Desah Merah Rekah

ACEL:
21 min readAug 8, 2024

--

syongnen nsfw oneshot au, commissioned by S. written in 5234 words. tags: explicit sexual content. porn with plot. top!syong — boypussy!nen. artists syong — model nen. vaginal sex. teasing. unprotected sex. nudity. dirty talk.

Wonbin punya obsesi pada dirinya sendiri. Seluruh bagian tubuh dari ujung kepala sampai ujung kaki dicintanya dengan penuh. Kecintaan yang teramat besar sampai-sampai saat ini tak ada seorang pun yang ia biarkan untuk memberinya sentuh-sentuh. Wonbin mengibaratkan dirinya seperti setangkai mawar berduri, begitu menggoda tapi juga berbahaya. Banyak hal yang tidak serupa dengan pahatan visual yang ia punya—ditutup dengan serangkai sikap lugu dan rupa-rupa sandiwara.



Hari ini adalah hari yang Wonbin tunggu untuk tiba saatnya; melakukan janji temu dengan seseorang yang tempo hari dihubunginya melalui sosial media untuk kepentingan sesuatu yang akan diperbincangkan—hanya menunggu lima sampai sepuluh menit, yang ditunggu akhirnya datang. Persis seperti bayangan di kepalanya, sepasang pakaian yang didominasi warna cokelat juga senyum yang diulas begitu hangat, dan oh, serta kacamata yang dipakai menambah poin begitu cermat.

Seperti pada seniman-seniman umumnya. Tapi yang ini, ada sesuatu seperti seonggok magnet karena begitu menarik perhatian Wonbin kuat-kuat.



“Maaf bikin nunggu, tadi ada kendala di jalan dan harus diurus dulu.”



Wonbin mengangguk pelan, bukan masalah sama sekali. Menunggu selama lima menit tidak ada apa-apanya jika yang didapat setelahnya adalah seorang lelaki dengan perawakan sempurna yang tidak pernah Wonbin puja-puji dalam hati sebelumnya. Tak ada yang sukses mencuri atensinya di pertemuan pertama dan hebatnya, Sungchan dapat berhasil dengan begitu mudahnya.

“Enggak masalah, silakan duduk.”



Kursi ditarik ke belakang, Sungchan duduk di depan Wonbin yang hendak membuat pesanan. Kesempatan yang Sungchan manfaatkan untuk perhatikan seluruh yang ada pada Wonbin; pahatan wajah yang terlalu sempurna, impresi pertamanya. Bahkan tanpa kuas dan kanvas, wajah tersebut sudah terlihat seperti lukisan yang diukir apik sampai pada detail-detail kecil yang tersuguhkan.



“Jadi, gimana cerita akhirnya lo bisa kontak gue buat minta dilukis?”



Wonbin berdehem. Dua cangkir kopi selesai dipesan dan Sungchan mengawali obrolan dengan pertanyaan yang menarik perhatian untuk ia jawab dan jelaskan.



“Gue baru aja pindah rumah dan ngerasa dinding-dinding di sana terlalu kosong. Terus gue coba pikir apa yang harus ada di sana supaya mempercantik tampilan. And suddenly, gue kepikiran untuk pajang lukisan—spesifiknya, lukisan tubuh gue. So I contacted you karena dapet rekomendasi dari rekan kerja gue yang bilang kalo tangan lo paling jago untuk lukis dengan model nyata.”



Sungchan mengangguk ria. Baginya, cara bicara Wonbin begitu mencerminkan seseorang dengan tingkat percaya diri tinggi yang setara dengan apa yang ia miliki; bukan seorang narsistik yang mengagungkan diri seperti beberapa orang yang sempat Sungchan temui. Yang secara langsung membuat Sungchan tertarik untuk mengulik—persetujuan diwakili dengan anggukan dan mereka berakhir berjabat tangan.



“Kalo gitu, setelah ini kita bisa langsung ke studio gue dan mulai semuanya kaya apa yang udah disepakati.”



Dan di sana Wonbin berakhir takjub dua kali lipat ketika menyaksikan di sudut kiri kanan terpampang lukisan-lukisan hasil tangan Sungchan yang memberinya reaksi berupa mata membola juga mulut menganga. Tidak salah kalau Sungchan mendapat julukan si tangan indah dengan ciptaannya yang begitu megah. Wonbin menunggu ia dipersilahkan duduk seraya meninjau satu per satu hasil karya Sungchan yang tak membosankan. Banyak tubuh dan wajah yang dilukis begitu nyata, Wonbin menjadi cukup tak sabaran dibuatnya.



“Gue udah melukis dari remaja. Bakat turunan keluarga, semua anak bokap gue juga punya keterampilan yang sama.” Sungchan datang dengan dua gelas kosong di tangannya yang siap dituangkan sebotol minuman anggur yang telah tersedia di atas meja. “Bedanya cuma dari aliran-aliran yang dipilih aja. Most of them lebih anut aliran romantisme. Tapi gue, kaya yang udah lo baca dari profil yang tersedia, gue memegang aliran realisme. Dan yang lo liat di sini adalah semua hasil lukisan gue dalam beberapa taun berkarya. Sisanya gue simpen di studio lain dan bakal gue tunjukkin di pameran nanti.”



Minuman anggur dituangkan ke masing-masing gelas yang Sungchan bawa. Setelahnya Sungchan ulurkan satu gelas di tangannya untuk diserahkan kepada Wonbin sebagai jamuan karena telah hadir di studio miliknya.



Cool,” Wonbin mengangguk antusias.Gue gak banyak paham tentang macam-macam aliran dan bahasan lain di dunia seni melukis, tapi cara lo jelasin semuanya cukup buat gue tertarik untuk belajar lebih banyak.”



Sungchan tersenyum sekadarnya bersamaan dengan Wonbin yang mengangkat gelasnya ke udara untuk bersulang sederhana.



