Di tempat ini lagi.
Bangunan yang masih sama kokohnya seperti terakhir kali Seunghan meninggalkannya dengan perasaan pilu dan berakhir jadi penuh rindu. Bangunan yang tatanannya masih sama, Seunghan menyusuri tiap koridornya sambil bernostalgia pada hari itu di mana semua hidupnya terasa berwarna. Masih terekam jelas di kepala bagaimana genggaman tangan membawanya dalam langkah yang lebih menyenangkan ketika bel pulang telah tiba. Juga masih teringat jelas dialog-dialog penuh cinta yang mereka lakukan di tribun pada waktu jam istirahat yang tersisa.
Semua membekas di kepala dan tujuh tahun sudah Seunghan kubur rindunya karena tak bisa berbuat apa-apa. Entah sebuah keberuntungan atau semesta sedang ingin melihatnya berjuang, malam hari selepas bekerja seharian Seunghan dapatkan sebuah pesan undangan yang memintanya hadir di acara yang sama sekali tidak menarik perhatiannya. Acara perayaan ulang tahun sekolahnya yang menjadi awal mula bagaimana semuanya terjadi dan ciptakan kenangan indah.
Seunghan biasanya selalu menghindari agenda spesial yang sekolahnya dahulu adakan karena tak memiliki keberanian untuk datang—sebut ia pecundang, tapi Seunghan benar-benar tak siap jika harus bertemu dan menumpahkan rasa bersalahnya yang tak pudar dimakan waktu.
Tapi kali ini, ada sebuah tarikan kuat yang membawanya pada keberanian untuk datang. Seunghan masih mau berjuang jika ada kesempatan—atau buruknya, jika sudah tak ada harapan, biar Seunghan perbaiki apa yang harusnya ia selesaikan setelah tujuh tahun lalu ia meninggalkan semuanya tanpa kalimat pamit dan kejelasan.
Maka, di sini. Di dalam bangunan sekolahnya yang berada di tengah ibu kota. Acara malam ini berjalan dengan penuh reminisensi, banyak di antara mereka yang lama tak bertemu dan menjadikan acara malam ini seperti ajang reuni.
“Udah lama gak ketemu, gue bener-bener shock parah bisa liat lo lagi di sini. Karena kita semua gak tau kabar lo gimana, Han. Kita semua nyari informasi lo tapi gak nemu sama sekali. Ini kalo mereka udah kumpul, pasti ikut kaget juga karena lo tiba-tiba balik begini.”
Itu Eunseok. Orang pertama yang Seunghan temui di kerumunan malam ini, teman satu angkatannya yang mengenal Seunghan begitu baik. Biasanya Eunseok jarang berekspresi, tapi ketika menemukan Seunghan duduk di kursi tamu menatap panggung yang tampilkan berbagai pertunjukan, tepukan dua kali di pundaknya Seunghan terima lalu mereka saling menyapa dan berakhir berbincang berdua.
“Ya... Lama banget, ya.”
Seunghan bergumam sambil berkilas balik pada apa yang terjadi di masa-masa itu. Semua terasa seru dan berwarna, masa remaja yang tak pernah ada bandingannya. Tak terasa waktu berjalan cepat dan Seunghan kehilangan interaksi bersama beberapa teman lainnya karena tak memiliki opsi untuk selalu menetap di sini.
“Gue dateng ke sini sama Sohee dan Anton. Kalo lo? Kasih kabar ke Wonbin gak mau balik ke sini dan dateng di acara malem ini?”
Ah, tentu saja tidak. Seunghan tak memiliki kontak apa pun untuk bisa menghubungi Wonbin selama beberapa tahun terakhir. Mereka benar-benar berpisah dan tak punya sedikit pun waktu untuk bertukar kabar—Seunghan memutusnya begitu menyedihkan.
“Oh... Di Paris udah ada gandengan, ya?”
Yang ini. Yang ini yang paling Seunghan hindari. Selama melanjutkan pendidikannya di negara lain, tak ada yang Seunghan biarkan untuk mengisi kekosongannya di hari-hari. Sebab hatinya masih terisi sosok yang mungkin tak pernah bisa Seunghan miliki lagi. Pandangannya beredar, Seunghan sengaja mencari-cari. Sebab di undangan yang diterimanya, ada satu pertunjukan yang menjadi alasan kuat untuk Seunghan nekat terbang meninggalkan Paris dan beberapa pekerjaannya yang harus diselesaikan.
