I could say I never dare.
Sungchan enggak pernah memiliki keberanian untuk menaruh rasa di atas hubungan bernama pertemanan.
To think about you in that way, but—
Bahkan jika hanya sekedar membayangkan kalau suatu hari akan ada waktu di mana perasaannya diungkapkan; total nol keberanian, maka sebut saja Sungchan pecundang. Karena selain enggak berani, ia juga pandai membohongi diri. Ia bisa tutupi apa yang dirasanya dengan senyum bahagia tatkala Shotaro menautkan genggaman pada seseorang yang enggak Sungchan kenali—seperti kepalsuan, semuanya Sungchan pendam hingga waktu yang ia sendiri enggak dapat ditentukan.
“Mmhm, baru kenal dua bulan. Enggak mau langsung pacaran atau gimana, yang penting ‘kan saling kenal dulu aja.”
Lima belas menit lalu, Sungchan tiba di kediaman Shotaro kemudian mengambil kursi di ruang tengah untuk diduduki. Dua tangannya bertaut bentuk genggam longgar sepanjang Shotaro bercerita tentang seseorang yang akhir-akhir ini memasuki kehidupannya seolah siap memberi banyak arti.
Ini adalah hal yang telah Sungchan duga; mereka sama-sama pria dewasa yang sudah saatnya mencari cinta. Pertemanan lama, kesibukan yang melanda, atau ketidaksiapan bukan lagi penghalang belaka. Apalagi mengetahui bahwa mereka saling mendukung, tentu Shotaro enggak ada lagi keraguan untuk ceritakan banyak hal. Termasuk kisah cinta kesekian kalinya yang datang dan Sungchan selalu sediakan ruang untuk menyimpan kekecewaannya sendirian; tak ingin Shotaro menaruh curiga atau turut kecewa karena ia enggak benar-benar ikut bahagia.
“Tapi lo ikut seneng ‘kan, Chan?”
I would be lyin’.
Shotaro melontar pertanyaan yang mengikis lamunan Sungchan saat segelas teh hangat disajikan. Di luar sana hujan, Shotaro memintanya datang untuk berbagi cerita mengenai seseorang yang akhir ini mengisi kesehariannya sekaligus meminta pendapat Sungchan terhadap orang tersebut yang ia ceritakan.
“Ya…,” Sungchan mengangguk sambil paksa tarik sudut bibirnya tuk bentuk sebuah senyuman. “Seneng. Pasti seneng.”
Enggak merasa cukup puas karena Sungchan terlihat muram, Shotaro hanya membalas dengan deheman. Tau Shotaro menyadari perubahan suasana akibat kegundahan yang kentara, Sungchan mengeluarkan batuk kecil sambil berusaha menjelaskan.
“Lo ‘kan temen gue, ya kali kalo lo seneng gue enggak ikut seneng juga? Pasti seneng, Kak. Enggak perlu ditanya. Selama orangnya baik dan enggak bikin lo sedih, gue pasti dukung. Percaya aja, ya?”
And I pretend I’m happy for you.
Intonasi yang berbeda, tapi Shotaro enggak pikir banyak dan telaah maksud di baliknya. Jika Sungchan berkata demikian, berarti semuanya benar—enggak ada kekeliruan yang mestinya Shotaro permasalahkan, ‘kan?
“Lo emang temen terbaik yang pernah gue punya, Chan.”
Sore itu, Sungchan kembali hadapi kenyataan bahwa mungkin perasaannya sama sekali enggak memiliki kesempatan untuk dapat diutarakan. Kepulan asap dari teh yang Sungchan sesap perlahan hilang setelah hitungan menit sejak disediakan. Lingkar cangkirnya menyisakan bekas yang tercetak. Sama seperti Sungchan dengan sisa kecewa karena enggak bisa banyak berbuat. Ia merasa terjebak; mau melangkah lebih jauh tapi takut pertemanan yang lama dibangun ini jadi rusak. Tapi jika perasaannya lama-lama ditahan, Sungchan rasa semuanya akan segera membludak berhamburan dalam beberapa hitungan.