“Seneng bisa ketemu sama lo di sini.”



Tatapan itu. Tatapan paling memikat yang pernah Sungchan dapat. Belum lagi kurva tipis yang diukir di kemerahan bibir dengan gincu segar merah muda, Sungchan rasa ada sesuatu yang telah direncana. Tapi tak mau banyak berpikir juga berkelana—sebab ia dan Wonbin berada di sini hanya sebatas bekerja—Sungchan cepat-cepat menyediakan alat-alat yang dibutuhkannya hingga beberapa kuas dan media lukis lainnya selesai dipersiapkan, Wonbin masih duduk mematung di atas kursinya menunggu instruksi dari Sungchan yang akan mengarahkan dirinya sepanjang sesi kegiatan dilakukan.



Dan instruksi yang Wonbin dapat pertama kalinya adalah sepenggal kalimat yang sedikit membuatnya mengerjap, “Buka semuanya dan naik ke atas sana.”



Tentu Wonbin tahu bahwa perintah ini akan Sungchan beri karena Wonbin sendiri yang meminta di awal dengan mengabari Sungchan untuk melukiskan dirinya dengan keadaan bertelanjang. Ia meminta dilukiskan seluruh tubuhnya tanpa sehelai fabrik yang menutupi—salah satu bagian mencintai diri, Wonbin ingin tubuh eloknya terpajang penuh bangga di dinding sepi tiada dekorasi.



“Gue buka semuanya, ya.”



Sungchan duduk di bangku yang menghadap kanvas polos belum diukir apa pun. Sementara Wonbin di hadapannya tengah melucuti satu per satu kain yang dipakainya dari atas sampai bawah; termasuk pakaian dalamnya yang menutupi bagian pribadi seperti puting payudara dan vagina merah muda di bawah sana. Tak ada kalimat apa pun yang terlintas di kepala. Sungchan hanya menyaksikan semuanya dengan saksama tanpa sedetik pun ia lewati dengan kedipan mata.



“Sungchan,” panggil Wonbin selepasnya. “Posisi gue harus gimana?”



Benar. Sungchan harus mengarahkan posisi Wonbin—modelnya kali ini—untuk berpose dan disalin dalam bentuk sketsa sebelum Sungchan ulik dengan sempurna. Maka, si Virgo segera berdiri dari kursi untuk membantu Wonbin berposisi di atas meja beralas matras yang terjamin kenyamanannya. Mulanya Sungchan meraih lengan Wonbin untuk dibawa terlentang lalu ditarik bangkit dalam posisi miring menghadap kanvas, kemudian Sungchan menata sedikit rambut Wonbin supaya terlihat lebih natural—entah sudah masuk dalam hitungan berapa Sungchan menyentuh langsung dari helai rambut dan kulit polosnya yang tak terbalut apa-apa.



Tapi Wonbin tampak tak keberatan, tak ada gurat ketidaknyamanan yang diberi sebagai isyarat. Padahal ini adalah kali pertama Sungchan bertemu dengannya dan menyaksikan langsung seluruh tubuh telanjangnya.



“Tahan supaya posisinya tetep stabil kaya gini.”



Dan hanya satu kalimat tersebut yang Sungchan beri usai menyentuh segala sisi tuk menciptakan posisi terbaik yang akan dilukisnya hari ini. Tak ada kalimat lainnya dan Wonbin sedikit dibuat tertantang, apakah tidak ada pujian yang akan Sungchan berikan mengenai tubuh polosnya di atas meja sedang berbaring siap untuk disalin?



“Tangannya lo bikin gerak natural aja—oh, atau lo bisa pake buat nopang wajah lo supaya ada kesan tenang.”

Sungchan tak bosan memberi Wonbin instruksi agar merasa nyaman. Iris di balik kacamatanya bahkan begitu berbinar namun kembali redup dalam beberapa hitungan.

“Kira-kira, berapa lama gue harus tahan di posisi ini?” tanya Wonbin sambil meraih ceri merah di sebuah keranjang penuh buah yang Sungchan sediakan sebagai objek lain agar nantinya mempercantik hasil lukisan.



“Sampe lukisannya selesai,” singkat Sungchan sebagai jawaban karena ia mulai bersiap dengan seluruh alat. “Karena hasil yang bagus pasti perlu waktu dan pengorbanan yang cukup panjang buat prosesnya ‘kan?”



Wonbin mengangguk seraya memasukkan ceri di genggamannya ke dalam mulut. “Oh... You are so attractive.”



Sungchan tak begitu menyaksikan tiap ekspresi yang Wonbin ciptakan sewaktu menatapnya diikuti kalimat penuh pujian. Ekspresi si Jung begitu tenang tak keberatan dengan apa pun yang baru saja Wonbin katakan. Maka, selanjutnya si jelita coba untuk beri pertanyaan-pertanyaan memancing yang dilontar dengan suara bisikan lembut penuh desiran yang meresik.



“Jadi, gue orang keberapa yang lo lukis dengan keadaan telanjang kaya gini?”

Perlu menunggu selama beberapa sekon agar Wonbin mendapat jawaban karena Sungchan tengah menaruh ketelitiannya untuk gambarkan seluruh bagian tubuhnya dengan detail; garis otot perut sampai pusar, juga pinggul sempit hingga jemari-jemari yang lentik. Semua Sungchan tumpahkan dengan baik.



“Kesekian,” jawabnya tanpa intonasi. “Gue udah terlalu sering buat lukis orang telanjang. Dan itu jadi alasan buat gue jadi terbiasa dan enggak anggap hal kaya begini adalah suatu kesempatan. Bagian dari seni, enggak lebih dari itu.”



“Ya?”



Coret di atas kanvas terdengar menyeret seluruh godaan yang Wonbin punya untuk dikeluarkan supaya mendapat jawaban yang sesuai. Gerak tangan Sungchan berhenti dengan tatapannya yang kali ini tertuju seluruhnya untuk Wonbin di depannya sedang mengunyah ceri merah dengan bibir mulai merekah.