“Selanjutnya akan ada pertunjukan spesial dari band yang sempat tenar pada masanya! Band yang masih berdiri sampai sekarang walaupun para anggotanya udah enggak semuda dulu tapi semangatnya masih satu. Ada yang bisa tebak band apa yang selanjutnya akan tampil?”
Di panggung luas dan megah, pembawa acara memberi pengumuman tentang pertunjukan selanjutnya dengan petunjuk yang dapat Seunghan tangkap begitu cepat. Tepuk tangan dan sorakan megah berkobar ramai siap menyambut band yang disebut sebagai band terbaik yang pernah sekolah ini miliki.
“Benaaar! Sonar Soulful, band yang didirikan sepuluh tahun lalu dengan empat anggota yang masih aktif sampai saat ini dengan satu pemimpin yang dikenal baik dari angkatan hingga angkatan. Mereka datang di acara perayaan ulang tahun sekolah dan siap mengisi acara dengan meriah!”
Eunseok di samping Seunghan sengaja menyenggol sikut Seunghan sebagai godaan. “Wonbin, mantan lo. Bentar lagi dia mau manggung sama anak Sonar Soulful yang lain, termasuk Sohee.”
Menerima informasi tersebut, Seunghan hanya mengangguk tanpa berkata apa pun sampai kemudian ia berdiri dan menarik napasnya dalam-dalam dan Eunseok dibuat kebingungan.
“Mereka ada di belakang panggung ‘kan sekarang?”
Refleks Eunseok mengangguk, tak sempat mengatakan apa-apa karena Seunghan melenggang pergi begitu cepat meninggalkan kursinya. Bukan sekedar impulsif, tapi Seunghan hanya ingin segera bertemu dengan alasan utama ia datang di acara malam ini—Wonbin, gitaris band selanjutnya yang akan tampil sedang bersiap di belakang panggung dengan ketiganya yang lain.
“Maaf, tapi selain bintang tamu yang akan tampil dilarang masuk ke area belakang panggung.”
Penolakan akses untuk memasuki ruang di belakang panggung membuat Seunghan mendesah putus asa. Berkali-kali ia membujuk petugas keamanan karena ia butuh segera masuk dan bertemu dengan Wonbin yang beberapa menit lagi akan bersiap naik ke atas panggung.
“Saya harus masuk, Pak. Sebentar aja, kasih saya lima menit boleh, ya?”
Petugas keamanan dengan berat hati menundukkan kepala dan menolak kembali permintaan Seunghan yang kini tampak gelisah tak tenang.
“Jika ada yang mau disampaikan ke bintang tamu yang sedang bersiap tampil, anda bisa menitipkan pesan kepada saya dan akan saya sampaikan langsung ke orangnya. Biar saya bantu, mau bicara dengan siapa?”
Tak ada jeda yang Seunghan cipta untuk berpikir barang sejenak, “Wonbin. Saya mau bicara sama Wonbin, gitaris Sonar Soulful yang sebentar lagi tampil. Ada yang saya harus—”
“Kenapa ribut-ribut?”
Seunghan menghentikan kalimatnya dengan bibir yang perlahan tertutup. Menyadari bahwa ada kebisingan di depan pintu, Wonbin di dalam sana mengernyit bingung kala namanya disebut. Inisiatif, Wonbin keluar untuk memastikan apa yang sedang terjadi lalu ia dibuat takjub—Wonbin berdiri mematung dengan mata membelalak dan tangannya yang perlahan ciptakan kepalan erat.
Seunghan. Satu nama yang tak pernah Wonbin lupa meski berbagai usaha telah ia coba. Nama yang ingin Wonbin lupakan bersama kenangan-kenangan di dalamnya tapi tak pernah bisa—semua terlalu indah karena Seunghan mengisi kehidupannya sebagai cinta pertama. Rongga dadanya dibuat sesak kala menyaksikan Seunghan secara langsung di hadapannya setelah tujuh tahun tak pernah Wonbin lihat lagi wujudnya.
