Secrets Under Sheets

ACEL:
27 min readOct 10, 2024

--

syongnen nsfw oneshot au, commissioned by A. written in 6400 words. tags: explicit sexual content. porn with plot. fem!syong and fem!nen. roommates. lesbian sex. masturbation. vaginal sex. fingering. face-sitting. straps-ons. sex toys. scissoring. squirting and vaginal ejaculation. dirty talk. local profanities. piss-kink.

Masih Sungchan ingat bagaimana ia bisa berakhir berada di dalam satu kamar yang sama bersama Wonbin, si jelita yang kerap dipuja-puja karena parasnya. Seorang perempuan dan teman sekamar yang memberinya banyak pengalaman luar biasa; segala dilewati bersama-sama. Dari kecanggungan hingga berakhir keakraban yang terlampau menyenangkan, semua masih dan sengaja ia rekam di kepala sebagai kenangan yang tak pernah dilupa.



Hari itu, Wonbin kenakan midi dress berwarna putih bercorak bunga. Rambutnya sengaja tergerai dengan hiasan kepala, begitu cocok dengan parasnya yang teduh dan jelita; tak bosan untuk dipandang dengan pasang mata—seperti bagaimana Sungchan memandangnya dari kejauhan sambil menyeret koper bawaannya.



Pagi yang heboh sekali. Tempo hari, Sungchan telah mengemasi semua barang-barang bawaannya ke dalam kardus dan pakaian-pakaian ke dalam koper. Hasilnya cukup merepotkan karena pada akhirnya ia harus membawa semuanya seorang diri, sedangkan beberapa mahasiswa yang lain dibantu oleh asisten rumah yang tidak membiarkan tuannya lelah. Datang dari Malang, Sungchan benar-benar melakukannya sendirian. Ia tak memiliki keluarga yang dapat diandalkan, tapi tak pernah ada sepatah keluhan yang keluar dari belah bibirnya hingga sekarang. Tumbuh besar dengan baik dan memilih teknik mesin sebagai jalan hidup ke depannya, bagi Sungchan sudah jauh lebih dari cukup.



Ah, memikirkan semuanya kembali cukup menghabiskan energi. Sungchan gemar menelan pahit hidupnya sendiri. Napasnya dihembus, kemudian tatapannya beredar. Semakin ramai orang. Semua menunggu giliran sembari menggulir layar ponsel dan memangku laptop—lain hal dengan Sungchan yang perlu menjaga barang bawaannya karena tak memiliki seseorang untuk membantunya pindahan; tinggal di asrama kampus yang sebagian besar ditinggali oleh mahasiswa baru.



Semua bersiap mengantre untuk mendapatkan kartu kamar sebagai kunci cadangan. Selang beberapa lama, tiba saatnya Sungchan dipanggil lalu diberi akses beserta buku panduan yang menjelaskan secara rinci peraturan-peraturan yang harus ditaati. Napas Sungchan dihirup panjang, ia mengerti kemudian menganggukkan kepala lalu berbalik badan tuk melangkah kian menjauh dari resepsionis sambil menarik koper bawaannya—yang sialnya mendadak macet.



Hidup Sungchan sungguh terasa berat akhir-akhir ini. Roda kopernya beberapa kali diseret kencang supaya tak lagi mandek. Berhasil, memang. Tapi tubuh Sungchan dibuat terhuyung bersamaan dengan barang bawaannya yang berjatuhan. Sontak pasang mata tertuju padanya sebagai pusat perhatian. Sungchan bahkan sampai perlu menundukkan kepalanya berkali-kali sebagai permohonan maaf karena telah membuat kegaduhan.



“Hai, mau dibantu?”



Tubuh yang jongkok guna memunguti barang-barang yang keluar dari kardusnya membuat Sungchan perlu mendongak kala pendengarannya menangkap seseorang sedang berbicara padanya. Sontak, iris mata yang semula redup dan tak menyala kini mendadak berbinar seolah penuh taburan bintang di pupilnya. Sungchan memandang dari ujung sepatu hingga pangkal kepala. Hal yang tak disangka-sangka. Sungchan dibuat menganga.



Gadis yang disaksikannya barusan kini berdiri di hadapannya, memandang Sungchan dengan tatapan merunduk dan parasnya jauh lebih mengesankan—terasa lebih nyata dibanding tadi saat Sungchan memandangnya dari kejauhan. Senyumnya diukir, hidungnya juga begitu bangir, belum lagi matanya yang berukuran cukup besar seperti seekor kucing. Persis seperti boneka cantik yang kerap Sungchan saksikan semasa kecil.



O—oh,” Sungchan termegap. Mencoba buat dirinya sadar kembali bahwa ia tak bisa terlalu lama menatap. Kemudian ia berdiri, merapikan sekilas pakaiannya yang kusut karena banyak bergerak sedari tadi. “Gimana, maaf?”



Ditunjuk barang bawaan Sungchan yang penuh di tangan, “Mau dibantu? Aku bisa bawain. Barangkali kamu kesusahan, mungkin?”



Semasa hidupnya yang menyulitkan dan diberi banyak pertolongan, tak pernah Sungchan merasa bantuan-bantuan tersebut turun dan ia ibaratkan dengan kalimat penuh hiperbola. Sama sekali tidak pernah. Tapi hari ini, kalimat tanya yang menawarkan bantuan rasanya bagai turun langsung dari nirwana dan diucap oleh sosok bidadari penunggunya.

Ada kalanya Sungchan membandingkan diri dengan penampilan orang lain yang lebih menarik. Sebab sehari-hari Sungchan lebih sering gunakan kain dan celana bermotif batik yang dipadukan dengan atasan berwarna gelap—seperti pakaiannya sekarang yang kontras dengan konsep bebungaan yang si jelita kenakan.



“Eh?” Sungchan menatap barang-barangnya memiliki keraguan. “Ini berat, jadi gak perlu dibantu gak apa-apa. Makasih tawarannya—”



“Aku bawa yang ini aja, ya?” tanyanya memotong kalimat Sungchan yang berusaha menolak meski tenggorokannya sedang terasa dijerat. “Aku bantu bawa, gak apa-apa, kok! Soalnya barang bawaan aku udah dibawain Mbak, jadi aku enggak bawa apa-apa. Makanya biar aku bantu aja, ya?”



Ketulusan si jelita untuk membantu Sungchan menjadi awal mula bagaimana keduanya bisa lanjut bercengkerama. Tapi tak berhenti di sana, sebab ada kebetulan yang tak pernah Sungchan pikirkan di kepala. Lucu bagaimana semesta seperti mempertemukan mereka ketika Wonbin—yang membantu membawakan barang bawaan Sungchan sampai ke depan kamarnya—tertawa lalu menepuk lengan Sungchan seolah ia sedang menemukan sesuatu yang luar biasa.



“Kamar kamu di sini?”



Sungchan mengangguk, “Mmhm. Kamar nomor empat belas di lantai dua. Di sini. Kenapa?”



Tawa Wonbin kian menggelegar. Suaranya terdengar menyejukkan, tawa paling bagus yang pernah Sungchan dengar. Begitu anggun, senyumnya hingga tak sadar ia ukir sebelum bertanya apa alasan Wonbin tertawa begitu renyahnya.



“Kamar aku juga di sini. Nomor empat belas di lantai dua. Kita satu kamar. Kita bakal jadi temen sekamar.” Katanya dengan senyum yang makin lebar—terlihat sangat gembira. Dan Sungchan tertular dibuatnya.



