nensyong nsfw oneshot au, commissioned by anonymous. written in 5100+ words. tags: explicit sexual content. porn with plot. fem!syong and fem!nen. lesbian sex. vaginal fingering. rough sex. nipple play. finger sucking. kissing. spanking. scissoring. piss-kink. sex toys. ice play. overstimulation. orgasm delay. squirting and vaginal ejaculation. aftercare.
Mulanya, Wonbin enggak benar-benar mengerti alasan mengapa seseorang bisa merasa cemburu sampai tak enak hati. Tapi semua dibuktikan langsung olehnya saat ini; sesuatu mengganjal dan Wonbin tak merasakan sebuah ketenangan. Seperti ada yang ditahan namun meledak-ledak meminta dikeluarkan. Ini adalah kali pertama bagi Wonbin merasakan serangkaian perasaan tak tentu yang membuatnya lebih banyak diam termangu. Dan alasan utama dari terciptanya perasaan tersebut adalah Sungchan—teman satu kamar yang sudah tak jarang untuk saling berbagi ranjang.
Banyak hal yang mereka lakukan setelah malam itu terjadi, tapi enggak ada yang benar-benar mendeklarasikan apa sebenarnya mereka ini. Pun mulanya Wonbin enggak keberatan untuk menjalankan hubungan yang masih mengambang—asal bersama Sungchan, semua akan tetap baik-baik saja, bukan?
Pikir Wonbin begitu—sebelum semuanya beralih menjadi sebuah kekhawatiran sebab belakangan ini menemukan bahwa Sungchan menjadi sebuah pusat perhatian. Kalau hari itu Wonbin yang berada di posisi begitu diminati dan ramai-ramai didekati, kali ini giliran Sungchan; si polos yang nol pemahaman, sebab ia sendiri enggak menganggap bahwa beberapa hari ini ada yang berbeda dan membuat Wonbin sedikit kikuk untuk berkata.
“Kamu tuh sadar enggak, sih?”
Sungchan yang sedang merapikan laundry di ujung kamar menoleh saat Wonbin mendadak berucap dengan intonasi yang tak ramah juga air wajah yang terlihat sedikit marah; dua alisnya ditekuk dan bibirnya mengerucut, belum lagi dua lengannya yang dilipat dan dadanya yang naik turun menghela napas berat.
“Eh…?” Sungchan memperlambat gerakan tangannya, disimpan semua pakaiannya asal sebelum menghampiri Wonbin dengan perasaan risau. “Kamu kenapa?” tanyanya berhati-hati sebab tak ingin membuat Wonbin merasa dicecar akibat kepanikannya ini.
“Enggak ada yang mau kamu omongin ke aku setelah akhir-akhir ini banyak yang terjadi? Kaya kamu dideketin adik tingkat kamu berkali-kali, mungkin? Sampe waktu sama aku pun mereka tetep nyamperin kamu dan nanya-nanya hal yang enggak perlu. Semua mereka coba buat cari perhatian kamu. Sadar enggak sama itu?” Wonbin mencecar penuh penekanan. “Jadi banyak yang suka kamu, aku aja sadar itu. Gimana kamu?”
Oh.
Soal itu. Meski Sungchan seseorang dengan kepribadian yang lempeng dan tak memiliki banyak pengetahuan, tapi untuk mengerti bahwa Wonbin sedang cemburu adalah hal mudah yang tak perlu banyak pemahaman. Maka, Sungchan berdehem bersiap menjelaskan.
“Maaf… maaf kalo aku bikin kamu kesel karena orang-orang sekarang jadi lirik aku sejak kita terang-terangan selalu bareng—”
“Sungchan—”
“Aku enggak maksud, Bin. Aku pun enggak pernah kasih respons, makanya sekarang aku bingung harus jelasin apa. Maaf kalo aku bikin kamu cemburu karena orang-orang kasih sedikit perhatian yang harusnya itu semua buat kamu malah jadi terbagi ke aku—”
“Bukan karena itu, Sungchan.” Wonbin menyela dengan tegasnya. ”Aku cemburu bukan karena enggak suka perhatian orang-orang buat aku jadi terbagi karena kita sering bareng-bareng belakangan ini. Aku bukan cemburu karena itu. Aku cemburu karena aku enggak suka cara mereka— adik-adik tingkat kamu, cari muka dan ngelakuin banyak upaya supaya kamu bisa lirik mereka. Mereka tuh suka, Sungchan. Mereka suka kamu. Mereka suka cara penampilan kamu, mereka suka cara kamu ngomong, mereka suka—mereka mau kamu, sama kaya aku mau kamu juga. Karena itu. Aku cemburu karena itu. Aku cemburu karena orang-orang bisa liat kamu pake cara biasanya aku liat kamu.”
Dada Wonbin naik turun, bahkan sekarang tenggorokannya sama panas dengan hatinya yang berapi-api sejak tempo hari. Sementara Sungchan hanya berdiri mematung mencerna situasi; Wonbin cemburu dan ia harus cepat-cepat melakukan sesuatu.
“Aku enggak tau…,” lirih Sungchan takut keliru. “Aku enggak tau harus apa supaya kamu berhenti cemburu. Kalo kamu mau aku lakuin sesuatu—aku mau, aku bisa. Aku mau bikin kamu tau kalo aku juga cuma mau kamu, Bin. Cuma mau kamu aja, enggak mau orang lain.”
Sekarang keadaan sudah memiliki sebuah konklusi: Wonbin cemburu dan Sungchan mau melakukan apa pun agar semuanya mereda dan Wonbin enggak perlu khawatir lagi perihal perasaannya.
“Aku mau kamu kasih tunjuk aku sesuatu yang enggak pernah orang lain bisa liat.” Wonbin berucap, kali ini hilang intonasi parau yang menyakitkan untuk didengar. Semuanya berubah menjadi sebuah intimidasi yang Sungchan perlahan mengerti. “Malem ini cantik buat aku aja, mau?”
