwa ujung-ujungnya ia dibuat mendadak galau hingga membawa mobilnya ugal-ugalan.
Karena memang benar.
Anton enggak cuma kehilangan. Sebab Eunseok meninggalkan sisa rasa bersalah yang buatnya merasa mengganjal entah sampai kapan—mungkin sampai semuanya habis karena ditelan pelan-pelan. Itu kemungkinan (yang sedikit) baiknya. Kalau kemungkinan buruknya: ya sudah, biarkan Anton dan segala rasa bersalahnya hidup berdampingan sampai hari tua.
Sampai di rumah dan memakirkan mobilnya di garasi, Anton bergegas masuk untuk membersihkan diri. Tetesan air hangat yang keluar dari shower kamar mandi ia harap bisa meluapkan perasaan resahnya hari ini. Pun ketika Anton duduk di tepi kasur sambil memandang nakas di sisinya. Sontak terdengar sorakan buka, buka, buka! Yang berakhir Anton mendekat kemudian membuka laci ketiga.
Fotonya dan Eunseok yang diambil saat itu setelah bermain seharian lalu mampir untuk mengabadikan momen kebersamaan di balik bilik photobooth lalu mereka sempatkan untuk berciuman.
“Kamu kecil banget, Kak. Sekecil ini kalo di samping aku. Bisa kegencet kalo kita dempet-dempet.”
“Akunya yang kekecilan atau kamunya aja yang kegedean?”
“Kamu yang kecil. Aku yang gede. Gitu aja. Adil, ‘kan?”
Pipi Anton dikecup sekali, curi-curi. “Adil.”
Hangatnya masih terasa menjalar di pipi kanan Anton. Masih terasa bagaimana Eunseok mengecupnya sekali. Meninggalkan jejak basah yang buat sekujur wajahnya memerah. Senyumnya tersungging. Hari itu ia dan Eunseok kelewat bahagia. Dan kalau bisa, Anton ingin mengulanginya sekali saja.
Lamunannya mendadak buyar. Anton mendapati dering ponselnya yang disimpan di sisi kiri, memerhatikan siapa yang meneleponnya dini hari. Ternyata si Wonbin centil yang enggak henti-henti mengganggunya sampai saat ini.
“Halo? Kenapa, nih? Gue gak mau ya kalo bahas soal yang tadi siang lagi—”
“Ton! Kali ini penting. Sumpah, penting!”
Seruan Wonbin membuat Anton mendadak merubah posisinya. “Apaan? Beneran penting ‘kan?”
“Iya, sumpah! Gue gak boong. Gue baru tau tadi dan ini buru-buru mau ngasih tau lo.”
“Ya udah, jadi apa?”
“Sungchan temenan sama Eunseok. Gue baru tau karena tadi Sungchan bahas kalo temen lamanya mau dateng, namanya Eunseok. Dia nunjukkin juga fotonya Eunseok.”
Seperti adegan sinetron kala mendapat informasi mencengangkan akan diberi efek memperbesar dengan latar musik dramatis, Anton mendadak kosong.
“Bentar... maksudnya?”
"Maksud gue, itu artinya Eunseok bakal dateng ke acara tunangan gue!"
Dang.
“Ton?”
“Bin,” Anton menyahut pelan. “Gue bakal ketemu dia berarti... ya?”
Wonbin di seberang sana mengangguk sambil menggigit kukunya ragu, “Ya... gitu. Tapi, Ton, sumpah gue gak mau ya kalo lo sampe gak dateng. Alias yang bener aja acara gue yang penting itu gak lo datengin? Ya... iya, lo juga punya alasan kuat buat gak dateng. Tapi—”
“Gue dateng, Bin.” Anton menyela. “Gue pasti dateng. Gue bakal dateng—dan ketemu sama Kak Eunseok.”