“Kebetulan banget, ya.” respons Sungchan dengan wajah yang tak ia sadari mulai merona. “Kalo gitu, biar kenalan dulu. Aku Sungchan.”



Ingin Wonbin mengulurkan tangannya sebagai bentuk perkenalan, tapi saat itu kedua tangannya penuh mengangkut barang bawaan Sungchan. Maka, ia hanya bisa mengangguk dan buru-buru menyebutkan namanya dengan riang. “Wonbin. Aku Wonbin. Salam kenal, Sungchan!”

Begitu. Semua masih Sungchan ingat baik dan jelas. Keduanya menjadi teman satu kamar yang sempat bertukar informasi dasar di awal perkenalan. Saat itu, yang Sungchan ketahui langsung dari mulut Wonbin adalah: Wonbin mahasiswa fakultas kedokteran yang lahir di Bandung dan seorang pisces. Hanya tiga tersebut yang Wonbin beri sebagai pengenalan diri. Sungchan yang nol pemahaman mengenai bintang-bintang tak banyak bereaksi. Yang ia pikir saat itu hanya: Wonbin cukup unik dan menggemaskan sekali.



Dua ranjang yang bersebelahan dan satu kamar mandi serta ruang ganti pakaian adalah yang mereka dapat sebagai fasilitas di kamar asrama yang akan ditinggali selama beberapa waktu ke depan. Wonbin memilih satu ranjang yang berdekatan dengan jendela kamar, sementara Sungchan memilih ranjang yang dekat dengan meja belajar. Mereka sepakat untuk saling berbagi dan saling membantu jika sama-sama membutuhkan. Sempat pula Wonbin menawarkan Sungchan untuk meminjam pakaiannya jika sewaktu-waktu Sungchan ingin memakainya. Tapi perbedaan selera berpakaian keduanya yang kontras—Sungchan cenderung maskulin dan Wonbin begitu feminin—maka Sungchan menolaknya dengan baik berupa gelengan kepala dan senyum yang diulas sederhana.



Pun hari ke hari, mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Bahkan ketika sampai di kamar pada sore hari, mereka perlu berkutat kembali dengan lembaran kertas dan laptop yang menyala sampai tengah malam. Juga, mereka tak memiliki terlalu banyak konversasi. Hanya sekedar basa-basi, seperti bertanya bagaimana hari yang dilalui atau mengucap kalimat pamit saat salah satunya hendak tertidur lebih dulu. Lalu paginya mereka bangun dan sibuk bersiap hadiri kelas. Semuanya terulang begitu setiap hari dan keduanya tak menjadikan itu sebuah masalah, mengingat mereka sedari awal hanya dua orang asing yang ditempatkan di satu kamar saja.



Tapi, ada setidaknya interaksi yang tak lebih dari hanya sekedar. Seperti ketika Sungchan dengan berbaik hati menuangkan teh hijau ke cangkir milik Wonbin saat teman satu kamarnya tersebut harus begadang. Ada juga obrolan berat yang melibatkan kesibukan masing-masing lalu berakhir saling mengeluh dan bertukar kalimat semangat. Atau saat mereka berbagi makan malam sambil menonton serial yang Wonbin rekomendasikan. Hanya itu. Tak ada yang lebih spesial. Disadari juga oleh Sungchan bahwa Wonbin terkadang bersikap malu-malu. Bingung mendeskripsikan, tapi dari pandangan Sungchan, Wonbin selalu tersipu saat diajak bicara dan berkontak mata. Seperti ada sesuatu yang sedang disembunyikan olehnya. Namun Sungchan tak banyak memikirkan. Toh, ia dan Wonbin hanya teman satu kamar. Berhubungan baik saja sudah cukup, tak bagus jika berburuk sangka, bukan?



Tetapi, ada yang berbeda di hari itu. Tepatnya saat malam pukul sepuluh. Sungchan tengah sibuk mencatat rangkuman materi di bukunya, sedang Wonbin lima belas menit yang lalu baru saja selesai membersihkan diri. Sungchan bahkan tak perlu menerka apa yang Wonbin lakukan di dalam kamar mandi. Sebab ketika Wonbin keluar dari sana, tercium sudah wangi yang segar dan khas. Sungchan sampai hafal dengan wanginya.



“Sungchan,” suara lemah dan parau memanggilnya di tepi ranjang dekat ruang ganti pakaian. Sungchan menoleh, Wonbin ada di sana dengan rambut yang selesai dikeringkan usai mandi malam. Ada air wajah yang tak secerah biasanya, Wonbin murung dan Sungchan khawatir. “Aku ganggu kamu enggak?”



Pena yang terselip di jarinya semula digenggam erat, tapi kini melonggar lalu jatuh di atas kertas begitu saja. “Enggak.” Sungchan jawab. “Kenapa, Wonbin? Ada yang mau aku bantu?”



Lalu hening. Terlihat jelas raut wajah Wonbin yang bingung untuk mengutarakan sebuah ingin. Seolah di atas kepalanya muncul ribuan kata yang tak terangkai menjadi satu kalimat bermakna. Tahu memiliki kesulitan, Sungchan inisiatif berdiri lalu menghampiri Wonbin—mengambil sisa ruang kosong di sampingnya yang setia bergeming.



Satu detik, dua detik, hingga belasan detik. Wonbin akhirnya membuka dua belah bibirnya, “Mau tidur bareng enggak? Di sini. Di kasur aku—kalo kamu mau.”



Selain ajakan Wonbin yang membuat Sungchan mendadak pening, ada satu hal yang buat fokusnya miring. Sungchan hafal bahwa Wonbin selalu gunakan gaun tidur setiap malam—tapi tak pernah Sungchan melihatnya sedekat seperti sekarang, yang mana begitu jelas terlihat proporsi tubuh Wonbin yang tercetak oleh kain tipis berwarna putih yang panjangnya di atas lutut dengan kerah yang menampilkan sebagian dada. Jauh berbeda dengan Sungchan yang biasa kenakan kaos tipis juga celana pendek sampai paha. Namun, poin utamanya bukan perbedaan antara mereka—tapi kesalahan fokus Sungchan yang lebur tatkala pandangannya menunduk tertuju pada dada. Dada Wonbin yang berisi tanpa gunakan bra. Ini informasi yang berlebihan, tapi milik jika dibandingkan, milik Sungchan bukanlah apa-apa.



“Enggak mau, ya?”



Mengerjap, Sungchan menangkal pertanyaan Wonbin dalam bentuk sebuah kesimpulan bahwa Sungchan enggan tidur bersama dengannya sesuai dengan permintaan. “Enggak—maksudnya, bukan enggak mau!” Sungchan memejamkan matanya sekilas untuk merelaksasi pikiran. “Aku mau. Mau tidur bareng malem ini. Di sini, ‘kan? Di kasur kamu—berdua?”



Satu ranjang kecil yang sebetulnya hanya muat untuk menampung satu tubuh dewasa kini dibagi menjadi dua. Mereka secara alami saling melingkarkan tangan hingga bentuk posisi pelukan intim di mana Wonbin yang terkecil berada di bawah Sungchan yang mendekapnya—wajah Wonbin berada di perpotongan leher Sungchan sementara dagu Sungchan mendarat di atas kepala Wonbin yang tercium wewangian. Lengan Sungchan dijadikan bantalan, Wonbin dibuat nyaman.



“Rambut kamu wangi banget, Bin.” Sungchan secara sadar memuji ketika penciumannya menghirup pucuk rambut Wonbin yang habis dikeringkan barusan. “Aku seneng sama wanginya.”