Enggak ada satu pun perintah dan keinginan Wonbin yang bisa Sungchan tolak. Semuanya seperti mutlak. Sungchan seakan bersedia mengabdi pada Wonbin-nya hingga rela melakukan apa pun dengan senang hati—bukan paksaan, Sungchan akan menganggapnya seperti kewajiban. Lantas jawaban yang dikeluarkan oleh mulut manisnya adalah: mau, aku mau, semua buat kamu, aku mau.
Maka, di sini Sungchan membiarkan dirinya dirias apik dengan balutan kain tipis yang Wonbin pilih dari lemari pakaian miliknya. Duduk di kursi bak singgasana dengan Wonbin yang telaten mendandani dirinya, Sungchan berdebar kencang saat Wonbin menjauhkan tubuhnya memberi tanda bahwa ia sudah selesai mengaplikasikan gincu di bibirnya.
“Cantik…,” Wonbin bergumam dengan posisi tubuh di belakang Sungchan menghadap cermin besar yang tunjukkan pantulan. “Cantik banget, Sungchan. Kamu cantik banget.”
Dua telapak tangan Wonbin memegangi bahu Sungchan yang kosong—enggak lagi ada kain dari kaos hitam kelonggaran yang kerap dikenakan, yang ada di sana hanya tali bra tipis yang menopang payudaranya. Meski kikuk karena enggak biasa berpenampilan seperti sekarang, tapi Sungchan berusaha untuk nyaman. Wonbin benar-benar mendandani dirinya hingga seratus delapan puluh derajat berbeda; wajahnya dipakaikan riasan berupa pewarna bibir merah muda dan perona yang hiasi pipinya. Ini bukan Sungchan yang biasa orang-orang lihat. Bukan pula Sungchan si gadis yang atraktif dengan penampilannya yang maskulin hingga membuat jajaran adik tingkatnya menaruh rasa.
Dan Sungchan yang kali ini didandani menjadi gadis jelita hanya untuk dilihat oleh Wonbin seorang saja. Secara istimewa, hanya Wonbin satu-satunya yang dapat melihat ini semua.
“Suka aku bikin cantik kaya gini?”
Suara Wonbin dekat terdengar karena dibisikan tepat di sisi telinganya dan Sungchan mengangguk pelan meski canggung sebab masih menyesuaikan.
“Dipake dong mulutnya. Aku enggak bisa denger jawabannya kalo kamu cuma ngangguk doang.” Wonbin letakkan kuas di tangannya untuk menciptakan atmosfir serius.
“Suka, Wonbin.” Sungchan jawab tanpa berlama-lama. “Aku suka, suka bisa cantik kaya gini.”
Namun apakah Wonbin puas dengan jawabannya? Tentu belum, belum tuntas sampai di situ saja. Wonbin masih mau melihat Sungchan sebagai miliknya secara penuh. Masih butuh memastikan dan menginginkan Sungchan secara utuh.
“Cantik-cantik begitu emang buat siapa?”
Dan Sungchan tau jelas bahwa Wonbin ingin egonya terpenuhi, “Buat kamu. Buat kamu aja—enggak ada yang lain. Cuma kamu aja, Bin.”
Dihadiahi satu kecup di pipi, Wonbin tersenyum lalu tepuk bahu Sungchan dua kali. “Tetep duduk cantik di sini, lima menit lagi aku dateng bawain kamu minum.”
Enggak membantah atau bertanya-tanya, Sungchan menuruti perintah Wonbin untuk tetap duduk di kursinya. Lamat-lamat Sungchan menatap refleksi dirinya. Selama hidupnya, Sungchan tak pernah terpesona pada dirinya yang selalu dianggap biasa saja. Sebab baginya juga tak bagian wajah atau tubuhnya yang istimewa untuk dipuja dan dicinta. Tapi sekarang, menatap dirinya yang enggak seperti biasa, ada sesuatu yang menggelitik perut dan dada.
Helaian rambutnya yang telah ditata Sungchan selipkan ke belakang telinga, dengan begitu wajahnya yang dirias apik semakin jelas terlihat di kaca. Tersipu, Sungchan menundukkan kepala dan yang ia temukan adalah pakaian milik Wonbin yang biasa dikenakan sang empunya—tapi sekarang Sungchan yang kenakan. Sempit, memang. Sebab mereka memiliki perbedaan ukuran dan hal tersebut menjadikan dada Sungchan lebih padat, payudaranya naik terangkat.
Ternyata ini rasanya.
“Diminum,” Wonbin datang memecah hening di ruangan usai datang dengan secangkir minuman di tangan. “Sirup. Diminum sampe habis. Aku sengaja bikin.”
Cangkir tersebut diletakkan di atas meja tepat di hadapan Sungchan yang penuh diam karena sedang berpikir dalam-dalam. Apa arti dari semua ini? Mengapa Wonbin memperlakukannya berbeda dari biasanya? Sungchan masih perlu memproses lebih lama.
“Enggak aku masukin apa-apa, Sungchan. Perlu aku coba supaya kamu percaya?”
Menggeleng kuat, Sungchan buru-buru menyambar cangkir berisikan sirup tersebut karena enggak mau Wonbin berburuk sangka. “Aku percaya kamu, Wonbin. Cuma sedikit bingung aja—tapi aku pasti bakal minum. Makasih, ya.”
Sekarang giliran Wonbin yang mengangguk lalu berdehem pelan. “Diminum sampe habis, ya. Sisain aja es yang ada di sana.”
Pewarna bibir yang dipoles di bibir Sungchan berakhir membekas di ujung cangkir setelah selesai meneguk habis sirup tersebut dalam satu tegukan. Seperti yang Wonbin ucapkan, Sungchan hanya menyisakan kepingan es di dalam cangkir yang dalam beberapa waktu akan mencair.
“Pinter.”
Dibelai penuh cinta surai Sungchan oleh jemarinya sebelum jemari tersebut berpindah tempat ke rahang yang dipertegas dengan riasan.
“Sungchan pinter.”
Lalu lebih naik, bergeser sedikit demi sedikit.
“Aku… pinter?”
Dehem ringan Wonbin menyatu dengan hening tuk jawab pertanyaan Sungchan yang dilontar secara rendah.