Beberapa sekon mereka bertatap lalu diakhiri dengan Wonbin yang membuang pandang dengan sesak yang masih ditahan. Ada sesuatu yang ia tunda untuk dilakukan sekarang juga.
“Bin—”
“Jangan kasih dia masuk.”
Tegas Wonbin berucap lalu kembali masuk untuk bersiap. Tinggalkan Seunghan seorang diri dengan penolakan sebagai sambutan setelah tujuh tahun tak lagi bertemu—bukan hal yang patut untuk Seunghan berlega hati. Sesuai seperti dugaannya tempo hari, mungkin Wonbin tak mudah menerimanya kembali.
Sebuah penyesalan yang panjang ujungnya. Seunghan menyaksikan Wonbin masih sama mahirnya seperti masa itu; jari-jarinya begitu lentik memetik senar gitar dan menawan ciptakan banyak sorakan. Wonbin benar-benar terlahir menjadi seorang bintang dan Seunghan bersedia menjadi penonton utama di paling depan—setidaknya jika hari itu tak banyak paksaan yang mengharuskan Seunghan pergi tanpa berpamitan. Karena Seunghan juga tak ingin mereka berujung dalam perpisahan yang amat panjang.
Tak mau berlarut dalam resah yang lama di tengah-tengah pesta, Seunghan berjalan keluar aula untuk menghirup sejenak udara. Jas hitam yang dikenakannya dilepas sementara lalu diambil sebatang rokok dari saku celananya.
Kedatangannya kembali ke tempat ini tak menghasilkan narasi indah seperti harapan Seunghan yang bersembunyi di sela-sela rasa bersalahnya. Kiranya Wonbin akan sedikit merasakan hal yang serupa, merindukan dirinya yang lama tak dijumpa—tapi Wonbin bersikap penuh penolakan dan mungkin ada setitik benci yang dimilikinya.
Tentu Seunghan anggap wajar.
Wonbin pernah begitu mencintainya pada masa remaja beranjak dewasa yang dilalui dengan tawa dan suka. Ada janji yang mereka cipta untuk selalu bersama tapi semua sirna karena Seunghan secara tiba-tiba meninggalkannya sendiri tanpa kepastian. Masih teringat jelas bagaimana Wonbin dibuat bingung di pesta perpisahan ketika bersiap untuk menampilkan lagu yang dirangkainya khusus untuk Seunghan—tapi berakhir tak pernah ia nyanyikan karena kehadiran kasihnya kala itu berubah menjadi angan.
Seunghan lanjut kuliah di Paris ikut orang tuanya dan enggak bakal mungkin balik lagi, emang dia gak ngomong apa-apa ya sama lo?
Malu bercampur kecewa atas patah hati baru Wonbin rasa di usia sembilan belas untuk pertama kali. Tak memiliki sedetik waktu untuk merasakan pelukan perpisahan, Seunghan meninggalkannya bahkan tanpa sebuah pesan. Hari di mana semua berjalan penuh kekecewaan. Di tahun pertama, Wonbin sempat berusaha mencari kabar dengan beragam cara. Sama seperti tahun kedua dan ketiga—merasa usahanya nihil, Wonbin berhenti dan mencoba untuk merelakan apa yang hilang dan menjalankan hidup dengan penuh kesendirian.
Maka ketika Seunghan datang di acara malam ini lalu mencarinya langsung di belakang panggung, yang Wonbin rasakan untuk pertama kalinya adalah perasaan terkejut begitu hebat sampai dadanya bergemuruh kencang. Seunghan ada di hadapannya dengan perawakan yang masih sama seperti hari itu Wonbin habiskan separuh masa remajanya. Hanya saja, ada binar yang berbeda dari iris mata yang sendu penuh rindu. Tapi Wonbin tak mau tahu, ia juga kesulitan menahannya sepanjang waktu.
“Lo oke, Bin?”
Wonbin mengedip, terkejut atas pertanyaan Sohee yang tiba-tiba menghampirinya untuk memastikan keadaannya sehabis turun dari panggung kemudian duduk lalu melamun.
“Mmhm. Gue oke, Hee.”
Sohee, vokalis band yang didirikan sepuluh tahun silam, mengambil bangku untuk duduk di depan Wonbin kembali memastikan.
“Lo pasti kaget banget, ya, dia balik ke sini tiba-tiba?”