Meski mereka tak bertatapan, tapi senyum keduanya diukir manis seperti tahu bahwa obrolan seperti ini adalah luang yang dibutuhkan. Sedikit menyesal mengapa mereka tak melakukannya sedari awal.



“Ini wangi dari sampo. Kamu mau coba juga enggak?” tanya Wonbin sedikit melonggarkan pelukannya tuk lebih jelas menatap Sungchan meski ia perlu sedikit mendongak kesusahan.



“Coba?” Sungchan berbalik tanya, tak ingin keliru memaknai apa maksud Wonbin meski praduga ada di isi kepala.



Perempuan yang berada dalam rengkuhannya mengangguk, “Mmhm. Coba sampo yang aku pake — barangkali kamu mau cium wanginya terus karena kamu suka? Atau kita bisa kaya gini lagi kapan-kapan supaya kamu bisa cium wanginya.”



Sontak ada kekhawatiran yang Sungchan rasa sesaat Wonbin selesaikan kalimat penjelasannya. Karena di sana, di dada yang sedang Wonbin gunakan sebagai sandaran, ada bunyi degup yang berantakan. Sungchan berdebar. Merasa tubuhnya bereaksi sesuatu yang menggelikan—perutnya seperti penuh sesuatu yang beterbangan. Tapi, Wonbin, si jelita tersebut tampak biasa saja seperti apa yang sudah dikatakannya tak memberi efek tertentu yang buat Sungchan kelimpungan.



Dan itu entah terjadi karena mereka tak saling mengetahui atau mungkin karena hanya Sungchan lah satu-satunya di sini. Yang jelas, mereka tetap tidur bersama dan berpelukan hingga pagi hari tiba.



Namun sepertinya opsi kedua adalah yang akurat. Mungkin hanya Sungchan seorang yang memiliki ketertarikan pada seorang puan. Sebab keesokannya, ada hal yang Sungchan dapat dan ia simpulkan bahwa Wonbin betul-betul tak tertarik pada seorang perempuan. Semua terjadi saat Sungchan keluar dari kamar mandi dengan handuk yang terlilit di tubuhnya. Dan untuk mengambil pakaian ganti di lemari, Sungchan perlu melewati Wonbin di ranjangnya sedang berbaring menggulir layar ponsel asik sendiri. Sadar bahwa Sungchan hanya gunakan handuk dan tampilkan kaki jenjang juga leher dan sekujur dada yang tak terhalang, Wonbin mengubah posisinya menjadi duduk dengan ponsel yang tak lagi digenggam.



“Lain kali, bajunya bisa dibawa ke ruang ganti pakaian aja enggak? Biar kamu enggak pake baju di sini—biar enggak harus hampir telanjang di depan aku kaya gini.” Wonbin memberi teguran. Jelas yang dikatakannya adalah sebuah teguran karena air wajahnya pun tampak tak nyaman—merah merona, tapi Sungchan menganggap Wonbin sedang menahan amarah dan kekesalan yang membuncah.



Walau terkejut, Sungchan buru-buru kembali melilitkan handuknya yang nyaris dibuka lalu mengucapkan permintaan maaf dan berjanji tak akan mengulangi hal yang sama—dalam hati juga merutuki diri yang lupa dengan batasan karena sekarang Sungchan tak tinggal sendiri, kamarnya sudah dibagi bersama Wonbin, si heteroseksual yang sepakat Sungchan simpulkan mentok.



Mulanya, Sungchan enggan cepat menyimpulkan. Apalagi ini perihal seksualitas seseorang. Tapi semua kesimpulannya didukung penuh di hari-hari berikutnya karena mulut di kanan kiri berbisik menyebar informasi bahwa seorang lelaki bernama Heeseung—yang memiliki ketenaran luas juga wajahnya yang kelewat panas—sedang menjalani hubungan bersama Wonbin, si cantik yang tak henti menerima tawaran pendekatan. Mereka mengatakan bahwa Heeseung dan Wonbin telah lama menjadi pasangan, tapi kabar luar biasa ini (mengingat mereka memiliki daya tarik yang setara) baru tersebar sekarang karena mereka sengaja menyembunyikan.



Hal yang buat Sungchan mendadak loyo seharian. Senyumnya bahkan tak diukir saat membuka pintu kamar lalu mendapati Wonbin sedang berbaring di ranjangnya dengan tubuh menggigil dan wajah pucat berkeringat—kepanikan Sungchan mencuat. Buru-buru ia melempar tasnya dan berjalan tergesa untuk memastikan kondisi Wonbin dengan telapak tangannya yang diulur memeriksa suhu di atas kening. Panas. Wonbin demam. Segera dipersiapkan kebutuhan yang diperlukan, Sungchan berakhir merawat Wonbin semalaman karena Wonbin menolak diberi pertolongan di unit kesehatan.



“Lain kali, cepet-cepet kabarin aku kalo ngerasa gak enak badan atau lagi butuh bantuan.” Sungchan berkata seraya menempelkan plester penurun demam di kening Wonbin yang berbaring setelah menelan obat-obatan yang dipersiapkan.



Kelopak yang semula tertutup kini dibuka perlahan, Wonbin sadar penuh—meski kepalanya dilanda pening yang bukan main—bahwa sedari tadi Sungchan mengurusnya dengan telaten. Ketulusannya bahkan begitu terasa, Wonbin lagi-lagi merasa aman ada bersamanya. “Maaf aku bikin repot karena harus diurus begini.”



Menolak pertanyaan, Sungchan tak menanggapi kalimat Wonbin lalu beralih menarik selimut untuk hangatkan tubuh yang suhunya sudah jauh membaik. “Enggak bikin repot, kok. Temen sekamar ‘kan emang harus saling bantu.”



Mungkin karena penglihatan Sungchan yang keliru, tapi kalimatnya mengubah ekspresi Wonbin yang semula tersenyum sekenanya menjadi cemberut seolah ia baru saja mengatakan sesuatu yang salah. Tapi, Sungchan tak memiliki lagi tenaga untuk menyimpulkan sesuatu di kepala. Ia juga harus mengurus dirinya. Maka, Sungchan mundur selangkah meninggalkan Wonbin untuk beristirahat sementara dirinya bersiap mengambil pakaian untuk dikenakan sehabis mandi—janji tak mengulangi hal serupa seperti nyaris telanjang di depan Wonbin seperti tempo hari. Sampai di kamar mandi, Sungchan buka jaket dan seluruh pakaian yang dikenakannya seharian untuk dimasukkan ke keranjang cuci tepat di sebelah pintu kamar mandi.



Dan lagi, suasana hatinya sedang tak mendukung untuk sekedar basa-basi bahkan bercengkerama dari hati ke hati. Mengingat banyak hal yang ia temukan bahwa Wonbin tidak sama sepertinya yang menyukai perempuan—singkatnya, Sungchan seperti telah kehilangan setengah harapan.



Yah. Hari itu cukup melelahkan sekali, tapi Sungchan malah sibuk berlama-lama melakukan sesuatu di kamar mandi.

“Gue Sunghoon,” sekarang langkah Sungchan yang baru saja menyelesaikan mata kuliahnya dicegat oleh sosok lelaki yang tak ia ketahui. Lelaki yang menenteng sesuatu di tangannya lalu berusaha menjelaskan sesuatu kepada Sungchan yang tak tahu apa-apa. “Gue kenal deket sama Wonbin. Dan katanya, lo temen satu kamarnya, ya?”



Ralat, Sungchan bukan kehilangan setengah harapan. Tapi Sungchan benar-benar kehilangan seluruh harapan. Ia perlu banyak bersabar.