Yang pasti, bukan sekarang. Sebab Sungchan enggan merusak kebahagiaan Shotaro hanya untuk mementingkan perasaannya yang sedari awal enggak seharusnya ada. Untuk hari ini sampai beberapa waktu selanjutnya, biar semua tetap ia tahan meski sulit dan terasa mengganjal.
Pun Sungchan pernah dengar.
Katanya, jatuh cinta pada teman sendiri bukan sebuah kesalahan jika sanggup mempertimbangkan dan menghadapi segala risiko yang sangat mungkin akan datang lalu terjadi. Lama sudah Sungchan menyadari bahwa sesuatu terselip di antara pertemanannya dengan Shotaro dan kali ini Sungchan enggan menyangkalnya lagi.
In the midst of the crowds,
In the shapes in the clouds.
Sungchan kumpulkan berani untuk lewati garis batasan saat hari ke hari perasaannya tumbuh lebih dalam dan bermekaran. Semua seperti hanya perihal Shotaro dan presensinya yang secerah mentari di balik awan. Di barisan keramaian, di tengah padatnya orang berlalu-lalang, seluas apa pun pandangannya berpendar.
I don’t see nobody but you.
Yang menjadi titik fokus Sungchan selalu dan hanya Shotaro seorang. Dan mungkin, waktu yang tepat itu akan segera datang.
Bukan, Sungchan bukan si oportunis alias gemar memanfaatkan keadaan. Pasca Shotaro merasakan patah hati karena dilanda problematika yang enggak bisa dituntaskan hingga hubungannya berakhir dengan perpisahan, di sini lah Sungchan kembali datang dengan dua tangan yang senantiasa terbentang.
“Ya udah, mungkin emang enggak cocok. Yang terbaik pasti bakal dateng, kok. Lo tinggal buka mata aja, Kak. Enggak perlu jauh liat ke mana-mana.”
Merasa terhibur, Shotaro akhirnya tertawa. Hilang sudah bibir yang ditekuk cemberut setelah masa menyedihkan belakangan ini merusak hari-harinya. Padahal sudah ia ceritakan bagian baik dan manisnya pada Sungchan, tapi hal buruk tetap bisa datang. Yang tersisa sekarang hanya luka yang diobati dengan keberadaan Sungchan yang setia ada di sisinya. Dunia terasa berkali lipat lebih baik bagi Shotaro saat Sungchan menyediakan pundaknya untuk disandarkan.
Banyak hal yang bersifat sementara, tapi Sungchan ingin abadi di sisi Shotaro kapan pun ia membutuhkannya.
“Lo selalu ada buat gue,” Shotaro memulai obrolan, satu telunjuknya bergerak di atas pipi Sungchan bentuk sebuah garis abstrak yang menggelitik pelan. “Gue sampe bingung. Isi dunia lo tuh kayanya cuma gue aja kali, ya? Pacar enggak punya, mantan udah jauh ke mana, temen lain pun bisa diitung jari. Lo bener-bener selalu sama gue selama ini.”
Di segala hal yang Sungchan temui—sekecil benang-benang kusut atau mimpi indah yang singkat, hanya Shotaro yang bisa Sungchan lihat. Tak perlu menerka mengapa selalu nama Shotaro yang tersemat, karena Sungchan sudah jatuh begitu teramat. Itu adalah alasan paling akurat untuk pernyataan Shotaro yang padat.
“Bosen enggak, sih, barengan sama gue terus?”
Bagaimana bisa Shotaro mempertanyakan apa yang sudah terjawab sebegitu jelas saat Sungchan merasa ada candu yang dirasa ketika ada bersamanya? Seperti saat ini, misalnya. Mereka duduk bersandar di kursi dengan kepala saling bersentuhan berbagi tempat tuk rehat sejenak. Terasa lama bagi Sungchan sejak terakhir kali mereka sebegini dekat. Ada rindu yang mencuat. Mungkin sama sekali enggak terduga bagaimana semuanya datang dan menjelma, tapi Sungchan ingin rasanya bertanya, apakah Shotaro merasakan hal yang serupa? Sejenis cinta—enggak mengenal jenuh atau bosan jika terus bersama, justru hanya ketenangan yang terasa bahkan jika di tengah kebisingan yang melanda.