“Tapi punya lo yang paling indah,” katanya dengan bola mata menyelidik dari atas, tengah, sampai bawah. “Sempurna. Paling sempurna dari seluruh yang pernah gue liat sebelumnya.”



Lagi, tatapan itu lagi. Wonbin memang mahir bermain tatap beri banyak isyarat hanya dengan suguhkan kelopak yang terasa berat. Tapi Wonbin tak begitu merasa Sungchan mengerti dengan situasi yang diciptanya susah payah—karena tak ia temukan ereksi di balik celana kain yang Sungchan kenakan ketika Wonbin merunduk sengaja menyelidiki. Laki-laki itu tampak biasa saja seperti nol minat untuk memanfaatkan situasi.



“Thanks for the compliment.”



Wonbin nyaris putus asa karena Sungchan betulan tidak terlihat menyimpan ketertarikan padanya, itu sebelum lelaki berkacamata yang tengah mengukirnya menjadi sebuah lukisan mulai membalas ucapan terima kasihnya dalam bentuk yang tidak Wonbin begitu mengerti apa makna di baliknya.



“Harusnya gue yang bilang makasih.”



Untuk apa? Tanya-tanya berbisik di kepala, tapi tak ada satu pun yang berakhir Wonbin suarakan bentuknya. Ia hanya membiarkan Sungchan kembali berkutat dengan alat lukisnya dan memutuskan untuk tidak kembali mengatakan apa-apa.



“Hasil lukisannya bisa diambil lusa. Lo perlu hubungi gue beberapa jam sebelum dateng supaya gue gak bikin lo nunggu kaya barusan, ya.”



Wonbin mengancingkan pakaiannya setelah hampir tiga jam ada dalam posisi yang sama seperti dengan posisi yang sudah Sungchan atur sedemikian rupa agar hasilkan lukisan natural seperti keinginannya. Selesai mengenakan kembali seluruh pakaiannya yang tergeletak di atas lantai selama sesi berlangsung, Wonbin bersiap untuk meninggalkan studio dan tak lupa kalimat Sungchan juga ia anggukan. Tas di atas sofa disambar, diambil tiga langkah mendekat untuk Wonbin beri sesuatu sebagai bentuk pamit yang tak terucap; telapak tangannya dibawa bertumpu di dua bahu Sungchan lalu condongkan tubuh mencuri kecupan di pipi kanan.



“Gue gak sabar banget liat hasilnya,” bisiknya pelan lalu meninggalkan Sungchan yang belum sempat bereaksi karena Wonbin lekas melenggang pergi. Tinggalkan Sungchan yang mematung dengan bekas gincu berbentuk bibir di pipi.



Pengalaman yang belum pernah Sungchan dapat dan alami, Wonbin terlampau memiliki banyak kejutan yang mampu membuat Sungchan—si andal yang penuh diam, hanyut dan tenggelam dalam godaan yang terang-terangan.



Jadi, jelas tak mungkin jika Sungchan tak paham dengan segala aksi yang Wonbin lakukan sedari menyusun pertemuan dan berakhir menghabiskan waktu bersamanya seharian.



Pun Wonbin jelas mengerti bahwa menaklukkan seseorang berhati dingin dan tak banyak bicara perlu banyak konsekuensi. Tapi jika seseorang tersebut adalah Jung Sungchan—konsekuensi terberat pun Wonbin bersedia hadapi. Karena, sumpah, tak ada lelaki sebegitu atraktif yang bahkan baru Wonbin lihat hanya dari profil media sosialnya yang sembilan puluh persen tampilkan hasil karya dan sisanya hanya penggalan wajah yang dipotret tanpa senyum dan gaya lainnya.



Hal yang Wonbin cari dari seluruh lelaki, yang mana baru terkabulkan dalam wujud seorang Jung Sungchan.



Kebetulan yang menguntungkan. Tatkala ingin menghias dekorasi rumah barunya dengan sebuah lukisan, Wonbin tak hanya menemukan seorang seniman yang andal dalam berkarya untuk seratus persen mengabulkan keinginannya—tapi juga lelaki yang nyaris memasuki seluruh tipe idealnya. Maka, untuk kali pertama, Wonbin meluruhkan segala cara dalam misi mengejar apa yang ingin menjadi miliknya.



Seperti hari ini.

Wonbin bersolek di depan cermin menyaksikan pantulan dirinya yang sudah bersiap sempurna dengan balutan kaos putih di atas pusar juga rok mini berwarna hijau—selera pakaian yang disukainya. Wonbin akan datang menuju studio Sungchan dengan gaya tersebut. Tapi tidak mengikuti perintah yang tertua untuk mengabarinya lebih dulu, Wonbin datang tanpa memberi pesan teks apa pun.



Seperti sebuah kejutan, Wonbin datang memasuki studio yang sunyi tanpa ada seorang pun di dalam sana. Masih sama, tatanan benda-benda dan aroma yang menyeruak masih sama seperti tempo hari Wonbin mengunjungi. Tapi ketika mendekat ke kursi yang menghadap kanvas setengah kosong, Wonbin menemukan ada sketsa acak yang belum terselesaikan.



Mengernyit di bawah temaram, Wonbin menerka-nerka alasan mengapa Sungchan belum menyelesaikan gambarannya.



Apakah karena Sungchan kehabisan inspirasi untuk menyelesaikan karyanya kali ini?



“Belum selesai karena gue suntuk. Gak ada ide buat lanjut.”



Tercengang mendapati suara berat yang menggema di ruang, Wonbin menoleh dan mendapatkan Sungchan di daun pintu sambil melipat tangan. Buru-buru Wonbin mundur dan melepas kecanggungan.