“Kenapa kalo gue temen sekamarnya?” Sungchan berbalik tanya dengan nada tak ramah karena ia hanya ingin cepat-cepat pulang menuju asrama untuk beristirahat dari hal-hal berat yang berdatangan padanya.



“Ini, gue mau nitip ini. Buat Wonbin. Dia lagi sakit, ‘kan? Kemarin dia kabarin gue kaya gitu. Tapi, ya, gue gak bisa langsung dateng ke kamarnya. Jadi, gue titip lo aja, ya?”



Helaan napas berat menjadi ciri bahwa Sungchan sudah kepalang muak. Ternyata tak cukup mempermalukan dirinya dengan beranggapan bahwa ia memiliki kesempatan, justru Sungchan harus menghadapi kenyataan pahit bahwa Wonbin betulan tak bisa didapatkan. Dua lelaki sudah menjadi bukti, tapi Sungchan juga tak bisa berbuat apa pun lagi. Diterima bungkusan yang Sunghoon titipkan untuk dibawanya menuju kamar nanti. Tak lupa lelaki tersebut berterima kasih sambil tepuk bahu Sungchan dua kali. Tapi tak Sungchan respons lagi, ia cepat-cepat melenggang pergi dengan langkah kaki yang dibawa gontai tak bersemangat karena semuanya terasa penat.



Tadinya begitu. Tapi ketika Sungchan membuka pintu kamar, matanya dibuat membelalak. Bungkusan di tangannya jatuh di atas lantai begitu saja lalu berakhir berserakan di mana-mana. Suaran yang bising dan sesuatu tengah membuat Sungchan terkejut bukan main. Dan hal yang membuatnya begitu adalah Wonbin.



Benar, Wonbin. Wonbin dengan jaket miliknya—yang kemarin ia kenakan seharian lalu dimasukkan ke ranjang cucian—kini entah mengapa bisa ada pada Wonbin dengan kondisi sedang diduduki oleh tubuhnya yang setengah telanjang; jaket Sungchan berada di tengah-tengah paha Wonbin yang dibuka melebar, menggesekkan vaginanya pada kain tersebut seperti mencari sebuah kenikmatan. Tapi, entah beruntung atau sialnya, hal tersebut tak sengaja dipergoki oleh Sungchan yang baru saja membuka pintu kamar tanpa salam.



Sekarang atmosfer canggung begitu tinggi melambung. Wonbin berhenti bergerak, terlalu tercekat untuk bereaksi maka tubuhnya dibiarkan tetap dipertontonkan. Ia mendadak beku, lidahnya kelu. Tapi menjelaskan situasi adalah perlu.



“Sungchan—”



“Itu jaket aku, ‘kan?” sela Sungchan sambil menutup pintu secara perlahan. “Kok kamu naikin gitu?”



Wonbin menggelengkan kepalanya samar, “Maaf. Maaf aku enggak—” berhenti sejenak, Wonbin hembuskan napas gusarnya. Sadar bahwa ia tak bisa mengelak karena bukti jelas terlihat. “Maaf...”



Lalu Sungchan melepas tas yang digendongnya, ia berusaha terlihat tenang meski dadanya lagi-lagi berdebar tak karuan—apalagi dengan pemandangan mencengangkan kala menyaksikan Wonbin menduduki jaket miliknya diam-diam.



“Ngapain? Lagi cari enak, ya? Gesek-gesek sampe becek, gitu? Oh, atau udah sering pake pakaian orang lain begini buat masturbasi? Ke siapa aja kamu kaya gini, Bin?”



Selama tinggal bersama Sungchan di satu kamar yang sama, ini adalah kali pertama Wonbin merasa diintimidasi olehnya. Saat ini Sungchan sungguhan seperti orang yang berbeda, lebih tegas dan menggairahkan—reaksi yang buat tubuh Wonbin meremang. Rasanya seperti ia dibuat naik kembali padahal gerakan pinggulnya yang bergerak menggesek telah terhenti, tapi vagina di bawah sana masih berkedut hanya karena Sungchan yang menodong pertanyaan-pertanyaan mencurigakan.



“Aku nanya, Wonbin. Dijawab dong. Aku butuh jawaban.”



“Enggak.” Jawab Wonbin kilat. “Gak pernah pake punya orang lain—pake punya kamu dan buat kamu aja.”



Sudut bibir Sungchan terangkat sedikit. Mendengar jawaban dan melihat apa yang Wonbin lakukan membuat Sungchan teringat sesuatu. Tapi, kali ini ia coba menutupinya lebih dulu. Sebab, Wonbin dengan jarak satu meter di hadapannya adalah kesempatan yang tak bisa dilewatkan. Matanya mencuri-curi pandang, meski tertutup oleh telapak tangan yang membentuk tumpuan, tapi masih Sungchan lihat bongkahan vagina milik Wonbin yang warnanya merah muda—bersih, tembam, dan tak berbulu. Menindih jaket yang seharian Sungchan kenakan hingga wanginya menempel di sana dan Wonbin gunakan sebagai bahan masturbasi secara diam-diam. Kiranya, Sungchan akan pulang lebih malam. Karena kebetulan, Wonbin tadinya masih merasa tak enak badan, maka hari ini tidak satu kelas pun ia hadiri dan memilih untuk raih sesuatu di keranjang cucian; jaket Sungchan yang baunya menyeruak, ia hirup lalu timbulkan fantasi liar yang berakhir buat Wonbin terangsang.



“Oh, ya? Emangnya enak cuma gesek-gesek doang?” Sungchan ambil satu langkah lebih dekat dan Wonbin dibuat termegap.



“Emang ada yang bikin lebih enak?”



Skenario yang apik. Wonbin keluar dari mintakat yang lama membuatnya terjerat; bersikap malu-malu dan tutupi kenyataan bahwa ia menginginkan Sungchan dalam arti yang lebih besar dari hanya sekedar menyimpan perasaan. Karena di balik kedekatan yang tercipta sebagai teman satu kamar, Wonbin acap kali melakukan hal serupa; masturbasi gunakan sesuatu milik Sungchan hingga capai klimaks lalu hilangkan jejak. Bukan sekali dua kali, Wonbin sering melakukan semua ini. Tapi kali ini ia terperangkap, Sungchan memergokinya dan tak terlihat keberatan sama sekali.



“Ada,” jawab perempuan maskulin tersebut mengambil umpan. “Aku bisa bantu kasih kalo kamu mau.”



Bukan memberi tanggapan, Wonbin justru merubah posisinya dari yang semula mengapit jaket milik Sungchan kini menjadi mengangkang; buka lebar kedua kakinya untuk tunjukkan vagina yang sedikit berantakan karena cairan mengkilap yang sempat keluar. Sepersekon kemudian, Sungchan mengepal tangannya diam-diam. Ini bukan mimpi lagi, ini sungguhan terjadi. Wonbin mengangkang sambil menatapnya penuh harap juga isyaratkan satu jawaban.



“Mau. Aku mau dibantu kamu.”



Adalah sebuah pinta paling menegangkan. Karena meski Sungchan bertingkah berani dan mengintimidasi, tapi jelas bahwa kondisi saat ini membuatnya gentar sebab ini semua akan menjadi pertama kali. Bersama teman sekamarnya, dambaan lelaki di luar sana, tapi kini hanya Sungchan seorang yang berhasil menyaksikan tubuh setengah telanjangnya.