“Kalo bosen, enggak bakal kali gue sengaja datang ke sini buat ngajakin pergi ke tempat yang lo mau datengin dari kapan hari.”
Bangkit dari posisi setengah berbaring, Shotaro sontak duduk tegap sambil menepuk paha Sungchan cukup kuat. “Pantai maksudnya?”
Diangguki oleh Sungchan dengan pelan, “Coba, itu orang tau enggak kalo lo taun ini pengen banget pergi ke pantai tapi belum nemu waktu kosongnya? Enggak, ‘kan? Dia tuh enggak berusaha buat tau banyak soal lo dan keinginan-keinginan kecil lo, Kak.”
Merengut sudah Shotaro dibuatnya, “Ya, deh. Emang lo doang yang paling ngerti soal gue. Yang lain lewat.” Leher Sungchan dipeluk erat dengan tawa lepas yang tergelak, “Yuk, gue siap-siap dulu abis itu berangkat. Biar nanti kita sampe di sana bisa sempet liat matahari tenggelem.”
Ada lega kala menyaksikan senyum Shotaro kembali tercetak setelah kemarin-kemarin yang Sungchan saksikan sewaktu datang ke sini adalah wajah penuh kelesuan yang enggak enak dipandang sampai membuatnya muak. Ini kali kesekian bagi Sungchan untuk datang, temani, lalu mengobati. Seluruh kehadirannya dengan senang hati ia beri untuk Shotaro meski tau bahwa semuanya akan diinterpretasikan dalam satu arti; kasih sayang antar teman yang sepatutnya diberi, bukan hal lain yang perlu dipikirkan sampai hati.
Spend a summer or a lifetime with me.
Tapi Sungchan enggak akan pernah lelah menunjukkan bahwa ia pantas untuk dipandang lebih dari seorang teman. Jatuh cinta sendiri memang hal yang menyakitkan, tapi Sungchan akan membuatnya menjadi sebuah perjuangan. Karena, benar, jika semuanya lama dipendam, sewaktu-waktu akan meledak seperti yang sekarang dirasakan. Shotaro ada di sebelah kursi kemudi tepat di sisi Sungchan yang membelah jalanan sore untuk mengunjungi pantai yang lama ingin Shotaro datangi. Tawanya bebas menghiasi saat jendela dibuka dan Shotaro mengangkat tangannya ke udara. Helaian rambut tersebut disapu angin kencang yang membawa kebahagiaan. Tak henti-henti Shotaro berterima kasih karena Sungchan bersedia meluangkan waktu untuk hal yang begitu menyenangkan.
Let me take you to the place of your dreams.
Kapan pun dan ke mana pun Shotaro ingin menjelajahi tempat sebagai destinasi, Sungchan akan bersedia membawa dan menemani. Tertular senang yang Shotaro rasa sampai senyum Sungchan juga turut terhiasi. Berkali-kali Sungchan menoleh ke sisi kiri, mendapati satu tangan kosong Shotaro di tepi kursi yang mengundang untuk ia sentuh dan dibawa ke dalam genggamannya seperti adegan di serial televisi—tapi Sungchan masih belum begitu berani. Gerakannya terkurung berulang sampai gusar napasnya dihembuskan. Mungkin lain kali. Kalau keberanian itu datang lagi dan enggak Sungchan tepis jauh dengan penyesalan yang datang di kemudian hari.
“Kita udah sampe.”
Pintu mobil dibuka, langkah kecil Shotaro berubah menjadi lari saat menapakkan kaki di pasir putih yang kemudian basah diterpa ombak tipis yang datang. Disusul Sungchan dari belakang dengan kening mengernyit kesilauan. Beruntung, mereka enggak melewati saat-saat matahari tenggelam. Sama seperti keinginan Shotaro yang Sungchan ingat dan ia kabulkan sekarang.
“Gue harus berterima kasih pake cara apa, nih?” Shotaro bertanya dengan euforia yang meninggi sambil mengepakkan tangannya ke dalam air. Setengah kakinya terguyur saat disapu dengan ombak yang tenang menghantam.