“Bukannya gue udah bilang buat kabarin dulu sebelum dateng, ya?” tanya Sungchan mengambil langkah untuk masuk dan menghampiri Wonbin di tempatnya.



“Ya...” Wonbin menggaruk lengannya yang tak gatal. “Gue tadi buru-buru. Maaf gue dateng dan masuk ke studio lo tanpa izin dulu—”



“Gak masalah.”



Sungchan menyela kalimat Wonbin seolah hal tersebut bukan masalah besar baginya. Diambil lukisan milik Wonbin yang selesai dikerjakannya untuk segera diserahkan. Hasil karya buatan tangan emasnya. Wonbin dibuat terkesima menyaksikan tubuhnya dalam bentuk lukisan yang menakjubkan, Sungchan benar-benar menuangkan apa yang dilihatnya sehingga detail-detail kecil juga dimasukkan ke dalamnya.



Wonbin merasa tercipta untuk hidup dan keluar dari kanvas besar di tangannya sampai ia hilang kata seolah bibirnya berhenti berguna tuk bersuara.



“Mungkin ini bisa jadi salah satu karya favorit gue sejauh ini,” Sungchan berucap sambil bertatap. “Lo seindah itu. Gue selalu bayangin tubuh lo selama ngerjain lukisannya—bahkan setelah selesai, semuanya masih membekas di kepala dan mungkin bakal susah lupanya.”



Diam-diam Wonbin meremas ujung roknya. Pujian yang Sungchan beri adalah pujian yang Wonbin nanti-nanti. Tak terdengar hanya sebatas formalitas atau sekedar basa-basi, Sungchan tulus memberinya puji.



“Berapa yang harus gue bayar buat ini?” Wonbin mengakhiri perasaan berbunganya, tentu dengan harapan tinggi yang menyimpan ekspetasi bahwa Sungchan meminta bayaran lain yang bukan lembaran uang.



“Enggak perlu,” balas Sungchan. “Harusnya gue kali yang mestinya ngeluarin banyak jumlah karena punya kesempatan buat bisa lukis tubuh lo secara langsung. It was a precious moment. Gue rasa gak ada bayaran yang setimpal untuk itu.”



Senyum Wonbin terukir tanpa malu-malu. Senyum manis yang tersungging hanya untuk Sungchan seorang.



“Tapi gue ngerasa perlu buat bales jasa lo,” kata Wonbin penuh upaya. “If you need me, gue dengan senang hati bisa dan mau bantu lo. Lo bisa pake gue—maksudnya, untuk inspirasi lukisan lo selanjutnya. Gimana?”



Tawaran paling menarik yang pernah Sungchan dapatkan dan akan menjadi sebutan manusia paling bodoh jika ia sia-siakan. Kesempatan yang akhirnya Sungchan terima; menjadikan Wonbin sebagai inspirasinya selama beberapa waktu sampai ada pertemuan selanjutnya yang menjadi awal mereka terbiasa bersama. Tiga sampai empat kali Sungchan menyaksikan Wonbin dan tubuh polos sempurnanya, diukir menjadi pahatan terbaik berupa lukisan-lukisan yang akan ia pajang kelak di sebuah pameran.



“Selain gue, ada yang pernah liat lo telanjang kaya gini?”



Sekarang Sungchan tengah mengaplikasikan cat beragam warna di atas kanvasnya sedangkan Wonbin tengah duduk mengangkang di kursi ukir menghadap Sungchan tanpa kain yang menutupi vaginanya—Sungchan jelas bisa melihat bongkah merah muda tanpa sehelai bulu itu, bersih dan menggiurkan. Tapi fokusnya harus tetap terarah pada apa yang harus dikerjakan, ini sudah kesekian kalinya dan Sungchan tidak pernah mengatakan apa pun yang menyinggung persoalan Wonbin mengenai tubuh telanjang dan area pribadinya yang terpampang.



Tapi sulit untuk ditahan, Sungchan lontarkan sebuah pertanyaan yang ia harap tidak membuat Wonbin merasa tak nyaman.



“Enggak,” jawab Wonbin singkat dengan jemarinya yang mulai bergerak mengitari ujung pinggangnya. “Enggak ada. Baru pertama kali diliat cuma sama lo aja—dan mungkin, bakal cuma lo aja yang gue persilakan buat liat semuanya.”



Tutur Wonbin diutarakan begitu lembut dan manis, suaranya terdengar merendah dan baru Sungchan sadari kini jemari lentik itu tengah dibasahi dengan kuluman kecil yang menggoda. Tahan, Sungchan. Tak banyak yang bisa ia lakukan sebelum Wonbin mengatakannya lebih dulu, sebab Sungchan mau melihat sejauh mana Wonbin menariknya untuk jatuh.



“Menurut lo, gimana?” tanya si jelita tak jelas artinya. “Selama beberapa kali lukis gue, pernah enggak sange liat gue telanjang kaya gini?”



Oh.



Sungchan terkekeh kecil, “Siapa yang gak sange kalo harus liat badan sebagus itu telanjang sambil ngangkang?”



Sedikit lagi.



“Tapi lo belum nyentuh gue, terhitung sejak pertama kali kita ketemu sampe sekarang.”



Tangan Wonbin turun, tetesan liurnya mengenai dagu dan Sungchan masih harus berkutat dengan cat-cat.



“Lo cuma mengajukan diri sebagai muse—jadi inspirasi gue untuk beberapa lukisan. Lo sendiri juga enggak bilang ada ketentuan untuk boleh nyentuh lo semau gue. Gitu, ‘kan?”



Mmhm,” disetujui oleh Wonbin. “Gue sendiri yang mengajukan diri buat lo pake—jadi inspirasi lo, juga buat lo pake langsung kalo lo perlu.”



Nyaris.

“Tapi bagi gue enggak perlu.”



Sungchan dan kesulitannya untuk ditaklukkan.



“Kecuali lo yang mau dan mohon-mohon untuk gue perlu, gue bisa bantu.”