“Mmhm, Sungchan pinter.” Tekan Wonbin sekali lagi. “Tapi, mau lebih pinter supaya bikin aku seneng enggak?”
Bundar bola mata tersebut semakin berbinar tatkala Wonbin bertanya lembut pada Sungchan yang saat ini berusaha untuk mengikis kecemburuan. “Aku harus apa?”
Bukannya menjawab dengan penggalan kalimat, Wonbin memilih untuk menjawabnya dengan isyarat; ibu jarinya masuk melesak menembus belah bibir Sungchan yang mengkilap, refleks yang bagus—Sungchan menyambutnya dengan lidah yang dijulur kecil untuk menyesap. Alur semakin jelas, Sungchan akan mengikuti semua yang Wonbin ciptakan karena ia tau malam ini akan menjadi malam yang cukup panjang.
“Mmhm, kaya gitu. Pinter.” Wonbin merapal puji. “Isep jarinya yang bener.”
Mulut Sungchan yang sedikit dibuka sekarang membentuk kuluman lembut pada ibu jari Wonbin di dalam sana. Ditekan dan digerakkan perlahan beradu dengan lidah Sungchan yang membuat sepanjang ibu jarinya lembab. Dengan posisi berdiri di hadapan Sungchan yang menatapnya sambil mendongak, Wonbin jelas bisa melihat bagaimana lihai Sungchan mengulum jemarinya—yang mana membuat Wonbin turut basah seperti jemarinya yang dibalur embal air liur.
Merasa cukup, Wonbin menarik keluar ibu jarinya dengan pelan. Tapi enggak dibiarkan mulut Sungchan kosong gak berperan, Wonbin menundukkan kepalanya untuk memagut ciuman. Menerima tanpa protes atau layangkan sepatah kata, Sungchan menyambut ciumannya dengan kepala yang semakin mendongak—tau bahwa posisi ini enggak bisa bertahan lama, Sungchan bawa tubuhnya berdiri dan Wonbin dibuat tersenyum disela-sela pagutannya.
Lentik jemari Wonbin tempatkan di pinggang Sungchan yang terbalut kain tipis dari tanktop bra yang dikenakan. Diremas pelan selaras dengan dalamnya ciuman yang mereka ciptakan. Lenguhan kecil timbul dan Sungchan mulai merasakan Wonbin mendorong tubuhnya ke belakang tepat di mana ranjang miliknya berada tak jauh dari posisi mereka bersua mesra.
“Wonbin—hh.” Sungchan melirih, akhirnya. Tubuhnya dibiarkan terbaring sedangkan Wonbin menindihnya di atas sambil bertumpu pakai satu tangan.
Sadar mereka memerlukan jeda, Wonbin memutuskan ciuman yang tercipta dan tinggalkan jejak berupa jembatan saliva.
“Kamu makin cantik kalo diliat dari atas kaya gini.” Diusap lembut pipi wajah Sungchan dengan punggung tangan, Wonbin merabanya perlahan sebelum dibawa turun menuju dada. “Pake tanktop punya aku yang kecilan. Liat, tetenya jadi lebih padet. Makin gede, ya? Apa karena keseringan aku grepe-grepe?”
Ada gelak tawa puas yang terdengar sesaat Wonbin memaparkan isi kepalanya bahwa belakangan ini ia merasa dada Sungchan semakin bersisi dibanding saat hari pertama mereka bertemu dan saling berbagi. Mendengar itu, Sungchan bereaksi tersipu dan berahi dalam satu waktu. Ternyata dipuji-puji tanpa henti seperti ini begitu seru.
“Orang-orang yang liat mungkin enggak bakal sadar karena kamu keseringan pake oversize,” tangan Wonbin mulai mengelus bongkahan tersebut dimulai dengan gerakan lembut saat tangannya menyelinap. “Tapi aku sadar. Aku bisa liat. Tetenya emang makin gede—dulu masih gak muat aku pegang pake satu tangan, beda kaya sekarang.”
“A—ah, Wonbin…”
Desah Sungchan timbul karena sekarang Wonbin meremasnya dengan gerakan memutar-mutar. Tubuh yang semula ditahan supaya enggak menindih Sungchan sepenuhnya sekarang berubah, Wonbin jatuh di atas Sungchan dengan wajahnya yang mendarat tepat di tengah-tengah payudaranya yang dihirup kuat-kuat. Sontak Sungchan meraih rematan di rambut belakang Wonbin yang terurai panjang, dibawanya untuk ditenggelamkan lebih dalam. Sekarang keduanya penuh nafsu membentang, Wonbin menyibak tanktop yang Sungchan kenakan sampai dada, tampilkan gumpalan kenyal payudara yang lekas ia isap dengan tergesa.
“Wonbin… jangan—hh, pelan-pelan. Kenyotinnya pelan-pelan, aku—aah!”
Wonbin menyusu, menghisap puting Sungchan yang tegang sempurna di dalam mulutnya. Disapu dengan lumatan dan jilatan oleh lidahnya hingga tubuh Sungchan yang lebih besar di bawahnya menggelinjang kegelian. Dengan begitu, rematan pada rambut belakangnya semakin kencang menekan-nekan sebagai samsak pelampiasan yang Sungchan salurkan. Karena selain memperkerjakan mulutnya, Wonbin juga turut mengutik tangannya untuk mengangkat rok Sungchan yang panjangnya hanya tutupi setengah paha. Diangkat sampai perut menyisakan celana dalam tipis biru muda yang sedikit basah karena cairan bening merembes keluar dari vagina.
“Udah sange, ya?” Wonbin mendongak menyaksikan Sungchan yang menggebu-gebu. “Sange aku kenyotin tetenya kaya tadi? Sampe becek banyak kaya gini—”
“A—aah… Wonbin, jarinya…” mata Sungchan mendadak terpejam saat Wonbin menggesekkan dua jemarinya di vagina yang masih terbalut celana dalam. “Uh, Wonbin… jangan digesek kaya gitu, nanti aku makin beceeek!”