Maka, Sungchan mendekat tuk kikis jarak. Ia mengambil posisi duduk di samping Wonbin sedikit menyerong. Disambut dengan senyuman yang menggoda sebelum pagutan tercipta, mereka ciuman untuk pertama kalinya; bibir Wonbin diciumi tak beraturan, tangan Sungchan berkelana di dada si jelita yang hanya dibalut kaos kutang. Diremas kenyal payudara Wonbin yang tak cukup hanya dengan satu tangkupan, Sungchan memijatnya naik turun beroposisi dengan ritme ciuman. Erangan-erangan keluar, Wonbin makin basah, miliknya terus tetesi cairan bening dan kental yang merembes di atas seprei.



Sekarang di kepala Sungchan seperti penuh kunang-kunang. Satu tangan Wonbin menuntunnya untuk turun menyentuh vaginanya yang terpampang, memerintah secara implisit untuk Sungchan memainkan jemarinya di sana. Gerakan apa pun itu, Wonbin dengan senang hati akan menyukainya—karena itulah yang lama diidamkan bahkan selalu ia bayangkan tengah malam.



“Mm?” Sungchan berdehem memastikan saat ciuman diputus sementara untuk menyuplai oksigen. “Udah becek banget. Itilnya mau aku apain ini, Bin?”



Oh, sekarang Wonbin merasa sedang diputar berkali-kali hingga kepalanya pening dan akan segera tak sadarkan diri. Sungchan mulai berani, jauh lebih berani karena kini merapal kalimat penuh frontal. Hal yang Wonbin senangi. Sebab impresi Wonbin pada Sungchan semasa tinggal bersama adalah: Sungchan tipe idealnya, baik secara penampilan yang atraktif atau juga karena tebakan di kepalanya mengenai Sungchan yang terlihat andal menguasai. Lantas Wonbin menengok ke sisi, temukan tatapannya yang sayu penuh mau dengan tatapan Sungchan yang kelaparan. Mereka sejalan dan sama-sama membutuhkan.



Karena itu, Wonbin menjawab dengan, “Mau dimakan. Memeknya mau dimakan. Dimakan sampe pipis-pipis pake mulut Sungchan.”



Semuanya mengalir. Sungchan menyusut; berlutut di tengah kaki Wonbin yang terbuka. Wajahnya sejajar dengan vagina merah muda. Dihirupnya dengan nikmat. Wangi yang akrab. Sungchan sekali lagi menghirupnya dengan kuat sebelum lidahnya terjulur basahi klitoris yang mencuat. Kepalanya mendongak, jumpai wajah Wonbin yang merona. Tangannya turun, menyisir surai Sungchan ke belakang lalu mendorongnya untuk lekas makan.



“A—ahn...” Wonbin mengawang. Baru diberi sapuan halus berupa jilatan pakai ujung lidah, sudah bisa diterawang nikmatnya seperti apa. “Sungchan... geli. Aku dijilmekin Sungchan... memeknya dijilatin sama Sungchan.”



Ingin rasanya Sungchan merespons dengan senyuman yang terpatri dihiasi kecupan yang tak henti-henti. Tapi saat ini yang sedang ia hadapi adalah vagina Wonbin—bagian yang saat ini menjadi yang terpenting dan tak dapat dilewati. Maka, sebagai ganti Sungchan beri Wonbin kecupan-kecupan di labia juga gigitan kecil di ujung klitorisnya. Liur membecek jadi satu dengan cairan-cairan yang turun dari uretra—basahnya langsung Sungchan sesap dan telan setelah dijilati hingga bunyi kecipak yang mencarak terdengar. Suaranya menjadi penghantar nikmat, selaras dengan desah Wonbin yang putus dan acak-acak.



“Enak banget, Sungchan. Enak banget—aku gak berhenti ngucur. Makin becek. Lamotin terus—hh! Ya... kaya gitu. U—uh, lamotin terus. Makan terus memek akunya — jangan berhenti...”



Lidah tak bertulang yang mampu buat pinggul naik-naik keenakan. Wonbin mencentang dugaan Sungchan yang terhambat untuk dibuktikan mengenai andalnya Sungchan menguasai permainan. Ditusuk-tusuk lubang vagina Wonbin dengan lidahnya yang menari berantakan, sesekali Sungchan gigit kecil bibir vagina yang memerah kontras dengan warna kulit aslinya.



Kacau. Desah Wonbin tak karuan, pinggangnya terus bergerak rancau. Bibir dan dagu Sungchan basah karena lendir-lendir yang menetes tak usai-usai. Vagina Wonbin begitu sensitif. Sungchan jadi diliputi rasa penasaran luar biasa, bagaimana jika ia melakukan hal yang lebih dari sekedar memakan daging tembam tersebut—seperti memasukkan sesuatu ke dalam sana, misalnya?



Mh—mau pipis... Sungchan, aku mau pipis!”



Sungchan terengah, bibirnya menjauh untuk memberi Wonbin sebuah permisi. “Pipis aja, Wonbin. Pipis aja di muka aku, muncrat yang banyak—aku bakal telen. Aku telen semuanya. Ayo, pipisin muka aku.”



Sepenggal kalimat yang mampu buat nafsu Wonbin kian melesat. Belum lagi kini Sungchan kembali memakan vaginanya dengan cuping hidung yang bergesek dengan klitorisnya sampai timbulkan rasa geli yang tak bisa dideskripsi. Gerakan mulut yang menghisap secara melingkar. Wonbin secara refleks terus menekan-nekan kepala belakang Sungchan untuk memperdalam lumatan. Yang mana hal tersebut menjadi akar kenikmatan sebelum tiga hitungan kemudian Wonbin total keluar; cairan bening muncrat basahi setengah wajah Sungchan hingga mengkilap. Wonbin mendesah lemah, tubuhnya berbaring nikmati orgasme yang menakjubkan—orgasme terbaik yang pernah Wonbin dapatkan.



“Cantik banget, Wonbin. Kamu cantik pipis-pipis kaya gini. Liat, itilnya makin kedut-kedut. Masih pengen aku mainin, ya?” Sungchan memberi sanjungan sambil berdiri—bangun dari posisi bersimpuhnya tuk lepaskan kain batik yang ia gunakan saat ini. Dilepas seluruhnya, sama seperti Wonbin yang ditemukan setengah telanjang. Melihat itu, Wonbin bangun dengan giat—menundukkan pandangan supaya bisa lebih jelas melihat Sungchan yang setengah telanjang. Bentuk tubuh idamannya. Ini adalah yang ingin Wonbin tontonkan sejak lama, tapi hari itu ia terlalu gugup—berakhir timbulkan misinterpretasi bahwa ia tidak nyaman dengan situasi.



Namun bukannya Sungchan segera mendekat seperti yang Wonbin harapkan, justru Sungchan berjalan menjauh menuju laci—mengambil sesuatu di sana yang bisa Wonbin lihat langsung tanpa perlu bertanya apa benda yang Sungchan bawa.



“Kamu pake, ya, Bin?”



Wonbin menganga bersamaan Sungchan yang mendekat hendak menindih tubuhnya, ia kembali dibuat berbaring, tapi yang berbeda adalah kini Sungchan ada di atasnya; perlihatkan vagina miliknya yang juga basah. Sontak telapak tangan Wonbin meraba pantat si jelita yang lainnya—meremasnya dengan tatapan tak lepas sebelum akhirnya Sungchan memberi sebuah permintaan.