Lahir dari keluarga yang berada, Anton enggak pernah memilih jalan hidupnya sendiri. Semua sudah ditata sedemikian rupa dan ia hanya perlu menjalankan semuanya. Pun dalam persoalan mengambil sebuah keputusan. Anton enggak jarang mengutarakan keinginan maupun keputusannya dalam hal yang ia hadapi. Lagi, semuanya sudah diatur. Tapi kali ini, biar ia mengambil keputusan untuk menghadapi hari yang akan tiba—hari dimana mungkin semuanya terasa asing. Memikirkannya saja sudah buat Anton pening. Tidurnya enggak nyenyak. Tengah malam ia bermonolog; seperti apa Eunseok nanti? Apa yang harus ia katakan sebagai sapaan? Atau apakah semua pertanyaan yang ada di kepalanya cuma angan-angan? Barangkali Eunseok betulan enggak mengenalnya lagi—atau mencoba melupakan segalanya yang terjadi di empat tahun lalu dan menganggapnya enggak pernah terjadi sama sekali?
Semua jawabannya ada pada hari ini. Ada pada langkah Anton yang memasuki gedung dengan balutan jas putih yang seragam. Ramai tamu undangan berdatangan. Wonbin dan Sungchan sedang menyambut satu persatu tamu dengan senyuman. Sementara Anton sedang mengedarkan pandangan tuk mencari seseorang.
Harusnya, Eunseok ada di sini, ‘kan? Tapi Anton enggak menemukannya. Pandangannya telah beredar ke segala penjuru dan sosok Eunseok enggak berakhir ketemu. Sejenak Anton berpikir, mungkin Eunseok telah mengetahui bahwa pemilik acara adalah temannya. Maka Eunseok memutuskan untuk enggak datang sama sekali daripada harus bertemu dengan bajingan seperti dirinya yang pernah menyakiti. Persentase kemungkinan semakin membesar kala acara hampir usai; Eunseok sama sekali enggak ditemukan.
Dan Anton memutuskan untuk melangkah menuju pintu keluar—berat, sebab keputusan yang sudah dipilihnya bulat-bulat nihil hasilkan pertemuan seenggaknya untuk waktu yang singkat. Kepalanya menunduk bersamaan dengan harapannya yang meredup.
Tapi itu semua sebelum—
“Sorry gue telat dateng.”
Suara ini, Anton hafal bahwa suara ini adalah suara yang bertanya malam itu sewaktu mobil miliknya mogok. Kenapa mobilnya? Anton ingat. Ingatannya enggak memudar meski dimakan waktu selama empat tahun berlalu. Ini suara Eunseok. Maka ia menoleh dan mendapati sosok kecil berdiri menghadap Sungchan dan Wonbin yang hendak menuruni tangga.
“Tadi di jalan ada kecelakaan dan gue harus bantu bawa korbannya ke rumah sakit. Gue gak ngira bakal selama itu, tapi, yah—gue minta maaf karena dateng pas acaranya udah selesai begini...”
Anton berdiri dari jarak beberapa meter. Tapi ia bisa dengar Eunseok yang merapal maaf dengan perasaan gak enak. Terlihat dari ekspresinya yang penuh rasa bersalah, tapi Sungchan dengan lembut memaklumi dan berkata enggak masalah. Sampai ketika pandangan Sungchan dan Wonbin mengarah kepadanya yang berdiri dengan kaku, Eunseok mulai berbalik badan untuk turut memandang.
Masih sama.
Eunseok masih sama. Mata besar, hidung bangir, sampai bibir tipisnya—semua masih sama. Masih sama seperti pertemuan kali pertama. Yang berubah hanya cara memandang yang penuh sendu dan mulutnya yang tertutup rapat, menahan senyum karena malu-malu.
Sungchan dan Wonbin terlampau peka, meninggalkan Eunseok sendirian di sana. Maka Anton memberanikan diri untuk mendekat, mengikis jarak dengan langkahnya yang terasa begitu berat. Seberat seperti ketika Eunseok melangkah pergi dari restoran malam hari itu.
“Hai,” sapa Anton kikuk. “Long time no see, Kak.”
Kak. Mendengarnya, Eunseok merasa terkesima. Senyumnya muncul bersamaan dengan tulang pipinya yang perlahan timbul.