Meski jemarinya bergerak jahil, tapi perhatian Wonbin tetap pada Sungchan. Menyenangkan rasanya melihat Sungchan kelimpungan seperti sekarang, Wonbin terdorong untuk melakukannya lebih jauh. “Emang memek kamu ‘kan gampang becek. Pas dideketin sama si Leehan itu becek juga enggak? Atau pas sama si Anton? Dia ‘kan nempel-nempel kegatelan tuh sama kamu. Becek juga enggak memeknya pas digodain mereka?”
Ini seperti bukan Wonbin. Sungchan seperti temukan harta karun yang tak niat ia cari—ia menemukan Wonbin dan sisi posesifnya yang ternyata berkali lipat menggairahkan. Digelengkan kepalanya kuat-kuat seraya berusaha menjawab. “Enggak! Eng—hh, enggak… enggak bisa becek kalo sama mereka. Beceknya kalo sama kamu aja, Bin. Cuma—ah, cuma sama kamu aja aku bisa becek banyak kaya gini.”
“Masa, sih?” Wonbin menjawab seolah ia enggak begitu yakin dengan apa yang Sungchan jawab. “Kalo gitu, nanti tiap pulang ngampus aku cek terus memeknya, ya? Aku cek kamu becek apa enggak. Kalo sampe becek, nanti aku tamparin kaya gini—”
“Ha—aah, Wonbiiin!”
Pekik Sungchan timbul begitu kencang sebab Wonbin memberinya tamparan pada vaginanya yang mulai berantakan. Celana dalam tipis tersebut enggak lagi berguna karena sudah basah dengan cairan-cairan beningnya. Basah total. Kacau dan berantakan.
“Buka kakinya yang lebar,” titah Wonbin sambil merubah posisi menjadi berlutut untuk tarik celana dalam tersebut supaya terlepas. Untuk sesaat, Sungchan dibiarkan bernapas saat Wonbin juga turut melepas seluruh pakaiannya. Tapi bukan kembali seperti posisi semula, justru Wonbin berdiri dan berjalan beberapa langkah dari ranjang miliknya.
“Wonbin, mau ke mana…”
Tak dijawab, Wonbin tetap berjalan menuju meja rias tempat Sungchan didandani sebegitu jelita lalu menyesap sirup buatannya. Di sana, di meja itu masih ada bekasnya berupa cangkir berisikan es batu yang tak mencair seluruhnya. Wonbin membawa cangkir tersebut ke atas ranjang lalu diambil satu es oleh tangannya.
“Ngangkang, kasih liat memek yang gampang beceknya.”
Sungchan sempat melirih karena tau Wonbin akan melakukan sesuatu dengan es di tangannya itu. Tapi menyaksikan raut wajah Wonbin yang penuh dominasi, Sungchan hanya bisa menuruti. Dibuka kakinya lebih lebar untuk tunjukkan vagina mengkilap yang meluber kental cairan.
“Wonbin—”
“Tahan.”
Gigi-giginya Sungchan gertak tatkala dingin yang ngilu terasa di paha dalamnya. Wonbin menggesek es tersebut sepanjang garis menuju liang vagina Sungchan yang berdenyut-denyut. Masuk. Lalu Sungchan mendesah kalut.
“Mmh—dingin, Wonbin… dingin, ah, aku enggak kuat.”
Rapat kaki Sungchan dibuat untuk melindungi diri dari dingin yang menyapa labianya saat Wonbin mendorong masuk es batu ke dalam lubang yang berkedut kencang. Tapi Wonbin dengan sekuat tenaga menahannya supaya tetap mengangkang. Malam ini Wonbin benar-benar mendominasi secara keseluruhan, Sungchan dikerjai bak pantas diberi pelajaran.
“Tahan, Sungchan. Ini ‘kan aku lagi bikin kamu enak. Coba, yang lain bisa enggak bikin kamu enak sampe becek dan pipis banyak?”
Meski kalimatnya diucap dengan lembut, tapi Sungchan bisa merasakan setiap penekanan di kata per kata. Meremang seluruh tubuhnya saat Wonbin kembali mengambil es kedua. Namun sekarang bukan hanya Sungchan yang bisa rasa karena Wonbin turut membuka lebar kedua kakinya. Posisi berbaring miring diambil untuk mengapit tubuh Sungchan. Sudah menjadi kebiasaan, Sungchan lekas memberi celah supaya Wonbin berhasil mengambil posisi yang tepat hingga akhirnya vagina mereka bertemu dan saling mengecap.
“Uh, bentar. Becek banget, Sungchan. Ke mana-mana bekasnya.”
Diangkat satu tungkai Sungchan supaya Wonbin punya akses lebih luas untuk memimpin seluruhnya seorang diri. Es batu di tangannya yang perlahan mencair buru-buru Wonbin letakkan di tengah-tengah vagina mereka yang menempel, digesek perlahan sampai tetesan airnya mengalir masuki liang masing-masing yang sama rekahnya. Gesekan yang bertubrukan membuat es di sana meleleh begitu cepat.
“Sungchan—hh! Gesek yang cepet, a-ah, esnya leleh. Dingin, enak banget kena memek—sh.”
Beruntungnya Sungchan berbaring dengan sandaran ranjang di belakangnya. Karena dengan begitu, ia bisa bersandar menikmati yang sedang terjadi sambil menengadah dan mendesah pasrah.
“Wonbin—nh, aku mau pipis… pipis, mau pipis!”
Mendengar lengking Sungchan memenuhi ruangan, Wonbin membuka kelopak matanya yang sempat tertutup karena terlalu mengawang. Dan yang ia temukan di hadapannya adalah Sungchan dengan mata sembab kemerahan menangis akibat kewalahan. Wonbin bersumpah, Sungchan teramat jelita. Dengan air mata berderai dan bibir terbuka juga bongkahan payudara yang memantul, Sungchan sungguhan jelita hingga Wonbin total mendamba.
“Aku juga mau pipis—ah, Sungchan cantik banget…. Aku sange berat liatnya. Gesek yang kenceng, sayang. Memeknya makin tembem giniii, udah pengen ngocor banget, ya—ah?”