“Aku mau dudukin muka kamu, Bin. Mau dudukin muka cantik kamu—mau dilamotin juga itilnya sampe kencing. Tapi, aku mau kamu sambil pake ini. Mau kamu jilmekin aku sambil disumpel vibrator.” Sungchan angkat alat penggetar di tangannya. Benda yang biasa ia pakai untuk memuaskan diri ketika Wonbin sedang tak ada di kamar selama beberapa hari. Ia menunjukkannya di hadapan Wonbin, ditekan tombol menyala hingga getarannya terdengar dan terasa. “Boleh, ‘kan, Bin?” tanyanya memastikan, tetap butuh konsen pasti.

Di kepala Wonbin hanya muncul satu kalimat: ini akan menjadi sesi yang istimewa. Wonbin mendapat kesempatan emas dalam hidupnya untuk merasakan ini semua. Maka, ia anggukan kepala. “Boleh. Kamu pakein aja. Pakein di dalem memek aku—aku bakal pake selama kamu dudukin muka aku.”



Layaknya mencetak gol, Sungchan selebrasi dengan mata menyipit ketika senyumnya mengembang begitu cantik. Ia turun, memakaikan penggetar tersebut ke dalam liang vagina Wonbin lalu kembali ke posisi awal; mengapit wajah Wonbin dengan dua belah paha dalamnya.



“Aku dudukin sekarang, ya?”



Tersisa kesabaran yang meluap-luap, Wonbin memutuskan untuk tidak menjawab. Dua tangannya dilipat di belah paha Sungchan yang berada di atasnya, ditariknya menurun hingga bibir vagina tipis bergelambir tersebut hinggap di mulutnya—Wonbin basahi dengan saliva, diciumi penuh adorasi sebelum mengubahnya menjadi jilatan memabukkan yang Sungchan manifestasi. Karena, sungguh, momen seperti ini telah dibayangkannya dari jauh-jauh hari; menduduki wajah Wonbin yang semangat melahap vaginanya. Pinggul Sungchan bergerak, menggeseknya naik turun bertentangan dengan gerakan lidah si kecil jelita di bawahnya.



Sementara Wonbin sesekali menggeliat saat penggetar di dalam lubangnya memberi nikmat, menyundul klitorisnya dan menggelitiknya sampai cairan meluber. Tapi ia tak bisa banyak mendesah karena mulutnya sedang bertugas. Maka, Wonbin lampiaskan dengan lidahnya yang bergerak tak berirama hingga Sungchan semakin menari-nari di atasnya.



“H—ng... Wonbin, enak banget. Enak banget dudukin muka kamu, itil akunya dilamotin—aah... cantik banget, Wonbin. Cantik banget didudukin begini. Mm! Sedotin terus itil akunya sampe becek.”



Pupil mata Wonbin membesar, lidahnya terjulur keluar; sikat habis lendir yang berjatuhan basahi pipi dan bibirnya—tapi Wonbin tak keberatan. Justru ia semakin gencar menyeruput cairan yang terus bercucuran. Bunyinya seperti ketika Wonbin mencarak mi instan di tengah malam, tapi kali ini lebih nikmat belasan kali lipat.



“Pinter banget, Wonbin. Mulutnya pinter banget makan itil—aku jadi mau dudukin mukanya tiap hari. Mau dudukin muka cantik kamu sampe — aduh—nh, aku mau kencing!”



Mendengar racau Sungchan yang menggelinjang saat lidah Wonbin berputar-putar, Wonbin justru semakin menekan tungkai Sungchan untuk tetap menggeseknya tanpa mengambil jeda seolah berbicara: sini kencingin aja muka akunya. Tak dapat ditahan lagi, basah yang mengucur beri Wonbin ekspresi kagum—ini kali pertama seorang menduduki wajahnya dan adalah Sungchan; perempuan yang lama dijadikan dambaan. Sisa-sisa yang menetes Wonbin telan, kemudian Sungchan (dengan paha yang lemas setelah capai orgasme) mengubah posisi setengah berbaring.



Belum dengan Wonbin. Penggetar tersebut belum berhenti. Dengan mulut sehabis diduduki, kini makin dibuat basah kembali dengan liur Wonbin yang keluar di sisi-sisi.



“Ahn! Enak… memeknya dibikin geter. Haah! Pipis—mau pipis...”



Menyadari seruan tersebut adalah tanda, Sungchan cepat-cepat mencabut penggetar yang dipasangnya. Tak lama, Wonbin betulan pipis seperti apa yang dilanturnya. Mereka sama-sama kacau. Di paha dalam mengalir cairan bening hasil dari usaha masing-masing. Mengerti isi kepala satu sama lain, keduanya jelas tak ingin berhenti sampai di sini. Masih mau dan mau lagi. Lantas aba-aba berupa kaki yang kembali terbuka, mereka mendekat; posisikan tubuh sedikit miring tuk mengapit tungkai masing-masing. Paha kanan Sungchan di bawah, ditindih oleh satu paha Wonbin di atasnya. Kemudian paha lain berposisi sebaliknya. Mereka saling menjepit lalu maju sedikit, temukan vagina masing-masing yang basah.



B—bentar, Sungchan. Aku baru pertama kali main gunting-guntingan...”



Senyum dikulum, ada kemenangan yang buat Sungchan tertegun. Ia menjadi yang pertama bagi si jelita impiannya—si jelita yang dirumorkan berpacaran dengan lelaki tapi tak ada kebenarannya sama sekali. Terbukti dari kini hanya Sungchan yang bisa mendapatkannya, mendapat segala-galanya yang tak pernah Wonbin beri pada siapa-siapa hingga menjadikan Sungchan sebagai pengalaman pertama. Bangga bukan main rasanya.



“Aku pastiin bakal bikin kamu enak, Bin. Gesek pelan-pelan dulu aja. Kaya gini,” pinggul Sungchan bergerak lebih dulu, gerakannya naik turun—menggesek lambat tuk bentuk sebuah nikmat. “A—aduh, Bin! Itil kamu tembem banget, licin juga, hu—uh! Enak banget, gesek terus, Bin. Gesek yang cepet! Gesekin klitnya — hh.”



“Sungcha—anh...” satu tangan Wonbin terulur menuju paha di sisinya, ditekan-tekan sebagai pelampiasan. Kecepatan geseknya berubah, sekarang lebih cepat hingga terdengar bunyi kecipak yang menggema penuhi ruangan yang mereka tinggali bersama.



Sama-sama berkeringat. Pelipis Wonbin berubah lembab, helaian rambut depannya sedikit berantakan—apalagi ia biarkan tergerai sepanjang sesi barusan hingga sekarang. Lain dengan Sungchan yang memang biasa mengikat rambutnya dalam satu kunciran. Adu desah adu rintih, berisik sekali. Ruangan yang biasa diisi hening kini penuh suara-suara yang melengking. Sadar bahwa siapa pun bisa dengar jika mereka terus berisik, inisiatif mereka meredupkannya dengan ciuman yang intensif.



Bibir keduanya berciuman. Baik bibir atas dan bibir bawah, keduanya sama-sama bertaut hasilkan kenikmatan. Lidah Wonbin dijulur seluruhnya untuk Sungchan sesap, liur keduanya menyatu tergaul—persis seperti adegan di film porno yang diam-diam Sungchan tonton di kamar mandi supaya tak diketahui sambil mengucek vaginanya sendiri.



“Itil kamu—hh, enak... enak banget, Bin! Legit. Ngucur terus kaya lonte — aah!” Sungchan menjerit, gesekannya semakin kuat.



Dibalas oleh Wonbin yang lengar, “Huhu—mau sambil dikucekin... mau dikucekin Sungchan sampe pipis-pipis lagiii!”