Keadaan berbalik. Niat awal mencoba untuk meleburkan dinding tinggi Sungchan perihal tingkah nol minatnya, kini Wonbin yang berakhir dipermainkan. Si Jung masih terus memoles cat dengan kuasnya yang apik bergerak searah—yang Wonbin selalu pikirkan Sungchan akan melakukan hal yang serupa ketika memainkan vaginanya. Tapi ternyata semua hanya ilusi belaka, Sungchan benar-benar tak menaruh minat padanya.



Dan Wonbin masih punya sisa tenaga dan akal untuk terus mencobanya sampai dapat.



“Di luar sana banyak laki-laki yang pengen ada di posisi lo; liat gue telanjang bahkan tanpa permisi bisa sentuh dan hancurin gue asal-asalan,” jeda Wonbin untuk melebarkan kakinya tunjukkan vagina mengkilap basah dengan cairan. “Tapi gue cuma minat buat disentuh sama lo aja.”



Satu jari tengah masuk, Wonbin mendongak kala merasakan sempit lubangnya yang licin. “Aah—n.



Satu alisnya dinaikkan sebagai bentuk sahutan, tentu Sungchan menyadari kini Wonbin tengah sibuk memainkan jari-jari yang masuk ke dalam lubang vaginanya yang termegap seolah sedang menggodanya untuk kalah telak.



Please, Sungchan....”



Tangan Sungchan masih setia menggenggam kuas yang telah dicelupkan ke palet berisikan warna-warna pilihan dan Wonbin yang berada di balik kanvasnya terus mendesah sebut namanya berulang-ulang diikuti bunyi becek dari cairan yang turun menjuntai di atas lantai.



“Lagi, Wonbin. Masih kurang.”



Seperti diberi secercah harapan, Sungchan akhirnya membuka mulut untuk memberi perintah supaya Wonbin terus menghunjam vaginanya tanpa henti—sampai Sungchan habis kesabaran dan berakhir berada di bawahnya menggantikan jari-jari. Hal yang akhirnya Sungchan beri setelah beberapa menit kesabarannya diuji. Kacamatanya dilepas lalu bersimpuh di tengah kanan kiri paha Wonbin mengapit tubuhnya yang kini dijepit; lidah Sungchan menyapu labia minora dan klitorisnya dengan hisapan-hisapan menggelikan.



Ah, Sungchan... Sungchan, terus! Nng—h, enak bangeeet.”



Jerit kecil Wonbin seolah teredam karena telinga Sungchan disumpal paha tebal yang membuatnya hanya mampu menggerakkan lidahnya dengan vagina Wonbin sebagai satu-satunya objek yang dapat ia lihat. Kepala menengadah dengan mulut tak henti lantunkan desah; Wonbin dibuat merasakan surga untuk pertama kalinya ketika Sungchan begitu pandai bermain lidah. Cuping hidung si Jung di bawah sana yang bergesek dengan kulit uretra buat Wonbin menggelinjang hebat—Sungchan begitu dahsyat. Bunyi dosa-dosa berupa kecipak basah terdengar begitu erotis di ruang remang-remang yang hanya ada mereka berdua di sana.



S—Sungchan, mau pipis! Aah, udah... Gue mau pipis!”



Mendengar pekik parau dari si jelita yang tak lagi kuasa menahannya, Sungchan menjauh dan berpegangan pada sisi paha dan menyaksikan muncratnya cairan yang mengotori wajahnya. Timbul cairan bening mengkilap di bibir juga dagunya , Sungchan usap dengan punggung tangannya lalu terkekeh remeh.

“Gila. Enak memeknya gue makan sampe pipis-pipis?”



“Ha—ah, Sungchan... Enak! Enak banget, pipisnya sampe banyak...”



Racau kotor itu memberi reaksi naiknya ereksi. Sungchan dan penisnya yang sedari tadi bertaruh untuk tetap menang, kini dilepas ketika ujung sletingnya diturunkan. Wonbin masih di atas kursi dan menyaksikan Sungchan menanggalkan seluruh pakaiannya sampai mereka sama-sama telanjang. Penis tebal dan panjang Wonbin raih dengan rakus untuk cepat-cepat diberi kocokan; dilumuri dengan liurnya lalu digenggam pakai satu tangan.



“Kocok yang pinter. Udah susah dapetinnya jangan malah goblok. Pake tangannya yang bener.”



“Sungchan, Sungchan, Sungchan...” rapal Wonbin tanpa henti memberi stimulasi. Tatapannya dibawa tinggi tepat di iris kecokelatan Sungchan yang menatapnya penuh nyalang.



“Kulum.”



Penis yang sebetulnya tak muat hanya dalam satu genggaman mulai Wonbin pikirkan bagaimana cara mengulumnya dengan becus sesuai dengan apa yang Sungchan perintahkan. Mengawali dengan lumatan-lumatan kecil di lubang kencing, Wonbin perlahan memasukkan sedikit demi sedikit supaya setidaknya setengah dari seluruh panjang penis Sungchan mampu masuk ke dalam mulutnya.



“Anget banget, Wonbin. Mulutnya juga kecil banget, yakin bisa muat buat kulum sampe mentok?” Sungchan menarik kumpulan rambut Wonbin yang ditariknya dalam satu genggaman.



“Mm—ngh! Muat... Bisa muat—kh.”



Pinggulnya sengaja didorong, Sungchan terus mendorong penisnya agar penuh menyumpal mulut kecil Wonbin sampai si jelita memohon dengan derai air mata.



“Mulutnya minta banget diperkosa. Ini ‘kan yang lo mau? Mulutnya disumpel kontol setelah tadi desahin nama gue sambil mainin memek murahannya. Nih, kulum sampe mentok.”