Tak lagi bersandar, sekarang Sungchan mendekatkan seluruh tubuhnya agar semakin dekat dan meraih dekap; vagina keduanya makin bergesekkan kuat-kuat sampai es di tengah mereka berubah menjadi tetesan air yang menyatu dengan lekat cairan orgasme. Pinggang keduanya bekerja dengan diangkat dan didorong hingga klitoris mencuat tersebut saling bersentuhan. Ditekan-tekan, dihimpit, terjepit. Beradu desah lalu beradu jerit.
“Ma—ah, mau! Mau pipis, Wonbin aku mau pipis. Pipis—nh, ngocor banget aku enggak—huhu, pipis…”
Dalam selisih beberapa sekon, mereka capai klimaks bersama dengan vagina yang menyemburkan cairan kencing basahi seprei dan telanjang tubuh keduanya. Milik Sungchan lebih lama mengucurkan hasil nikmat yang datang, semburannya bahkan mengenai dada Wonbin yang sudah basah karena keringat. Pun dengan cairan seni dari vagina Wonbin tak kalah banyak, bermuncrat-muncrat lalu terbendung di vagina Sungchan secara sengaja. Sisa-sisanya Wonbin tangkup dan diolesi ke sepanjang perut Sungchan yang naik turun mengontrol napas supaya enggak tercekat. Luar biasa dahsyat. Kuku-kuku kaki mereka terlipat dan otot-otot vaginanya berkontraksi sehingga denyutannya lebih cepat—pada saat ini, Wonbin menjemput ciuman agar keduanya merasa relaks.
“Sungchan pipisnya banyak, pinter banget.“ Bisik Wonbin saat pucuk hidung keduanya saling bersentuhan. “Tapi belum cukup. Ada yang lebih enak lagi dari ini. Jadi, tahan ya? Tetep cantik buat aku—aku bakal bikin lebih enak dari tadi.”
Diberi waktu luang untuk menetralkan napasnya, Sungchan hanya mengangguk sambil menerka-nerka apa yang selanjutnya akan Wonbin lakukan sebagai pemberian dan pelajaran dalam satu waktu yang sama. Karena selama Sungchan menerima semuanya, ia memiliki dua sentimen: menikmati perlahan meski ada sensasi baru yang terselip dan ada rasa cemas yang berdebar-debar karena tau akan banyak kejutan-kejutan yang Wonbin beri dan tak ia pikirkan.
Jelas, ini semua terjadi karena Wonbin dan cemburunya yang menjadi-jadi. Padahal, Sungchan akan selalu memastikan bahwa hanya Wonbin seorang lah yang bisa mendapat segala-galanya. Tanpa perlu khawatir, Sungchan tak akan jatuh pada siapa pun selain Wonbin. Sebab, siapa yang bisa membuat Sungchan jatuh cinta dan menikmati setiap sentuhan pada sekujur tubuhnya? Hanya Wonbin. Tak ada rasa minat dan perasaan yang ditaruh pada orang lain.
“Aku beli ini kemarin-kemarin.”
Namun, Sungchan tak ingin menepis perasaan Wonbin mengenai kecemburuannya. Valid untuk dirasa, Sungchan kira begitu. Sebab ia pernah ada di posisi yang sama dan yang dibutuhkan olehnya adalah ego terisi penuh sampai keraguannya runtuh.
“Itu… double dildo?”
Yang Wonbin bawa setelah beranjak dari ranjang lalu membuka laci ketiga adalah sebuah mainan seks berupa dildo yang tiap sisinya memiliki bentuk penis serupa. Sungchan harusnya enggak begitu terkejut mendapati Wonbin memiliki benda tersebut, sebab mereka kerap memakai rupa-rupa alat bantu orgasme saat sesi seks. Tapi kali ini, yang Wonbin bawa jauh berbeda dari biasanya. Yang mana benda tersebut dipergunakan untuk berdua—untuknya dan untuk Wonbin pakai bersama.
“Mmhm, dari lama aku mau coba. Bayangin aja, kita pake satu dildo berdua, digenjot bareng sampe pipis-pipis bocor. Aku mau banget coba, kamu juga sama ‘kan, ya?”
Vagina Sungchan masih cengap-cengap akibat klimaks pertama bersama Wonbin barusan—lelahnya masih sedikit tersisa. Tapi melihat Wonbin berjalan menghampirinya dengan tubuh polos tak berbalut apa-apa sambil memegangi mainan seks di tangannya, gairah Sungchan sontak memuncak. Mungkin bayangan dari Wonbin yang penuh dominasi seperti ini akan membekas di kepalanya selama berhari-hari. Sungguhan, bagi Sungchan sisi Wonbin yang ini enggak ada tandingannya lagi. Berdesir darah di tubuhnya yang deras mengalir. Sungchan merinding bukan main.
“Masih cengap-cengap aja memeknya, enggak bisa ya kalo didiemin sebentar aja?”
Tatapan Wonbin turun saat mengambil posisi duduk di tepi kasur. Ia menatap sesuatu yang sedikit tertutup kain rok yang masih Sungchan setia kenakan meskipun enggak lagi berguna karena basahnya tembus sampai di sana. “Masih butuh banget disumpel, ya? Masih pengen aku obrak-abrik lagi memeknya sampe pipis kaya tadi?”
“Ah… Wonbin.“
Senyum Wonbin tersungging. Sungchan jauh lebih mudah. Hanya diberi elusan dengan telunjuknya, desahnya secara lembut kembali berbunyi. Tapi Wonbin tetap si pemerhati. Tak ia biarkan Sungchan menerima pelajaran yang ia beri dengan rasa tak nyaman mendatangi. Diambil sebotol pelumas di laci, Wonbin lumuri di atas vagina Sungchan yang masih mau terisi.
“Kan.” Katanya bertingkah seperti si paling benar. “Aku masukin satu jari aja udah kelojotan. Masih pengen banget, ya?”