Mmhm? Kamu mau aku kucekin itilnya? Mau aku bikin pipis-pipis lagi? A—ah, sampe ngompol, ya, Bin? Atau mau sampe teler?”



Haaa! Mau... mau dibikin ngompol. Please, m—mmh, mau. Mau, Sungchan, mau... mau diewe sampe teler!”



Tak bisa ditahan lagi. Keinginan Sungchan untuk memasuki Wonbin sedari tadi tak bisa lagi terhalangi. Total meledak-ledak. Maka, ia mendekat, kecup sekilas pipi Wonbin lalu beralih ke sisi telinganya untuk berbisik.



“Kalo aku bikin ngompolnya pake kontol, kamu mau, Bin? Aku ewe pake kontol. Mau?”



Meregang. Gerakannya berhenti serentak. Lalu Sungchan menjauh untuk menyaksikan roman Wonbin agar menerka jawaban pasti. Dan yang disaksikan Sungchan adalah mata membelalak penuh binar yang berkilauan, “Kamu... punya?”



Pertanyaan yang wajar dipertanyakan. Karena fakta sejelas mereka adalah dua orang yang berbagi kamar, tentu Wonbin tak pernah menduga-duga apa saja benda pribadi yang Sungchan simpan.



“Punya,” jawabnya tak mengelak. “Aku bisa pake kalo kamu mau coba.”



Dan jawaban yang tersedia adalah: ya. Wonbin dua kali anggukan kepalanya. “Mau. Mau coba. Mau coba dikontolin Sungchan.”



Semua tak dapat dijabarkan. Tahu-tahu lemari dibuka, Sungchan ambil sesuatu di sana. Netra Wonbin tak lepas barang sedetik saat Sungchan memasangnya terlilit di tulang pinggul. Ini begitu luar biasa; Sungchan dan strap dildo adalah kombinasi yang tak pernah Wonbin duga. Kembali mereka satukan pagutan yang lebih intens dari sebelumnya, dengan tangan Sungchan yang bergerilya ke sana-sini, remas dada, pantat, dan paha—semua dijamah olehnya sampai di titik terakhir, vagina Wonbin yang dimasuki oleh kedua jarinya. Gerakannya memang tidak begitu cepat, cenderung lambat tapi tepat. Titik nikmat Wonbin dikoyak, dibuka melebar sebagai bentuk persiapan agar tak mengalami kesulitan ketika Sungchan melesakkan penis buatan.



“Ya—aah... Sungchan, memek akunya bisa bocor kalo dikobelin kaya gini. Enak banget, Sungchan jago ngobelin memek. Mau dikobelin terus, mau dicolmekin Sungchan terus!”



Gemetar karena kocokan Sungchan di liang vaginanya buat dada Wonbin naik turun. Bongkahannya memantul di balik tank top yang Wonbin kenakan tanpa bra—tunjukkan puting mencuat yang turut ingin disapa.



“Mulutnya kotor banget, Wonbin.” Sungchan merespons bak yang paling lugu, padahal ia banyak tahu. “Enak, ya? Itilnya dikobelin sama temen sekamar yang jadi bahan gesek-gesek—duh, ngucur lagi, Bin. Bocor banget itilnya! Beneran lonte, ya?”



Wonbin kembali menyemburkan cairan ejakulasinya. Muncrat persis seperti air yang mengalir di patung-patung taman. Hal yang memuaskan Sungchan, si pencipta nikmat yang mampu buat Wonbin mengawang. Hanya gunakan dua jarinya, Wonbin sudah berhasil kelojotan. Apalagi jika Sungchan masuki benda yang melingkar di pinggulnya. Ah, Sungchan jadi tak sabar. Cepat-cepat botol pelumas diraihnya, diolesi sepanjang batang penis buatan yang dipakainya sembari menyaksikan Wonbin melepas satu-satunya fabrik yang tersisa. Sekarang si jelita total telanjang, Sungchan bisa saksikan lekuk tubuhnya yang mengagumkan. Bagaimana bisa Wonbin sempurna luar dalam? Memiliki pinggang sempit, wajah cantik, juga dada yang besar dan kencang—Sungchan sekarang merasa terhormat bisa menjadi yang pertama mendapati semuanya.



Libidonya mengembang, buat vagina yang tertutup penis karet berujung becek. Wonbin yang selesai menggapai klimaksnya untuk kali ketiga kini harus kembali bersedia menyambut klimaks selanjutnya tatkala Sungchan secara berhati-hati mulai melesakkan penisnya masuk ke dalam; pinggulnya didorong perlahan, menembus liang hangat nan basah yang terasa sempit. Butuh lebih banyak lubrikan untuk Sungchan memasukkan seluruhnya sampai ujung dan Wonbin benar-benar dibuat terhuyung. Menyaksikan Sungchan setengah berdiri di tengah kakinya yang mengangkang dengan penis panjang sukses menjadikan Wonbin sebagai perempuan yang merasa sedang diberi kesenangan.



“Sungchan pake kontol… aku dikontolin Sungchan—nh, dikontolin Sungchan... pusing banget, a—ah! Enak banget, Sungchan. Memek aku dirojok kontol karet—enak banget, mau dikontolin Sungchan teru—sh! Mau jadi lontenya Sungchan.”



Wonbin berceloteh saat Sungchan menggenjot liangnya bersemangat. Buah dadanya sekarang memantul kenyal dipandu oleh tiap-tiap entakkan. Sungchan yang tak tahan mulai ulurkan tangan, meremasnya dengan ujung kuku yang menggaruk gemas hingga Wonbin merasa tubuhnya semakin panas. Atas bawah dijamah, desahnya mengalun seperti penggalan melodi indah.



“Enak, cantik? Enak itilnya aku rojokin pake kontol kaya gini sambil digrepe-grepe?” mendongak, Sungchan menatap bergilir pada wajah dan dada Wonbin yang tak bisa diacuhkan. “Toketnya gede banget, Bin. Dari kapan hari aku salah fokus terus liat ini—bawaannya pengen aku remes-remes sambil dikenyotin. Sengaja kali ya kamu suka pake baju minim di depan aku? Supaya aku sange, gitu?”



Mengangguk acak, Wonbin menyingkirkan tangan Sungchan dari dadanya—menggantinya dengan tangan sendiri lalu diremas dan dipamerkan dengan satu tangkupan yang menggoda. “Mmh—kenyotin aja! Aku juga pengen nenenin kamu, pengen kamu kenyotin susu aku sampe muncrat-muncrat. Mau nyusuin Sungchan—aah... mentok banget!”



Pekik di akhir kalimat terjadi karena Sungchan mendekat, jarak keduanya diberantas sebab Sungchan tak sabaran ingin meraup payudara Wonbin yang tampak kenyal dan padat. Otomatis penis buatan yang dipakainya masuk makin dalam, menyentil titik nikmat Wonbin dengan mudahnya seperti Sungchan telah mempelajari semuanya dengan baik sampai hafal.



Hmp! Aku kenyotin toketnya tiap hari, ya? Aku kenyotin terus biar makin gede—” dihisap lebih kuat, Wonbin bukan lagi mendesah, sekarang ia teriak. “Aku kenyotin sampe air susunya keluar muncrat-muncrat. Kaya itil kamu barusan yang pipis-pipis pas aku kobelin—hh. Kamu sempit banget, Bin. Kaya perawan. Aku genjot sampe itilnya lower, ya?