Terkekeh sebagai respons, Wonbin dibuat menggeleng. “Waktu itu dia juga perginya tiba-tiba. Ya wajar aja kalo balik juga tiba-tiba. Gak usah heran kali harusnya.”
Meski mengubah topik obrolan menjadi candaan, tapi binar mata yang perlahan meredup menjadi saksi penuh bisu bagaimana Wonbin juga sama merasa rindu. Sohee tahu, Wonbin tutupi semuanya karena merasa keliru.
“Sedih enggak, nih?” tanya Sohee menyelidik dengan imut. Wonbin mana takut, ia tertawa untuk beberapa waktu sebelum menarik Sohee segera keluar dari ruangan.
“Gak ada alesan gue buat sedih di tengah-tengah pesta kaya gini. Let’s have fun, gak pantes kalo di acara meriah begini harus sedih-sedihan. Kecuali serem-sereman boleh, deh. Kaya muncul zombie tiba-tiba, misalnya?”
Tepukan ringan di pundak Wonbin dilayangkan oleh Sohee, “Ngawur! Kalo ada beneran nanti repot ya kita semua.”
“Itu lo aja kali yang repot karena mesti nyelamatin dulu dua cowok lo? Kalo gue ‘kan santai, tinggal lari aja sendirian. Kabur, survive, kelar.”
Sohee bereaksi menggeleng sebanyak dua kali atas apa yang baru saja Wonbin katakan penuh gaya dan percaya diri. Mereka lanjutkan langkah menuju stand makanan diadakan dengan berbagai menu yang tersuguh begitu menggiurkan. Banyak yang ingin mereka coba tapi terlalu sibuk untuk bersiap naik ke atas panggung. Jadi sekarang adalah saatnya menyantap semua menu-menu ini dengan nikmat, terlihat dari ekspresi para tamu undangan yang menyantapnya dengan hikmat.
Wonbin tak tahu bahwa ucapan asalnya bisa saja terjadi secara mendadak.
Sementara Seunghan—masih di luar aula tepat di taman belakang sambil menghisap sebatang rokok yang terselip di jemarinya—sudah hilang nafsu makan untuk turut menyantap hidangan yang tersaji di dalam sana. Masuk dalam lamunan pada setiap hisapan-hisapan, Seunghan dibuat terperanjat ketika mendengar langkah cepat yang terdengar begitu panik. Ada seseorang yang datang, ternyata. Seorang wanita dengan gaun rapinya sedang menutup mulutnya rapat-rapat sebelum apa yang sedang ditahannya keluar begitu saja; muntahkan seisi perut dengan cairan-cairan menjijikkan yang tak sengaja Seunghan tangkap ketika memastikan apa yang sedang terjadi.
Belum usai menahan rasa jijik, Seunghan harus dibuat terkejut lagi akan kehadiran orang-orang yang berhamburan keluar dari aula lalu melakukan hal serupa dengan wanita yang baru saja Seunghan saksikan barusan. Memuntahkan seisi perut dalam bentuk muntahan dengan bau menyengat—Seunghan tak tahan, bahkan kini ada seseorang yang terjatuh di atas lantai dengan wajah pucat kebiruan.
Satu hal yang Seunghan simpulkan: sedang terjadi keracunan. Sempat Seunghan membantu seseorang yang tertatih sambil bertanya apa yang sedang terjadi sebelum Seunghan segera masuk melenggang ke aula dengan langkah serampangannya.
Tepat. Di sana ia temukan Wonbin bersama Sohee sedang bersiap mengambil menu makanan yang berjajar rapi di stand-stand makanan. Buru-buru Seunghan tahan dengan membanting alat makan yang ditempatkan di atas tangan Wonbin hingga berakhir jatuh berdenting.
“Lo gila?” tanya Wonbin murka. Tak hanya kesal, ia juga harus menahan malu karena beberapa orang menatapnya seperti pusat perhatian.
“Makanan di sini enggak aman. Gue liat dan dapet informasi dari orang-orang di luar sana yang—”
Wonbin tertawa kecil sebelum ia menghempas lengan Seunghan yang menahan pergelangan tangannya, “Gue enggak peduli apa alesan lo tiba-tiba balik ke sini lagi setelah bertaun-taun lo ngilang gitu aja dan sekarang balik dengan sikap lo yang enggak banget. Tapi lo bisa berhenti bikin kacau gak? Di back stage tadi lo udah bikin rusuh dengan maksa petugas keamanan supaya dikasih akses masuk, terus sekarang—” Wonbin menahan napasnya. “You are such an attention seeker, Han.”