Tak dapat mengelak, Sungchan mengangguk secepat kilat. “Ya—ah… mau, mau dicolmekin Wonbin dulu. Itilnya masih gateeel! Ha-ah, iya, kaya gitu. Kocokin terus, Wonbin… enak, enak banget. Emang paling enak kalo dicolmekin kamu.”
Telunjuk Wonbin mengoyak liang vagina Sungchan yang menelan habis diameternya dengan licin bekas-bekas klimaks pertama. Menyadari Sungchan butuh lebih banyak dari hanya satu saja, Wonbin selipkan masuk jari tengahnya yang akhirnya total dua—memompa lubang tersebut dengan ujung kuku yang menggaruk-garuk titik nikmatnya.
“Mau pipis, Wonbin… aku mau pipis lagi—”
Berhenti. Wonbin mencabut dua jarinya keluar setelah Sungchan memberi aba-aba muncratnya akan kembali datang. Kosong penuh putus asa Sungchan bentuk lewat hembusan napasnya. Jelas bahwa hal tersebut bukan hal yang menyenangkan. Sungchan nyaris di puncak dan Wonbin membawanya jatuh dengan cepat.
“Aku bikin pipis-pipisnya pake ini,” diangkat kembali dildo yang sempat diletakkan di atas kasur bersebelahan dengan pelumas yang tersedia. “Enggak enak kalo cuma pake jari aja, ayo ngangkang lagi. Biar aku lanjutin sampe ngocor deres ke mana-mana.”
Wonbin mendekat, baluri sepanjang dildo dengan pelumas banyak-banyak. Meski ada yang lebih besar dari hanya sekedar double dildo, tapi Wonbin tetap menginginkan Sungchan menikmatinya dengan tenang tanpa merasa tegang. Maka diciumnya secara perlahan, selaras dengan dorongan-dorongan yang Wonbin ciptakan supaya mainan seks tersebut masuk mengisi vagina Sungchan yang enggak akan dibiarkan merasa kekosongan.
Lidah dililit lidah, Sungchan hanya membuka mulutnya—beri Wonbin seluruh akses untuk menjelajah sementara ia terus mendesah. Henti baru terasa ketika dua tangan Wonbin naik meraba dadanya, meremas payudara Sungchan yang terasa membesar belakangan. Puting bersih kecokelatan tersebut Wonbin pelintir dengan jemarinya sampai total tegang. Baru setelah itu ia berikan sedikit cubit dan tarikan sampai Sungchan tersentak lalu mulai terisak.
“A—hn… aku sensitif banget kalo dimainin pentilnya. Huhu, jangan digituin—ng… Wonbin.”
Lengah, Wonbin meraih ujung kain yang masih terpasang di tubuh Sungchan untuk diangkat dan dilepaskan. Sekarang Sungchan setengah telanjang, menyisakan rok mini yang disibak tanpa celana dalam. Ini jauh lebih menggairahkan, Wonbin bahkan menaruh beberapa detik untuk menatap penuh kagum yang diakhiri dengan memberi cium-cium. Leher, tulang selangka, hingga dada, semua Wonbin beri bekas-bekas cinta yang akan hilang cukup lama. Merahnya kontras dengan kulit bersih Sungchan, jadikan ruam-ruam tersebut menyala gamblang dan mungkin akan sulit ditutupi diam-diam.
“Buka matanya, Sungchan.” Perintah Wonbin dibisikkan. “Liat aku. Kasih liat muka cantiknya ke aku. Kasih tau kalo cuma aku yang bisa liat cantiknya kamu.”
Kelopak berat tersebut dibuka, susah payah Sungchan membuat dirinya tetap sadar di lautan nikmat yang Wonbin ciptakan. Puas, Wonbin tersenyum sambil memberi elusan halus di sepanjang rahang. Dari sedekat ini, Sungchan dan riasannya nampak lebih menawan. Dari lentik bulu mata, kilau pulas mata, serta pewarna bibir yang masih tersisa, Wonbin merasa menang karena hanya ia yang bisa melihatnya.
“Paling cantik,” jari-jari tersebut berangsur turun membuat pola rapi berbentuk garis yang berhenti di klitoris. “Aku suka liat kamu berantakan tapi tetep cantik kaya gini, Chan.”
Lengking rintih Sungchan kembali menggema saat kelentit tegangnya diputar-putar. “U—ah, geli… dikucekin kaya gitu bikin geli banget, Bin—hh! Gelii.”
“Mm?” balas Wonbin pura-pura tak mengerti. “Klitnya aku kucek-kucek kaya gini bikin geli? Ya? Padahal aku kucek pelan-pelan, belum kenceng kaya gini—”
Putaran melingkar di klitoris Sungchan bergerak cepat sampai tubuh yang lebih besar tersebut membusung ke depan sambil melipat jari-jari kakinya untuk menahan. Mengambil kesempatan, Wonbin sekarang beralih untuk menggerakkan dildo yang sudah tenggelam; masuk keluar Wonbin dorong masuk sampai menggeliat seluruh tubuh Sungchan dibuatnya.
Adalah absolut jika Wonbin terangsang menyaksikan semuanya. Maka, sisi lain dari dildo di ujungnya dilumuri pelumas untuk Wonbin pakai sama seperti Sungchan memakainya. Mereka bukan lagi hanya berbagi ranjang untuk sekarang, tapi juga berbagi mainan seks yang dalam bersarang.
“A—sh, Sungchan… enak banget!” racau Wonbin mulai timbul saat menggerakkan pinggulnya supaya panjang tersebut makin tenggelam. Serta-merta mereka langsung saling bertumpu; tangan Wonbin di pinggang Sungchan, sementara bahunya kuat-kuat dipegang. Demikian mereka berbagi rasa dan sensasi yang serupa dalam waktu yang bersamaan. Desahnya menyatu bising, tapi suara Sungchan jauh lebih nyaring. Belum lagi tangisnya yang merengek seperti minta diampuni padahal ia total menikmati.
“Uh—sumpah, kamu seksi banget, Chan.”