Merah di sekujur putih kulitnya mewarnai jelas seluruh wajah Wonbin sampai ke jenjang lehernya. Belum lagi tetes air mata yang turun tanpa disadari, Wonbin setengah berantakan dan Sungchan merasa begitu senang. Penisnya dipompa keluar masuk seolah mulut Wonbin hanya bagian dari mainan seks yang dimilikinya; tanpa ritme pelan juga belas kasihan, Sungchan menghabisi si jelita yang tak bisa berkata—penuh, mulutnya hanya dipenuhi diameter penis Sungchan yang kian membesar dan berujung meledakkan cairan.



“Telen, Wonbin. Telen semuanya, jangan ada yang dimuntah dan dilepehin.”



Putih kental sperma Sungchan bercucuran di sudut bibir Wonbin yang timbul keram dan kemerahan. Menyatu dengan saliva Wonbin yang turun sendirinya karena meraup banyak udara setelah sesak dirasanya selama bermenit-menit, dadanya dibuat menaik.



Kali pertama Sungchan memberi apa yang lama ia impikan dan Wonbin jauh dari kata kapok—justru ia semakin tertantang untuk rutin datang ke studio Sungchan agar mendapat apa yang ia inginkan selanjutnya; penis Sungchan yang masuk sempurna secara mentah-mentah ke dalam lubang vaginanya sampai penuh dan sesak terasa.

“Penikmat hasil karya gue banyak yang tanya dari mana gue dapet inspirasi akhir-akhir ini.”

Sungchan menyimpan tas selempangnya di atas meja lalu duduk di hadapan Wonbin yang telah lama menunggunya.
Si jelita tertawa sambil mengenakan sesuatu di kaki putih bersihnya, “Dan lo jawab..?”



Sungchan mengangguk. “Dari pacar gue, begitu.”



Debar di dada juga getar di vagina Wonbin rasakan ketika Sungchan mendeklarasikan hubungan secara implisit—menyebut Wonbin seorang kekasih padahal tak ada penjelasan langsung yang keluar dari bibir selama beberapa bulan terakhir.



Red heels?



Sungchan menunduk, mendapati sebuah sepatu hak tinggi berwarna merah yang baru saja Wonbin selesai kenakan tanpa Sungchan ketahui apa intensinya.



“Lukis kaki gue pake heels merah ini, boleh? Impulsif, pengen pajang hasil lukisannya di kamar.”



Semua yang Wonbin pinta tak ada penolakan yang Sungchan beri sebagai balasan. Apa pun untuk si jelita, Sungchan siap beri seluruhnya. Sepatu hak tinggi berwarna merah dihiasi pita menjulang sampai lantai—Sungchan pikir, Wonbin memiliki selera yang baik untuk memilih sesuatu yang memiliki estetika. Sungchan melukisnya begitu sederhana, hanya dari mata kaki dan objeknya.



“Cantik.”

“Mmhm?”



Sungchan mengangkat pandangannya, temukan iris yang beradu penuh ketegangan bergejolak kian mematang.



“Cantik. Sepatunya, kakinya, semua cantik.”



Lalu cat merah ditumpahkan dalam garitan di atas kanvas, Sungchan mewarnainya dengan selaras. Dan yang Wonbin lakukan setelah dirasa Sungchan telah selesai mengukir idenya adalah menaikkan satu kakinya ke udara—diarahkan ke depan selangkangan Sungchan yang terbuka. Di pertengahan jeans yang Sungchan kenakan, di sana Wonbin menekan ujung hak sepatunya pada tonjolan yang menyembul besar.



“Wonbin—”

“Just enjoy it.”



Ditarik napasnya dalam-dalam, Sungchan dan pertahanannya yang kerap diuji ketika Wonbin dan kenakalannya menjadi-jadi. Sedikit lagi tuntas sudah lukisan yang dibuatnya sebagai pemberian atas resminya hubungan. Tapi kesabaran Sungchan tak begitu konsisten; sesekali rintih keluar dari bibirnya manakala Wonbin menekan lebih dalam, rasanya seperti benda bergerigi berada di sepanjang batang penisnya.



“Gue belum pernah bilang, ya?” Wonbin bertanya dengan lugunya sambil menopang wajah dengan telapak tangannya. “Gue belum pernah bilang kalo lo seksi berkali-kali lipat pas lagi serius kaya gini.”



Adalah kesan yang masih menempel di kepalanya sejak Wonbin pertama kali bertemu Sungchan dengan penampilannya yang rapi juga kacamata yang bertengger di batang hidung bangirnya—jauh lebih menarik tatkala Sungchan sedang menaruh fokus dan seriusnya di depan kanvas juga kuas yang digenggam luwes. Untuk seorang Wonbin dengan kemudahan menerima rangsangan, hal tersebut adalah sesuatu yang fatal untuk ia pandangi selama berjam-jam.



“Abis bayangin apa?”



Total mengerti, Sungchan melayangkan pertanyaan yang terdengar hafal tanpa menghakimi. Tahu isi kepala Wonbin banyak skenario dan beragam fantasi, jelas pertanyaannya adalah hal yang menarik untuk ia kuliti.



“Kepikiran aja, gue dipake sama lo dengan penampilan kaya begini. Cat berantakan di tangan, kacamata masih dipake—it would be the hottest thing. Menurut lo gimana?”



Sepanjang berkalimat, Wonbin terus menekan penis Sungchan yang kemudian turun pada tonjolan testis—ditekan kuat sampai Sungchan melempar kuasnya setelah mati-matian menahan hasrat.



“Gue enggak tau,” akhirnya Sungchan berucap. Kaki Wonbin diangkat, ia curi kecup di pergelangan kaki lalu diturunkan selembut gerakan kuas menyapu kanvas. “Belum pernah coba dan enggak kepikiran juga. Tapi kalo lo yang minta, gue pasti kasih semuanya.”



Taktik itu lagi.



Kali ini Wonbin tidak mau menyia-nyiakan separuh waktunya yang bisa ia pakai untuk mempersiapkan vaginanya agar siap dimasuki. Maka, “Please?”