Tapi Sungchan enggak menjawab, ia lekas mengikis jarak saat mendekat untuk tarik Shotaro mundur sampai jauh dari tepi pantai. Menurut tanpa berucap saat Sungchan meraih pergelangannya lalu dibawa menjauh dari ombak, sekarang Shotaro terkekeh kecil tatkala Sungchan berjongkok di hadapannya tuk menggulung celana kain panjang yang ia kenakan.
“Daripada mikir harus berterima kasih pake cara apa, mending lo coba perhatiin hal kecil di sekitar lo supaya akhirnya enggak kesusahan sendiri.”
Tell me,
Sungchan belum berdiri, sekarang ia mendongak untuk tatap Shotaro yang menunduk memandangnya penuh arti.
Do you feel the love?
Shotaro merasa ada yang berbeda kali ini. Seperti, Sungchan tengah berada di garis bimbang yang membuatnya turut merasakan sesuatu lain yang enggak biasa dirasakan. Baru saja Shotaro ingin memikirkan semuanya lebih dalam lagi, Sungchan mendadak bersuara setelah gulungan terakhir selesai dibuatnya.
“Celananya bisa basah semua kalo enggak dilipetin kaya begini, Kak. Lo ‘kan enggak betah kalo basah-basahan apalagi sampe lembab, perjalanan pulang juga jauh dan pasti macet. Gue enggak bawa celana ganti soalnya.”
Lalu Sungchan berdiri, menyejajarkan tubuhnya dengan Shotaro yang belum mengedip sedari tadi. “Duduk dulu di sana? Di atas batang pohon itu. Mau?”
Dua kali mengangguk, Shotaro dibawa melangkah semakin jauh dari tepi pantai. Satu batang pohon kelapa yang besar diduduki sambil menghadap pada ombak dan semburat jingga yang mewarnai langit sore hari itu. Mataharinya mulai tertelan air laut yang tinggi bergelombang. Sementara di antara mereka ada hening yang tenang—berlawanan dengan Sungchan dan bising suara di kepalanya yang makin nyaring berbunyi seolah bersorak kegirangan.
It seems like yesterday when I said,
“We’ll be friends forever.”
Rasanya baru kemarin Sungchan berkata pada Shotaro bahwa pertemanan mereka akan terjalin selamanya. Semuanya berjalan begitu cepat; tau-tau Sungchan menyimpan perasaan dan sekarang berisik minta diungkapkan saat menyadari bahwa ini situasi yang memungkinkan. Melirik Shotaro di sampingnya, pahatan wajah yang terlihat dari sisi kanan tersebut sedang dihiasi kagum sampai binar matanya berkilauan.
Sekarang mereka sedang sama-sama menatap pemandangan. Shotaro menyaksikan kecantikan pantai dengan matahari tenggelam, sementara Sungchan larut memandang Shotaro hingga kepercayaan dirinya terkumpul teguh siap menyatakan perasaan. Shotaro adalah segala-galanya. Sungchan bisa mengedarkan pasang mata untuk menatap dari segala sisi yang ada. Dari ujung ke ujung, di luasnya kota besar yang mereka tinggali, di antara ukiran mural pada setiap jalan yang mereka lewati, yang Sungchan lihat hanya Shotaro seorang diri. Enggak ada siapa pun lagi, Sungchan bersumpah bahwa ia telah jatuh hati.
Tapi, apakah Shotaro dapat melihat Sungchan dengan cara Sungchan melihatnya sebegitu istimewa?
Tell me,
“Chan, gue ajak ngobrol kok malah beng—”
“Lo ngerasain hal yang sama enggak, Kak?”
Do you feel the love?
“Ya…?”
Mungkin ini adalah saatnya. Saat-saat yang memiliki dua kemungkinan dan risiko seperti yang telah Sungchan pelajari; perasaan Sungchan terbalas dengan Shotaro yang memberinya peluang atau hubungan bernama pertemanan ini akan berhenti terjalin karena kecanggungan. Tapi jika Sungchan enggak mencoba, sampai kapan pun perkiraan ini akan menjadi teka-teki rumit yang sulit tergarap, bukan?
“Kaya gue,” Sungchan mempersiapkan diri di jeda kalimatnya. “Kaya gue yang ngerasa seneng ada sama lo di sini. Berdua. Cuma kita aja, enggak ada orang lainnya.”