Tangan Wonbin tak hanya bisa berdiam saat payudara Sungchan bergerak memantul sewaktu tubuhnya berusaha menggenjot dildo supaya makin dalam, menyisakan lima senti yang kosong sebab Wonbin juga sama-sama dalam menelan. Diberi stimulasi yang terlampau nikmat ini, Sungchan tak dapat menahan keseimbangan diri; jatuh setengah berbaring membiarkan Wonbin memerah dadanya dengan pinggul mengentak kuat-kuat.
“Adik-adik tingkat kamu mana bisa, Chan, liat kamu berantakan kaya gini.” Ditampar sekali buah dada kiri. “Yang bisa mereka liat cuma Sungchan si cewek keren dan ganteng doang. Padahal aslinya berisik, desahnya kaya artis porno. Memeknya juga gampang bocor. Rewel, dipake kaya begini aja bisa sampe nangis-nangis.”
Saat Sungchan berusaha menundukkan kepalanya, yang ia temukan adalah vagina miliknya yang merah merekah sama seperti vagina Wonbin di depannya. Yang berbeda hanya Wonbin masih memiliki tenaga, sementara Sungchan nyaris tumbang karena dikerjai tak tuntas-tuntas sampai pipi vaginanya terasa kebas.
“A—ah, ampun, Wonbin. Aku mau keluar lagiii. Ng—ah, itilnya mau pipis lagi. Itil Sungchan bocor banget—ah, enggak bisa ditahan. Mau banget keluar! Mm — mau keluaaar!”
Disaksikan dengan pandangannya Sungchan yang menggelinjang seperti sedang tersengat. Dahsyat. Ini sudah babak kesekian dan Sungchan sudah berkali-kali capai puncak. Tapi kali ini tak bisa ditahan untuk sekejap, Wonbin tau kalau batas Sungchan hanya sampai di sini. Sebuah kepuasan bisa membuat Sungchan ada di titik tertinggi dengan beragam cara yang sudah Wonbin susun di kepala sebagai fantasi belaka. Lama sudah Wonbin menginginkan ini semua; membuat Sungchan lemah tak berdaya di tangannya. Lalu semua terjadi di kesempatan kali ini. Bagaimana bisa Wonbin enggak terpuaskan jika semuanya terealisasi?
“Hiks, Wonbiiin! Uda—ah, udah. Aku mau pipis lagi. Enggak kuat lagi—ampun, ah, bocor terus Wonbin mau muncrat banyak-banyak!”
Racau asal Sungchan diikuti isak tangisnya yang terdengar menyenangkan. Bukannya Wonbin membantu dengan memberi dorongan, justru ia lekas mencabut sumpalan dildo di liang vagina Sungchan hingga kopong lalu kembali berkedut kelaparan. Tapi, tetap. Sungchan masih tetap menggeliat dan berusaha menggesek kedua pahanya supaya sampai di puncak. Dan, pasti. Wonbin tak akan membiarkan semuanya dengan mudah dapat terjadi.
“Sekali-kali kamu tuh emang harus aku giniin.”
Celana dalam yang sudah ditanggalkan di babak pertama dan berakhir tergeletak di sisi ranjang kini akan Wonbin kembali gunakan. Kainnya dibentuk gumpalan panjang, ia membuatnya secukup mungkin untuk menyumpal seluruh bagian vagina Sungchan yang membutuhkan sentuhan-sentuhan agar berhasil klimaks untuk kali kesekian.
“Won—hh, Wonbin! Udah, udah, tolong… aku enggak bisa tahan lagi, butuh pipis-pipis. Mau pipis—ngh, lepaaas!”
Sungchan berontak, berusaha untuk melepaskan gumpalan kain yang menahannya supaya total tuntas dan enggak terasa ngilu. Tapi Wonbin dengan tenaganya yang masih besar terkumpul dengan mudah menahan tubuh ringkihnya supaya tetap menikmati sesi penyiksaan ini.
“Makin cantik banget kalo udah pasrah sampe tolol kaya begini. Jadi enggak guna. Enggak ada apa-apanya. Desah aja yang kenceng, siapa tau adik tingkah kamu ada yang bisa nolong.”
Pendengarannya enggak berfungsi lebih tajam seperti biasa, meski begitu Sungchan bisa dengar Wonbin sedang mengucapkan kalimat yang menyudutkan dirinya. Dan tak banyak yang bisa Sungchan balas selain mendorong pahanya maju mundur berusaha begitu keras untuk capai orgasme tertahannya.
“Hu—uh! Susah banget, ah, enggak bisa… mau pipis, aku mau pipis please! Lepasin, mau pipis…”
“Enggak bisa diem banget, sih. Mau apa emang pahanya gerak-gerak kaya gitu?” tanya Wonbin berlagak lugu tak tau-menau. “Mau pipis, ya? Sungchan mau pipis-pipis lagi, iya? Itilnya udah bengkak pengen muncrat-muncrat?”
Tangis Sungchan semakin menjadi-jadi, ia betul-betul hanya seonggok manusia penuh desperasi. Dan Wonbin gemar melihatnya seperti ini. Jelas terbukti, sebab setelah kain ditarik lepas, Wonbin cepat-cepat memberi tamparan yang keras. Labia dan klitorisnya merasakan panas saat tamparan-tamparan Wonbin beri tanpa belas. Sontak Sungchan mendongak, merasakan sensasi yang segera meledak-ledak. Lengking desahnya merdu menyatu dengan bunyi kecipak tamparan di bawah sana.
“Ha—ah… pipis! Mau pipis…”
Terkekeh kecil, Wonbin mengangguk. “Pipis, cantik. Pipis yang banyak, keluarin semuanya di depan aku. Basahin semuanya. Bikin kasurnya jadi bau kencing biar kalo ada yang dateng pada tau sebenernya memek Sungchan sering dibikin bocor sama Wonbin.”
Wonbin membiarkan Sungchan kembali mengawang, pun ia juga butuh jemput orgasmenya yang tertunda karena bermain-main lebih lama. Wonbin mengangkang, kembali memasukkan dildo tersebut sama dengan bagaimana ia memasukkan sisinya yang lain ke dalam vagina Sungchan yang membentuk lingkar kekosongan. Mereka kembali memakainya meski singkat , digenjot dengan sisa tenaga yang enggak lagi banyak. Kali ini sambil berpeluk pinggang dan buat payudara masing-masing menempel bertabrakan.