Kehilangan tenaga untuk menanggapi karena terlalu menikmati apa yang sedang terjadi, Wonbin membentangkan tangannya untuk memeluk tubuh jangkung Sungchan kemudian meraih bilah bibirnya supaya diciumi meski asal-asalan. Entakkan yang Sungchan beri makin tidak karuan, menjadikan tubuh Wonbin melenting dengan dada membusung tubruk dada yang lain. Kain yang Sungchan gunakan ciptakan percikan panas saat bergesekan dengan puting Wonbin yang masih menjendul bekas dihisap kuat-kuat. Tapi desahnya buru-buru terendam dengan ciuman yang berisik bunyikan eksotis lumatan-lumatan. Bibir si jelita di bawah sengaja dibuka, biarkan Sungchan menjamahnya suka-suka dengan pinggulnya yang tak berhenti menghantam.



“Berantakan banget, Wonbin. Berantakan banget cuma karena dikontolin. Makin cantik, tau begitu harusnya kita ngewe dari kemarin-kemarin.“



Nn—ah! Ngewe tiap hari aja-ah. Pake aku terus-terusan enggak apa. Pake aja semau kamu—aku bisa ngangkang kapan aja kalo kamu mau.”



Keraguannya kemarin-kemarin diputus begitu saja. Wonbin mengatakan secara jelas memasuki pendengarannya. Kemenangan yang diimpikan, sebab Sungchan tahu kalau orang di luar sana—terutama jajaran lelaki-lelaki berpenis asli—tak bisa memiliki apa yang telah Sungchan dapatkan saat ini.



“Bakal, Bin,” balas Sungchan sedikit mengerang. “Aku bakal giniin kamu tiap ada waktu—bikin kamu keenakan kaya sekarang sampe ngompol basahin seprei kamar.”



Bersamaan dengan selesainya kalimat Sungchan, mendadak tubuh Wonbin gemetaran. Pahanya seperti tersetrum, lalu tak lama kemudian penis yang tertanam dihempas dengan orgasmenya yang lebih deras. Tawa menggelegar, puas Sungchan saksikan Wonbin merengek-rengek saat vaginanya tak henti-henti menyemburkan seni yang muncrat mengenai wajah Sungchan dan sisanya mengenang di atas ranjang.



“Ngucur lagi, Wonbin? Enggak abis-abis. Itil bocor. Harus sering-sering dikucek kali, ya?”



Aaa-h! Aku ngompol... ngucur terus, Sungchan. Enggak bisa berhenti. Aku—hh, enak. Enak banget, Sungchan. Huhu, banjir. Kasurnya basah semua...”



Dilepas perekatnya kemudian Sungchan mendekap, jatuh di atas tubuh Wonbin yang terkulai lemas. Lengketnya menyatu, mereka berada dalam posisi begitu untuk beberapa waktu.



“Pinter banget, Wonbin.” Dibubuhkan satu kecup di pipi kiri. “Aku enggak pernah ngewe seenak ini.” Lalu yang kedua, di pipi kanan. Lengkap dan sempurna.



Cukup lama Wonbin hening tak membalas kalimat Sungchan sebab ia berfokus untuk menetralkan napasnya yang menggebu. Tahu Wonbin butuh sesuatu yang menenangkan, Sungchan melingkarkan sebuah pelukan. Ini kedua kalinya Wonbin ada di dalam dekapan Sungchan dan rasanya masih sama. Hangat dan aman. Wonbin mau begini lebih lama. Tak ingin lepas rasanya.



“Sungchan,” akhirnya Wonbin selesai kumpulkan kesadaran. Ditatapnya Sungchan lekat-lekat dengan iris mata yang banyak artinya. Semua ada di sana; senang, haru, puas, juga khawatir—Sungchan temukan dalam satu tatapan yang diamatinya dalam-dalam. “Aku bikin kamu enggak nyaman, ya, barusan?”



Mengernyitkan dahi, Sungchan tak begitu mengerti apa maksud yang dipertanyakan Wonbin hingga wajahnya beri ekspresi tak mengenakan yang buat Sungchan bimbang.



“Barusan. Pas kamu mergokin aku—mergokin aku lagi naikin jaket kamu. Secara, itu ‘kan pakaian kamu yang dipake sehari-hari. Tapi aku malah pake buat begitu.”

“Begitu gimana, tuh?” iseng Sungchan pura-pura tak tahu.

Tapi Wonbin menanggapinya cukup serius, “Ya begitu. Jaketnya aku pake buat gesek-gesek memek. Sebenernya, aku sering kaya gitu. Sering jadiin pakaian kamu di keranjang cucian buat colmek.”



Renyah tawa Sungchan merusak kecanggungan, “Enggak masalah, Wonbin. Aku enggak masalah sama sekali. Beneran enggak apa-apa. Justru aku seneng, kalo kamu mau tau.”



Kekhawatirannya diganti bingung, sekarang Wonbin yang tak mengerti kenapa Sungchan begitu semringah membahas hal yang satu ini. Kerutan di keningnya memberi suara yang bertanya, lalu Sungchan jabarkan semuanya.



Dibeberkan satu fakta mengejutkan di balik alasan mengapa Sungchan begitu kesenangan dan bukan muncul ketidaknyamanan saat mendapati Wonbin sedang masturbasi mengenakan pakaiannya. Karena, sore itu—sepulang dari kampus usai mendengar rumor adanya seorang lelaki yang mengencani Wonbin—Sungchan dilanda pilu yang membuncah. Tahu tak dapat memiliki kesempatan karena berpikiran Wonbin tak memiliki ketertarikan pada perempuan, Sungchan memutuskan untuk melakukannya diam-diam.



Mulanya tak ada niatan, sungguh, Sungchan hanya merasa diberi celah ketika melihat sesuatu menggantung di knop pintu kamar mandi; celana dalam berwarna merah muda berenda yang bukan miliknya. Jelas itu milik Wonbin karena hanya mereka berdua yang tinggal dan memakai satu kamar mandi bersama.

Keputusasaan akan hilangnya kesempatan, saat itu Sungchan seperti dirasuki setan. Diambil kain tersebut lalu duduk di kloset dengan kaki yang dibuka melebar. Wangi. Dihirupnya oleh Sungchan dengan mata terpejam sambil turunkan satu jari. Desah yang ditahan supaya tak terdengar sampai kamar Sungchan lakukan susah payah. Fantasi liarnya membawa Sungchan pada orgasme pertama dengan celana dalam Wonbin yang diciumi tak henti-henti.



Maka, saat Sungchan menemukan Wonbin melakukan hal yang nyaris serupa dengan apa yang dilakukannya tempo hari, hanya rasa senang yang menggelitik perutnya sebagai reaksi.



“Kalo tau gitu, harusnya kita bisa ngewe dari jauh-jauh hari. Harusnya aku enggak nunggu kepergok gesek-gesek memek dulu baru bisa diewe kamu sampe ancur kaya begini.” Wonbin memberi respons singkat dengan senyum yang diulas hangat. Lagi, kebetulan itu terjadi lagi.



Sungchan terkekeh, pelukannya mengerat. “Gak apa, cantik. Besok-besok ‘kan kita bisa coba lagi lebih sering. Kapan pun kalo kamu mau dibikin kencing, bilang aja. Aku bakal kasih semuanya. Aku bikin lebih enak dari yang ini. Jadi, kita enggak perlu rahasia-rahasiaan lagi.”



Tentu. Besok, lusa, minggu depan, mereka punya banyak waktu untuk melakukan hal ini berulang-ulang. Atau bisa ditambah dengan hal-hal lainnya yang lebih menyenangkan. Seperti berbagi satu penis buatan yang masuk ke dalam dua liang, misalkan?

--

--

No responses yet