Teduh suara angin yang berderak juga kilat jingga yang warnai wajah Shotaro dengan tatapannya yang lekat—Sungchan yakin ini adalah cinta, cinta yang dalam dirasa dan mustahil untuk ditepis jauh untuk sekedar mempertahankan pertemanan yang lama. Bukan bermaksud merusak segala yang dibangun lalu berjalan baik-baik saja, tapi Sungchan ingin berusaha mencoba. Karena jika diam dan memendam enggak menghasilkan jawaban lalu Sungchan akan mati dalam keadaan penasaran, ia lebih baik memilih untuk hidup selamanya dengan penderitaan sebab yang didapatnya adalah sebuah penolakan.
“Sejak kapan?” Shotaro bertanya saat menarik sebuah premis dengan yakin. Enggak bakal salah lagi, Shotaro tau apa yang akan terjadi.
“Enggak tau pasti,” jawab Sungchan. “Kaya yang lo bilang, gue ‘kan selalu sama lo terus. Saking banyaknya waktu berdua, gue enggak tau pasti kapan jatuh cintanya.”
Ada gugup yang Sungchan rasa dan Shotaro bisa melihat saat menerawang pada bola matanya. Bukan hanya gugup sementara, tapi Shotaro juga lihat ada ketakutan di sana. Tatapan Sungchan gemetar meski dua sudut bibirnya ditarik ingin terlihat tegar. Memberi ketenangan meski segelintir, Shotaro ulurkan tangan supaya jemarinya isi kekosongan di sela-sela yang lembut dengan mahir.
“Enggak apa, Chan.”
Sekarang Sungchan bimbang harus menyimpulkan, tapi elusan lembut ibu jari di punggung tangan cepat-cepat mengikis pikiran dan Sungchan kembali mampu untuk melanjutkan.
“Enggak ada yang bisa gue liat selain lo—meskipun gue enggak tau lo bisa liat gue dengan cara yang sama atau enggak.” Sungchan berkata seraya menerka-nerka. “Perlu nunggu lama supaya gue yakin bisa bilang semuanya langsung di depan lo kaya sekarang. Banyak juga risiko yang perlu gue tanggung setelah ungkapin semuanya. Tapi gue enggak mau selamanya jadi pecundang.”
Terbenam setengahnya, langit jingga kekuningan tersebut berubah jadi merah muda mencolok. Cakram emasnya nyaris menyentuh permukaan laut. Sungchan mau menyelesaikan pengakuan cintanya sebelum cakrawala melahapnya habis-habis. Sedikit tergesa, tapi Shotaro memakluminya.
“Lebih dari temen, gue sayang lo, Kak.”
Desir ombak semakin besar terdengar, hantamannya kencang menerpa batu karang yang berdiri tegar. Sungchan mengucap kalimat yang lama ingin ia ungkap langsung di hadapan Shotaro yang bereaksi termegap.
“Gue harap kita tetep bisa jadi temen kaya begini. Entah setelah pengakuan gue bisa lo terima atau lo tolak karena enggak bisa—semoga gue enggak bikin rusak semuanya.”
Selesai sampai meluruh semua beban yang ditahan, Sungchan menunggu Shotaro untuk memberi jawaban. Menoleh ke depan, matahari sudah total tenggelam. Waktu Sungchan seperti sudah habis, ia enggak lagi merasa dikejar. Sekarang yang ia tunggu hanya sebuah jawaban.
“Kasih tau gue, Kak. Kasih tau kalo lo ngerasa hal yang sama juga.”
Bukan menghembus napas lega, justru Sungchan menahan sesak di rongga dada saat genggaman tangan yang diraih Shotaro melonggar; satu per satu jemarinya lepas dari sela-sela kosong yang sempat diisi sepanjang Sungchan mengutarakan isi hati. Mungkin ini salah satu risiko yang Sungchan harus hadapi. Sebuah penolakan yang wajar Shotaro beri sebagai jawaban. Sungchan meringis saat Shotaro terdiam dengan air wajah yang enggak terbaca. Untuk kali pertama, Sungchan bukan menjadi penebak terbaik dengan hasil sempurna. Mungkin ini menjadi titik akhir di mana Sungchan harus menyerah—menerima keadaan yang tersaji meski menyakitkan dan enggak sesuai harapan, Sungchan biarkan untuk beberapa saat matanya terpejam. Probabilitas Shotaro akan meninggalkannya sendiri dan enggak akan menghubunginya lagi adalah sebuah hal yang masuk akal. Karena sekarang Sungchan enggak merasakan apa pun lagi pada jemarinya. Kosong. Shotaro melepasnya tanpa komputasi seolah Sungchan bukan hal yang perlu dipertahankan untuk tetap ada di sini.