Hancur sudah semua gengsi.



Sungchan menyeringai lalu menciumi Wonbin dari ujung kaki sampai naik ke atas dada, dibiarkan si jelita tetap duduk di kursinya sebelum Sungchan menariknya dalam gendongan ringan ke atas meja—tempat Wonbin biasa dibaringkan telanjang selama sedang dilukisnya.



“You look so good in red, sayang.”



Pujian yang akan terus terbayang selama beberapa waktu kedepan. Wonbin tak mampu menahan senyum sampai rona merah menghiasi kedua pipinya. Tangan-tangan dengan cat merah yang masih basah membekas di kemeja satin berwarna merah yang Wonbin kenakan ketika Sungchan melepas satu per satu kancingnya dengan pagutan yang masih terus terjalin.



“Sungchan, gue—”

“Sabar, Wonbin. Gue di sini, enggak ke mana-mana.”



Tubuh Wonbin didorong berbaring, kemejanya masih tersisa hanya untuk tutupi punggung dan lengannya—lain dengan celana yang sukses Sungchan turunkan karena kini jemarinya hendak bergerak memberi permainan; menggesek vagina tebal dengan ruas jarinya sampai si jelita menggelinjang dan timbul bening yang berceceran.



“Basah banget, Wonbin. Padahal baru digesek-gesek doang udah kaya begini. Gimana kalo langsung dikontolin? Bisa bocor gak berhenti-berhenti kali memeknya, ya?”



Mata terpejam juga kepala menengadah cukup wakilkan jawaban dari pertanyaan Sungchan yang dilontar begitu mudah. Wonbin berserah; biarkan dirinya dipermainkan susah-susah; tubuhnya hanya menerima apa yang Sungchan lakukan dan ia hanya terbitkan rintih desah. Dua jari Sungchan masuk, akhirnya. Menerobos dengan gerakan keluar masuk sedang ibu jarinya menekan klitoris Wonbin—paduan yang sempurna, Wonbin dibuat mudah orgasme karena perbuatannya.



Aah... Sungchan, enak banget, j—jangan berhenti!”



Kalimat tersebut dipandu dengan cairan yang menciprat basahi apron penuh noda cat yang Sungchan kenakan—sama seperti fantasi di kepala yang terbayang selama berhari-hari, Sungchan mengenakan pakaian lengkapnya ketika bergemul menuangkan karya di atas kanvasnya. Tapi kali ini, wujud kanvas yang biasa ia kerjakan disulap menjadi bentuk seorang Park Wonbin yang berbaring pasrah siap digagahi sampai pagi hari.



“Muncrat terus, Wonbin. Basah ke mana-mana, jorok. Memeknya gampangan banget.”



Dusta, bagaimana pun Sungchan bersedia jika diperintahkan untuk menelan habis semuanya.



“Uda—aah, udah! Mau pake kontol Sungchan, mau dibikin pipis pake kontol Sungchan...”



Termasuk yang ini. Permintaan yang akan Sungchan beri tergantung bagaimana Wonbin memintanya tanpa gengsi. Dilepas seluruh pakaiannya hingga tak tersisa lagi. Sungchan kemudian meraih penisnya yang tegang sempurna, dikocok sampai cairan sementara keluar dan ia gunakan sebagai pelumas seadanya.



“Keras banget, Bin. Kontol gue keras banget dikocok di depan memek lo kaya gini.”



Erangan kecil selama mengurut penisnya adalah sensasi yang jarang Sungchan rasakan. Bersama Wonbin, dengan vaginanya yang merekah juga licin dan basah serta tubuh membusung tak berarah—Wonbin adalah definisi komplet dan paripurna dari sudut kacamata yang Sungchan pakai selama seks berlangsung tiba.



“Jangan digesek—ngh, nanti bocor lagi! Hhn—Sungchan, gede banget bisa mentok...”



Penis yang diletakkan di atas vagina dan perutnya bisa Wonbin rasa hanya dengan gesekan yang Sungchan beri sebagai pemanasan sebelum penetrasi ia lakukan. Bukan berarti Sungchan kuat dalam taruhan menahan, ia juga sama tak sabaran untuk masuk dan menghancurkan Wonbin sampai studio miliknya hanya penuh jerit pekik juga desah yang terjepit.



“Angkat kakinya, Wonbin. Angkat supaya gue bisa jelas liat memeknya yang haus pengen cepet-cepet dikontolin.”



Dua paha Wonbin dibuka melebar, lubang sempit di tengahnya seperti lambaian yang menyilih jadi seruan bersemangat supaya Sungchan segera melesakkan penisnya masuk cepat-cepat. Namun sebelum itu, disempatkan olehnya untuk meremas kedua lutut si jelita supaya bisa Sungchan saksikan gelagat tubuhnya yang perlahan terbakar nafsu yang meninggi.



Haa—nh! Sungchan, jangan dimasukin pelan-pelan... Please, jangan—ah, jangan main-main kaya gini. Masukin semuanya, masukin sampe mento—khh!



Jerit kencang berdengung tatkala Sungchan—dalam satu hitungan—membelamkan penisnya masuk sesuai racau Wonbin yang habis kesabaran. “Gini ‘kan? Mau dipake asal-asalan?”



Wonbin mengangguk dengan napas tersengal, tubuhnya terasa seperti sedang dibagi menjadi dua ketika penis Sungchan masuk seluruhnya menubruk langsung titik nikmatnya—yang jika Sungchan mengisengi dengan beri sundulan kecil berkali-kali, Wonbin bisa tak henti-henti kencing sampai dehidrasi.



“Masih rapet aja, Bin. Memeknya dipakein apa sampe bisa serapet ini? Udah kaya memek perawan aja. Apa sengaja, ya, biar gue puas pakenya?”