“Ya... udah lama ya,” balas yang tertua dengan suara lebih tegas dari sebelumnya. “Apa kabar, Anton?”
Ingin rasanya Anton berteriak kencang bahwa ia enggak pernah merasakan kabar baik selama ditinggalkan. Semua terasa biasa saja, bahkan memburuk karena eksistensi paling berharga di hidupnya lenyap. Anton ditinggalkan tanpa jejak. Tapi mulut manisnya cuma mampu berucap, “Baik.”
“Pasti… kamu pasti baik—”
“Tapi enggak sebaik waktu sama kamu, Kak.”
Yang tertua cuma mampu termangu. Diamnya sebagai reaksi buat Anton mendadak rasakan ragu. Maka ia menelisik, pandangannya berhenti di jemari Eunseok yang berkilau.
Ada cincin.
Di jari manisnya.
“Sorry,” Anton terkesiap. Mulutnya terbata sewaktu mencoba untuk berkata. “Sorry, aku enggak tau kalo kamu udah... sorry.”
Anton hentikan ucapannya kala Eunseok mengangkat tangannya ke udara, menunjukkan jemarinya yang lentik juga cincin yang terpasang indah di sana.
“Ini?” tanyanya sambil menahan tawa supaya enggak terbahak. “Ini aku pasang di jari manis karena beberapa hari yang lalu ada orang aneh yang tiba-tiba nyamperin dan minta nomor telepon. Terus aku buru-buru pasang cincin yang iseng dibeli ini ke jari manis dan bilang kalo aku udah nikah.”
Cengo.
“Aku gak nikah beneran, Anton.”
Hal yang sama terulang lagi, Anton menggaruk tengkuknya canggung. Mendadak bingung sementara perasaannya yang semula hampir diredupkan kini dibuat nyala senyala-nyalanya.
“Kalo gitu, lain kali boleh ketemu? Ngobrol-ngobrol aja... gitu.”
Tiga sampai lima sekon Anton menunggu sepenggal kalimat berupa jawaban yang keluar dari bibir Eunseok. Nampak yang tertua sedang menimang jawaban, ekspresinya kentara bimbang. Kalau sudah begini, Anton langsung menyiapkan diri untuk menerima sebuah penolakan.
“Kenapa harus lain kali?”
“Mmhm?”
Si kecil Eunseok yang berdiri berhadapan dengan Anton sudah terlihat begitu mungil. Tapi kini tubuhnya dua kali lipat lebih mungil sebab kepalanya menunduk dengan jemari yang dimainkan dengan perasaan bimbang.
“Kak?”
“Kenapa gak hari ini aja?”
Oh.
“Mau?” Anton memastikan.
Anggukan dua kali diikuti deheman kecil, Eunseok mengiyakan. “Mau.”
“Di rumah aku?”
Lagi, Eunseok lebih yakin. “Boleh, Anton. Di rumah kamu.”
Kemudian Eunseok berakhir duduk di kursi penumpang, di sebelah Anton yang mengemudi mobilnya membelah jalanan malam. Eunseok meninggalkan mobil miliknya sementara di basement—benar, sekarang motor butut yang gemar mendadak ngadat itu sudah tergantikan. Selama dua tahun kebelakang, Eunseok dengan keras merubah nasib hidupnya. Banting sana, banting sini, Eunseok bukan semata-mata hanya pergi meninggalkan yang telah terjadi. Meski susah payah dan proses yang dijalankannya enggak selalu mulus dan lurus terus, tapi seenggaknya inilah bukti bahwa Eunseok berusaha.
“Jadi selama ini kamu enggak pergi ya?”
Gelengan kepala adalah jawabannya.
“Gak bakal tuntas kalo aku cuma diem dan gitu-gitu aja, Anton.” Eunseok membuka obrolan. Jalanan malam itu lenggang, memudahkan Anton untuk berkendara tanpa henti. “Setelah ninggalin kamu malem itu, aku muter otak buat mikir aku harus apa dan harus ngapain aja. Karena sebelumnya, kepala aku isinya cuma kalimat-kalimat kalo aku enggak pantes buat ada sama kamu—insekuritasnya berlebihan, aku sampe ngerasa begitu.”