“Aah! Enak banget, Sungchan. Genjot terus sampe mentok — hh, aku juga mau pipis.”
Keringat Sungchan menetes sampai lehernya, basah semua. Riasannya tak pudar, tapi kewarasannya demikian. Ujung penis buatan yang kembali masuk menyapa dan menyenggol prostatnya. Untuk kesekian kali, Sungchan mau kencing lagi. Bibirnya tak henti-henti meracau asal yang tak koheren — tak jelas artikulasinya, Sungchan teler.
“A — aku, huh, banyak banget pipisnya…”
Dalam hitungan yang sama, semprotan kencing yang ditahan lama-lama akhirnya meledak juga. Cipratannya basahi tubuh mereka dan seprei yang tak lagi berbentuk rupanya. Dari kaki sampai paha, Sungchan gemetar merasakan orgasme dahsyat di sekujur tubuhnya. Wonbin mengembuskan napas lega. Melihat kekacauan yang diperbuatnya, Wonbin menarik ujung bibirnya bentuk senyuman puas yang khas. Adalah sebuah kebanggaan bagi Wonbin menjadi orang di balik semuanya. Tubuh mereka berakhir terguyur seni yang menyatu penuh cinta.
“Banjir banget, cantik. Enak akhirnya bisa pipis-pipis banyak?”
Nol tenaga, Sungchan mengangguk tak berdaya dengan napas memburu dan tangis yang belum reda.
“Pinter,” Wonbin kecup keningnya. “Sungchan pinter. Pinternya Wonbin. Cantiknya Wonbin. Kalo kaya gini, enggak boleh sama orang lain. Besok-besok aku bikin cantik lagi lebih sering.”
Keringat di pelipis yang basahi rambutnya disisir halus ke belakang, Wonbin beri banyak kecupan sebelum mereka mengambil jeda untuk lekas bersihkan semuanya. Kemudian usai puluhan menit bangkit dan mengurus semua kekacauan hasil bersama, akhirnya mereka berbaring nyaman di ranjang lain yang tersedia. Beruntung di kamar ini disediakan dua ranjang. Karena dengan begitu, jika salah satunya kotor, mereka bisa pakai yang lainnya.
Gaun tidur tipis dikenakan di masing-masing tubuh selesai mereka saling bersihkan diri di kamar mandi. Kompres penghangat mereka tempel di punggung secara bergantian supaya tidur nanti tak akan terasa pegal-pegal badan. Wangi sabun dan lilin aromaterapi membuat mereka—yang baru saja habiskan banyak waktu sampai kelelahan tiba—dibuat rileks dengan posisi tiduran yang berhadapan. Jelas dari wajah saja terlihat siapa yang tenaganya dikuras habis sampai lemah dan siapa yang menciptakannya menjadi sebegitu parah. Wonbin berkali-kali memberi apresiasi berupa afeksi dan afirmasi, mengatakan bahwa Sungchan sudah memberi segalanya lalu dihujani dengan kecupan-kecupan penuh sayang. Dengan begitu tenaga Sungchan terisi kembali dengan senyum diukir menggemaskan.
“Tapi aku serius,” Wonbin memperbaiki sedikit posisinya supaya bisa melihat wajah Sungchan lebih jelas. “Kamu barusan cantik banget. Mungkin aku enggak bakal bisa lupain cantiknya kaya gimana. Membekas banget di kepala—enak juga kamunya. Centil. Aku suka.”
Sungchan terkekeh geli, kembali teringat refleksi dirinya di hadapan cermin yang sama membuatnya terpukau karena menemukan dirinya cocok dirias apik. “Aku seneng juga bisa cantik buat kamu, Bin. Mau cantik lagi buat kamu. Buat kamu aja, buat orang lain enggak perlu.”
Helaian rambut Sungchan yang tutupi setengah wajahnya disibak, Wonbin mendekat beri cium singkat. “Tapi pasti capek banget, ya? Aku bikin kamu jadi capek… gimana, dong?”
Giliran Sungchan yang mengulurkan tangan untuk selipkan poni Wonbin yang mulai panjang. “Kalo capeknya bikin enak, aku enggak masalah. Asal sama kamu, sama sekali bukan masalah. Jadi, kamu harus tau kalo aku jelas enggak bakal ke mana-mana. Ya?”
Mengerti maksud Sungchan mengarah pada keraguan dan ketakutannya mengenai kehilangan karena belakangan ini Sungchan menjadi pusat perhatian, Wonbin sekarang merasa jauh lebih tenang. Ia mengangguk seraya membentangkan tangan menciptakan genggaman di pinggang kecil yang bersembunyi di balik selimut yang dikenakan. “Mmhm. Aku ngerti. Enggak bakal cemburu-cemburu lagi.”
Bukannya Sungchan menerima pernyataan tersebut dengan lega, justru ia mengerutkan dahinya seolah tak suka.
“Kenapa? Kok begitu mukanya? ‘Kan aku tau kalo kamu enggak bakal ke mana-mana, jadi enggak bakal cemburu lagi dong akunya.”
Dan Sungchan menggeleng lemah. “Padahal kalo mau cemburu lagi juga enggak apa-apa. Supaya kamu bisa marah lagi. Soalnya aku suka kamu kaya tadi—jadi pengen lagi.”
Untuk kali ini, demi merendam sesuatu yang menggelitik di perut dan dadanya, Wonbin hanya tertawa renyah karena merasa tersipu dengan dirinya beberapa menit lalu. Tak menyangka juga ia bisa memegang peran penting di sesi seks malam ini. Lantas dibawanya Sungchan dalam dekap hangat yang lebih erat. Nyaman. Ini adalah sesi yang tak pernah sekali pun mereka lewatkan setelah seks panjang; bersatu dalam pelukan di sisa malam sampai pagi menjelang.
Kalau sudah begini, tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. []