Atau… bukan.
Mungkin ini adalah cara lain dari bagaimana Shotaro memberi kepastian saat wajahnya mendekat dan beri satu kecupan di bibir Sungchan begitu singkat.
“Geli,” tuturnya disusul senyum kecil. “Gue enggak pernah ngebayangin bakal cium temen sendiri.”
Enggak membalasnya dengan segelintir tawa atau canda tuk melunakkan suasana, Sungchan memilih untuk membawa Shotaro dalam pertemuan bibir yang kedua. Lebih dari sekedar kecup, lembab ranum keduanya bergerak pelan seperti mencari kepastian. Diguyur dengan sinar kekuningan dan gelombang ombak yang berdatangan, pagutan mereka berangsur lembut dan amat begitu tenang. Terendam bunyi saliva yang beradu oleh kicau burung yang beterbangan, telapak Sungchan hinggap di tengkuk Shotaro untuk membawanya semakin dalam—ia bawa jauh menyelam untuk memperkenalkan perasaan yang lama dipendam.
Shotaro akhirnya menemukan. Dadanya berdebar manakala Sungchan untuk kali pertama menjelajah isi mulutnya di setiap senti, memastikan enggak ada bagian yang terlewati sebagaimana mestinya Shotaro pantas untuk diberi adorasi.
Cantik.
Sungchan menyaksikan Shotaro dari jarak sedekat ini usai ciuman pertama mereka diselesaikan secara terpaksa—karena kalau bisa, Sungchan mau ciumannya terlaksana lebih lama. Tapi enggak apa, semuanya bisa terjadi di kali kedua dan selanjutnya. Yang terpenting, semuanya baik-baik saja. Shotaro enggak menghempasnya jauh—justru Sungchan diberi kesempatan untuk menyalurkan perasaannya secara penuh. Lega luar biasa, Sungchan sandarkan dahinya sama seperti Shotaro bersedia memberi ruang supaya mereka selalu bersama tanpa dipisah jarak dan perasaan yang terselip secara tak terduga.
Tell me,
“Kasih tau gue,” Sungchan memberi celah untuk melipat helaian rambut Shotaro yang berantakan karena tertiup angin kencang. “Kasih tau gue lebih jelas. Lo juga ngerasain hal yang sama kaya apa yang gue rasain barusan, ‘kan?”
Do you feel the love?
Meski tersipu karena situasi ini bukan situasi biasa yang biasa mereka hadapi, tapi Shotaro enggak akan membohongi diri bahwa ia juga sama ada di sini; di titik terdalam Sungchan menyimpan perasaan yang lama disembunyikan supaya pertemanan tetap aman. Shotaro selalu ada di sini sejak jauh-jauh hari, tapi seperti yang selalu Sungchan peringati—melihat hal kecil di sekitarnya adalah sebuah kunci, tapi Shotaro telat menyadari.
“Sama,” teguh Shotaro menjawab tanpa ragu yang jadi penghambat. “Gue juga rasa semua yang lo rasa. Lo, gue, kita—semuanya sama rasa. Lo enggak sendirian, Chan.”
Semuanya jauh dari kata sia-sia. Seluruh tentang Shotaro yang selama ini dilihatnya dari beragam sisi dan beraneka cara pada akhirnya menemukan jawaban yang pasti. Sungchan enggak sendiri lagi. Disaksikan matahari yang pamit menjadi bukti, Sungchan enggak akan melupakan perjuangannya yang tuntas di sore ini. Meski pahit sejak awal ia telan sendiri, tapi semuanya terbayar dengan Shotaro yang bersedia bersamanya lebih lama lagi. []