Direngkuh pinggang Wonbin untuk ditarik mendekat sampai persatuan penis dan vagina keduanya tak tersisa jarak—seluruhnya masuk dan Sungchan mulai bergerak; didorong pelan dengan iringan rintih tangis Wonbin yang serak.



“Kerasa banget, Sungchan... Hiks—enak... Mau terus dikontolin kaya gini sama Sungchan. Sange banget kalo liat Sungchan lagi serius—aah, jadi pengen dudukin muka Sungchan sampe pipis-pipis.”



Wonbin seribu persen sadar. Tak ada setetes alkohol yang ditelannya sebelum seks ini terjadi. Tapi racauannya persis seperti seseorang yang sedang dicekoki—kenyataannya tak ada apa pun yang Sungchan beri selain penisnya yang bergerak semakin cepat sampai Wonbin sesekali meminta berhenti.



“Kotor banget mulutnya, Wonbin. Kaya lonte. Gak tau malu.”



Sungchan dan deru napasnya yang berantakan, pasokan udara diambilnya dari mulut yang terbuka setengahnya juga tetesan keringat yang bercucuran basahi rambut dan dahinya—perpaduan paling erotis, belum lagi kacamata yang masih setia dipakai. Sempurna. Jika ada kesempatan untuk merekam ini semua, Wonbin akan memutar ulang rekamannya setiap hari tanpa terlewati.



“Sungchaaan—hh!”



Wonbin menggelengkan kepalanya acak-acakan karena tak begitu sadar bahwa kini tubuhnya tengah dijamah, areolanya dihisap kuat seperti Sungchan sedang memaksa supaya sesuatu keluar dari sana. Merah melingkar tercetak sempurna, gigi-gigi yang terasa tajam menggigit ujung puting Wonbin yang mengacung tegang. Tak berhenti, Sungchan menciumi dan tinggalkan bekas-bekas cinta pada seluruh tubuhnya; di perut, dada, dan lehernya.



“Makin cantik banget, Wonbin, kalo badannya penuh bekas-bekas gue ciumin kaya gini. Badannya emang pantes buat diciumin dan dirusak doang.” Sungchan berucap bangga atas hasil karyanya—jadikan Wonbin sebagai kanvas dengan ia sebagai kuas yang beri merah di sepanjang putihnya.



“Enggak kua—th! Pipis terus... Banjir, gak bisa berhentiii! Aa — hng, ampun, Sungchan…”



Bukan menaruh prihatin, Sungchan malah menempatkan telapak tangannya di atas perut Wonbin; ditekan-tekan bersamaan dengan mengucurnya orgasme yang menyatu dengan mani Wonbin sampai turun membasahi lantai dan berakhir tak berguna bersama sepatu hak merahnya.



“Gila, Wonbin. Tembus,” Sungchan menunjuk penisnya yang tercetak di perut datar Wonbin. “Di dalem anget banget, enak buat gue pejuin sampe kembung. Mau?”



Nyaris nol tenaga tersisa, Wonbin hanya menangis sesenggukan dengan pipi merahnya. “M—mau... Mau, Sungchan. M—aah, mau. Mau dipejuin yang penuh biar hamil.”



Mendengar kalimat tak konstan lagi, Sungchan dibuat gemas karena kini Wonbin terlihat seperti seonggok boneka seks yang bersedia dipakai sepuasnya. Kecup Sungchan bubuhkan di atas satu belah pipi, genjotannya bergerak cepat dan sembrono sampai tiba akhirnya berhenti kala putihnya keluar dan Sungchan buang di dalam liang vagina Wonbin yang berdenyut kian menebal.



“Kerasa?”



Wonbin mengangguk lemah tak berdaya, “Mmhm... Penuh banget, Sungchan. Anget.”



Menahan kekehannya, Sungchan beralih mengecup kening Wonbin cukup lama sambil menarik penisnya keluar. Sisa-sisa sperma yang tak cukup tertampung di dalam sana berhamburan turun dengan pelan dari liang Wonbin yang meregang.



“Pinter banget, Wonbin. Perutnya udah diisi penuh sama punya gue, lo gak bisa ke mana-mana lagi.”



Bisik yang Sungchan lafalkan buat sekujur tubuh Wonbin meremang, belum lagi jemari panjangnya yang terulur melipat helaian rambut Wonbin ke sisi telinganya—Sungchan mendominasi penuh situasi di sana.



Sebab tanpa Wonbin ketahui, Sungchan adalah peran yang jauh lebih cermat dari apa yang telah ia rencanakan bulat-bulat. Sikap dingin dan perlakuan tegas yang selama ini Wonbin hadapi adalah bagian dari strategi. Karena Wonbin tak tahu, sebenarnya ada belasan lukisan yang tersembunyi; lukisan tubuhnya yang Sungchan kerjakan setiap Wonbin keluar dari studionya sehabis melakukan seks hebat seperti tadi—semua Sungchan gambar dalam berbagai posisi; menungging, terlentang, bahkan pada saat tubuhnya mengangkang dengan penisnya yang sempurna masuk di dalam. Lengkap, Sungchan buat mahakarya tersebut dan ia sembunyikan rapat-rapat — atau apabila nanti ada waktu yang tepat, Sungchan akan pertunjukan langsung pada Wonbin bila sempat.

Tapi alasan terkuat mengapa semua Sungchan lakukan diam-diam adalah karena ia juga sama; Sungchan menaruh obsesi. Sejak awal meminta dilukis oleh tangannya lalu Sungchan menyaksikan tiap inci, di sana Sungchan mulai terobsesi. Jadi kali ini, Wonbin tak hanya seorang diri mencintai seluruh bagian tubuh yang dicintanya dengan penuh.



“Besok dateng lagi?”



Dan Wonbin, dengan kekalahannya yang tak ia sadari, mengangguk lalu tersenyum begitu lugu dan manis—karena esok hari, tentu ia akan datang lagi.

--

--

No responses yet