Kalimat Eunseok berhenti bertepatan dengan lampu merah di pemberhentian menyala. Anton menolehkan wajahnya, memandang Eunseok dengan tatapan yang sama; bersalah sepenuh-penuhnya.
“Terus aku bodohnya bikin kamu makin kacau ya malem itu? Bikin pikiran kamunya ngerasa divalidasi, diiyain karena aku yang ngegampangin semuanya. That was my biggest mistake... aku gak pernah bisa tenang setelahnya. Karena, Kak, aku bikin kalimat perpisahan yang gak pantes sama sekali... bekasnya pasti lama. Aku tau kamu pasti kecewa.”
Tapi Eunseok enggak membalas lagi. Diam-diam tangannya yang semula diletakkan di atas paha kini berpindah letaknya jadi di atas punggung tangan yang termuda.
“Kalo gak ada kejadian malem itu, aku gak bakal gerak buat bikin perubahan, Anton. Kesalahannya bisa bikin aku kaya sekarang; lebih percaya diri buat ada di sebelah kamu. Enggak lagi mikir kalo aku enggak pantes sama sekali lagi. Rasanya... lega.”
Bagai kesempatan satu-satunya setelah bersitatap selama beberapa sekon—harusnya ada adegan ciuman pertemuan, tapi yang terjadi adalah lampu hijau yang menyala juga suara klakson mulai ramai meronta. Maka, Anton memilih untuk membawa tangan Eunseok ke udara, dikecup sekali punggung tangannya.
“Makasih udah pulang, Kak.”
Dilanjutkan kembali perjalanan sampai mobil Anton berhenti di pekarangan rumah pribadinya.
Tawa kecil Anton yang dibungkam dengan tangannya masih terdengar meledek bagi Eunseok ketika berdiri di depan pintu kamar mandi. Dipinjamkan pakaian Anton yang tubuhnya lebih besar menjadikan Eunseok terlihat begitu kecil setelah kaos putih polos dikenakannya—kebesaran sampai tubuhnya tenggelam.
Benar. Malam ini Anton tawarkan Eunseok untuk menginap di rumahnya yang ia tinggali sendiri. Daripada harus repot ke hotel di tengah malam begini, pun memang semestinya begitu juga ‘kan mengingat Eunseok sendiri yang menyerahkan dirinya untuk lanjutkan obrolan di malam ini?
“Anton, jangan diketawain akunya.”
Kemudian suara tawa berhenti, Anton anggukan kepala sambil mencoba menetralisir kegemasannya. Teh hangat yang dibuatkannya di dapur sudah selesai disajikan, tapi melihat Eunseok saat ini udah cukup buat Anton rasakan kehangatan.
“Padahal itu kaos punya aku yang ukurannya paling kecil tau, Kak.”
Tawanya berhenti, tapi ledekannya belum. Eunseok manyun. “Seneng ya kamu ngejekinnya.”
“Mmhm,” jawab Anton pelan. “Sini deh, duduk dulu diminum tehnya.”
Kemudian Eunseok duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Anton yang masih berdiri. Diangkat cangkir berisikan teh hangat tersebut lalu disesap pelan. Sementara Anton hanya diam menyaksikan.
“Kenapa liatinnya gitu?” Cicit Eunseok.
“Pipi kamu bisa merah alami gitu ya, Kak. Lucu. Cantik.”
Refleks Eunseok menangkup pipinya, menutupi wajahnya yang mungkin semakin memerah karena puji yang mungkin iseng atau enggak sengaja Anton beri.
“Kamu tidurnya di kamar aku aja ya, Kak.”
“Lho?" terkejut, Eunseok sedikit mengerung bingung. "Kok gitu?”
Kemudian Anton berangsur untuk turut duduk di sampingnya, “Kamar tamunya belum aku sempet beresin. Masih berantakan dan gak bisa dipake tidur.”
“Terus kamunya gimana?”
“Aku bisa di sofa.”
Hembusan napas enggak rela yang Eunseok ciptakan buat Anton lagi-lagi tertawa.
“Kenapa?” tanyanya.
“Ya masa aku sebagai tamu tidur di kamar kamu?”
“Ya masa kamu sebagai tamu tidur di sofa ruang tamu?”
Hening.
“Gak apa-apa, Kak, aku juga biasa tidur di sofa. Hari ini juga mau ngerjain sesuatu dulu, ada revisi jadi harus buka-buka laptop sebentar gitu.” Katanya, mencoba meyakinkan Eunseok bahwa tidur di sofa ruang tamu bukan masalah besar untuknya.
“Beneran?”
Anggukan lemah dengan mata berbinar yang Anton wakilkan sebagai jawaban adalah hal yang paling bisa buat Eunseok terenyuh—melihatnya buat Eunseok berpikir bahwa cinta yang masih terasa olehnya seakan gak punya alasan untuk runtuh.
Maka di sini Eunseok sekarang. Merasakan hangat ranjang Anton dengan selimut tebal menutup tubuhnya. Sempat Eunseok melihat-lihat ke seisi ruangan. Foto Anton dengan adik kecilnya tersusun rapih di atas meja. Dinding-dinding kamarnya juga ditempeli poster-poster band kesukaannya. Rasanya Eunseok seperti dibawa pada sebuah tempat untuk kembali mengingat kenangan-kenangan yang berakhir ia enggak bisa terpejam.
“Anton,” panggilnya setelah membuka pintu kamar dan berjalan menuju ruang tamu. Ia mendapati Anton baru saja menutup laptopnya lalu disimpan di atas meja.
“Hai?” balasnya sedikit terperanjat. Pikirnya Eunseok sudah betulan tidur dan enggak bakal menghampirinya dengan raut wajah kebingungan—lucu sekali, seperti anak kecil yang mencari orang tuanya setelah bangun tidur. Lebih lucu lagi, Anton yang menganggap begitu padahal di sini ia yang menginjak usia paling muda. “Kenapa belum tidur, Kak? Kamarnya gak enak, ya?”
“Enggak!” Eunseok menyanggah. “Enak, kok... cuma aku gak bisa tidur aja.”
“Ya? Mau ngobrol dulu sama aku di sini sampe ngantuknya dateng?”
Sumpah, Eunseok mendadak rasakan ragu sampai bibirnya terasa kelu. Jawab, jawab, jawab! Tapi isi kepala dan hatinya penuh bersorak. Berisik sekali. Eunseok enggak sanggup mendengarnya lagi—
“Aku mau tidur sama kamu di sini.”
Maka ia ungkapkan dengan gamblang.
“Di... sini? Di kursi ruang tamu yang kayanya gak muat buat dipake tidur berdua—”
“Bisa dempetan, ‘kan?”
Nyaris Anton tersedak sesuatu yang buatnya terkejut secara mendadak. Kemauan Eunseok di pukul sebelas malam ini nampaknya meledak-ledak. Maka Anton coba yakinkan dengan pelan.
“Bisa... tapi kamunya harus deket banget sama aku. Maksudnya, supaya enggak jatoh... gitu.”
Lagi, Eunseok menghela napasnya. “Kamu yang gak mau kali aku tidur di sini.”
Sebuah simpulan yang salah besar. Sebab mana mungkin Anton berpikir demikian. Manusia paling bodoh jika lontarkan penolakan untuk tidur bersama Eunseok (enggak pakai tanda miring, tentunya—seenggaknya untuk malam ini). Lantas Anton mulai setengah berbaring di sofa panjang, tapi karena tubuh tingginya menjadikan setengah kakinya bergantung di ujung. Kemudian ditepuk beberapa kali ruang yang kosong untuk Eunseok tempati.
Kini penuh. Sofa yang biasa Anton gunakan— untuk tidur ketika pikirannya kacau dan enggan bergemul di ranjang kamarnya—telah penuh sudah sebagai tempat Anton dan Eunseok berbaring di sana.
Dekat. Eunseok bisa rasakan bahwa punggungnya bersentuhan dengan dada Anton di belakang. Ia sendiri enggak tau pasti apa yang membuatnya mendadak bertingkah seperti begini. Entah karena lamanya waktu berjarak atau karena Eunseok ingin kembali mengingat rasa hangat sewaktu Anton mendekap. Tapi yang pasti, rasanya lebih aman dan menenangkan berada di posisi saat ini.
“Kamu lagi mikirin apa, Kak?”
Suara pelan Anton kini terdengar begitu besar dan nyaring sebab posisi keduanya yang merapat—dekat dan gak punya jarak. Sementara yang ditanya hanya berdiam gak bersuara, memikirkan apa jawaban pastinya sebab ia sendiri juga kehilangan kata.
“Kak? Udah tidur, ya?”
Hening lagi. Anton enggak bisa memastikan apakah Eunseok sudah benar-benar terlelap atau belum, sebab jika ia bergerak pasti posisi keduanya akan semakin dekat. Maka Anton menyimpulkan bahwa Eunseok sudah tidur dan enggak akan menjawab.
Tapi sepersekon kemudian simpulannya terbukti salah karena Eunseok merubah posisinya dengan berbalik badan. Menghadapnya. Saling berhadapan dan bertukar pandang.
Sangat dekat. Anton bahkan bisa perhatikan lentik bulu mata Eunseok juga ranumnya yang merah merekah. Tipis tapi berhasil ciptakan senyum paling manis. Anton dibuat meringis.
“Aku pengen makin ngerasain kalo sekarang kita udah enggak jauhan,” ucap Eunseok dengan suara berbisik pelan. “Sekarang udah kerasa. Akunya udah ngerasa deket dan enggak jauh sama kamu lagi kaya kemarin-kemarin, kaya dua taun kebelakang yang rasanya gak enak. Gak sama kamu rasanya sesek, Anton. Aku kangen banyak.”
Barulah Anton berani untuk mengalungkan sebuah pelukan dari pinggang, membawa tangannya untuk merengkuh pinggang kecil yang tertua supaya makin dekat jaraknya. Biar Eunseok paham bahwa sekarang ia ada bersamanya. Enggak ke mana-mana. Jaraknya enggak jauh seperti yang pernah berkala. Atau jika bisa, Anton ingin buktikan bahwa nanti-nanti bahkan selamanya, ia mau tetap bersama.
“I’m here, Kak. Kamu rasain dulu aja kalo aku juga mau sama kamu.”
Eunseok merasakan hangat telapak tangan Anton mengelus puncak kepalanya, dielus perlahan beri sebuah ketenangan. Seolah dirinya dijanjikan untuk selalu ditemukan. Percaya, Eunseok turut ulurkan tangannya menyentuh bahu kokoh yang termuda.
“Motor lama aku masih ada,” katanya tiba-tiba.
“Oh iya?” respon Anton membola gak menyangka. “Masih ada? Masih kamu simpen? Kenapa?”
Pertanyaan bertubi-tubi tersebut buat Eunseok tersenyum. Mungkin Anton mengira bahwa ia enggak lagi menyimpan benda-benda lamanya sebab kini tergantikan dengan benda-benda baru yang lebih apik dan berguna. Tapi semua, termasuk motor bututnya yang dibawa saat pertemuan kali pertama, Eunseok masih menyimpannya.
“Aku gak ninggalin sesuatu yang udah lama sama aku cuma karena sekarang udah ada yang lebih baru dan lebih seru,” tuturnya. Tapi Anton rasa ini bukan sekedar menjawab perihal motor lama, ada beberapa yang Eunseok siratkan di sana. “Sayang kenangannya, Anton.”
Sama. Sama seperti Anton dalam kehidupannya. Enggak pernah bisa Eunseok lupa dan buang segala kenangannya begitu saja. Sebab jauh dari problematika yang datang, Anton adalah tempatnya untuk berpulang. Seberapa jauh dan seberapa lama pergi melenggang, Eunseok akan selalu pulang.
“Aku sayang kamu, Kak.”
Dan Anton selalu bersedia menyambut kehadirannya yang ditunggu-tunggu untuk tiba.
Semua terasa hangat. Bukan cuma karena tubuh mereka yang saling mendekap erat, tapi juga hangat terasa sampai pada perut dan dadanya—tambahannya berupa rasa geli dan menyetrum seperti kali pertama jatuh cinta di bangku SMA.
“Sungchan sama Wonbin nikahnya di New Zealand.”
Anton mengerung bingung karena kalimat pengakuannya enggak terbalaskan. Tapi jauh lebih bingung saat Eunseok mengatakan informasi tersebut yang enggak ia duga akan dibicarakan sekarang.
“Kamu mau, Kak?”
Eunseok sedikit mendongak, “Dateng ke acaranya? Ya iya. Sungchan ‘kan temen aku yang bantu bikin aku bisa hidup lebih layak. Masa iya aku enggak nyempetin buat dateng di acara spesialnya? Gak enak, dong, Anton.”
Tapi Anton menggeleng pelan, “Bukan itu maksud aku, Kak.”
“Oh? Terus apa?”
Bisa Eunseok rasakan bahwa pelukan Anton pada pinggangnya semakin erat, membawanya lebih dekat hingga terasa sesak.
“Nikah. Mau juga?”
Kalau kalian berekspetasi bahwa Eunseok akan jawab dengan anggukan pelan sambil berkata, Ya... mau. Mau nikah sama kamu. Bawa aku nikah sama kamu. Lebih baik berhenti baca ini sekarang juga, sebab yang terjadi setelahnya adalah dahi Anton disentil pelan (dan penuh cinta) hingga ia mengaduh manja.
“Beresin dulu tugas akhirnya! Enak banget nikah-nikah.”
Enggak terima dicecar pakai perintah yang buat belakangan ini kepalanya hampir pecah, Anton bergerak untuk menindih tubuh Eunseok lalu membanjiri yang tertua dengan kecupan-kecupan menggelikan. Teriakan Eunseok serta wajah kemerahannya terasa begitu menyenangkan untuk Anton pandang. Kemudian untuk sesaat ia berhenti, ingin lebih meluangkan waktu cukup lama supaya bisa memandang Eunseok dari posisinya.
“Aku seneng kamu pulang,” Anton berucap dengan pandangannya yang penuh harap.
“Kamu udah bilang.”
“Mau bilang terus-terusan.”
Sunyi, enggak ada lagi balasan. Tapi yang terjadi adalah Eunseok sedikit bangun untuk curi sebuah kecupan. Satu kali, tepat di bibir Anton yang menghasilkan respon membelalak.
“Kalo gitu, aku juga mau denger terus-terusan.”
Enggak berupa balasan aku juga sayang kamu atau kalimat-kalimat lain yang biasa dikatakan sebagai bentuk kasih sayang, memang. Tapi Anton paham bahwa Eunseok punya cara lain untuk menunjukkan bahwa ia juga sama-sama senang. Malam itu dihabiskan dengan larut dalam tidur panjang hingga pagi menjelang. Kemudian esok, lusa, dan beberapa waktu kedepannya mereka habiskan bersama sebagai pelepas rindu yang dirasa sampai mau gila. Sebab ada kalanya yang berpulang dan yang ditinggalkan akan bahagia; tapi Anton dan Eunseok memilih untuk kembali bersama—rasakan bahagia yang jumlahnya dua kali lipat dari apa yang sepantasnya didapat.
Wonbin:
Mau nebeng nikahannya sekalian gak?
Anton terbahak-bahak dengan Eunseok yang menggeleng penat—tapi jika ditelisik lebih dalam, Anton dapat hidup bersama lebih lama dalam ikatan yang sejelas-jelasnya. Maka ia berkata, “Bilang ke Wonbin kalo acara nikah kita bakal lebih seru dari dia, gak perlu numpang segala.”
Ditanggapi begitu, Anton melompat girang ke arahnya sambil tersenyum kesenengan. Kalau sudah begini, Eunseok cuma pasrah membiarkan topik ini akan dibahas selama beberapa hari kedepan.
“Mau nikah sekaraaaang!”