Sohee di belakang tubuh Wonbin bergerak menenangkan karena tampak Wonbin sudah tidak bisa menahan amarahnya yang tumpah dengan kalimat yang terdengar menyakitkan. Tapi Seunghan bersikukuh untuk menyelamatkan Wonbin dari bahaya yang terjadi, maka ia tidak mudah untuk berhenti.
“Kali ini denger gue, Bin. Ini bahaya, gue gak mau lo kenapa-kenapa.”
Upaya Seunghan yang diucap dengan kalimat lembut dan tenang sempat Wonbin rasakan untuk beberapa sekon sebelum kembali sadar bahwa amarah tengah menguasai sebagian dirinya yang berakhir ingin mengabaikan apa yang Seunghan katakan—baginya tak masuk akal sama sekali, Seunghan hanya sedang berusaha keras dengan cara konyol yang sama sekali tak menarik.
“Sejak kapan lo peduli sama apa yang gue lakuin? Lo aja ninggalin gue dan bikin gue kebingungan selama bertaun-taun, Han.”
Seunghan tertegun. Total membisu karena kalimat Wonbin benar-benar menusuknya jauh lebih dalam seakan mendorongnya untuk pergi dan tak perlu kembali. Di tengah pesta, mereka berhadapan dengan pertikaian yang mengeras karena musik di aula meredam suara.
“Cabut aja, Hee. Gue udah gak tahan lagi di sini, gue mau balik—”
“Wonbin!”
Seunghan menarik kencang lengan Wonbin tatkala seseorang dari belakang hendak menyerang dengan gelagat aneh yang tak dimengerti. Tak ada lagi perdebatan sebab mereka menganga menyaksikan sebuah keanehan yang baru saja mengejutkan. Bisa mereka lihat ada sosok yang jatuh di atas lantai—awalnya normal, berpenampilan seperti tamu undangan yang mengenakan pakaian formal. Tapi berbeda ketika sosok tersebut mendongak dan menunjukkan fisik yang terlihat kacau dan menyeramkan; merah darah di bola mata, hidung bernanah kental dengan bau yang menusuk, juga gerak patah-patah kaku seperti mayat yang kembali hidup.
Sontak semua tamu di sana menjadikannya sebagai tontonan karena tak memiliki insting kuat apa yang akan terjadi setelahnya.
Diam-diam Wonbin rasakan genggaman Seunghan pada pergelangannya kian mengerat bersamaan dengan langkah keduanya yang mundur dengan kompak. Alis yang bertaut bingung mencerna situasi yang tadinya tenang dan ramai berubah menjadi mencekam kala orang-orang berlarian dengan teriak nyaring memenuhi ruangan dan merusak dekorasi. Parahnya, kini mereka harus menonton bagaimana belasan orang berubah menjadi agresif dengan menggigiti tamu undangan lainnya hingga terluka.
“Han—”
“Lari!”
Teriak Seunghan terucap seperti perintah yang refleks dituruti. Wonbin menarik lengan Sohee di belakangnya yang sedari tadi bergetar takut menyaksikan kerusuhan yang terjadi. Yang mereka pikir saat ini hanya berlari untuk menyelamatkan diri, keluar dari aula untuk mencari tempat yang sekiranya aman untuk ditempati.
“Yang tadi—yang tadi apa?!”
Seunghan menggeleng dengan langkah yang terus berlari tanpa henti bersamaan dengan beberapa tamu lainnya yang hendak menyelamatkan diri. “Gue gak tau. Kita harus cari tempat yang aman dulu!”
Lalu Wonbin menoleh ketika genggaman tangannya di sisi kiri yang menarik Sohee terlepas, teman satu bandnya itu berhenti berlari untuk menatap ke sekeliling.
“Hee—”
“Gue gak bisa ninggalin Eunseok sama Anton, Bin. Mereka di mana?!”
Benar. Sohee hadir ke acara malam ini bersama Eunseok dan Anton, lalu mereka berpisah karena Sohee menemani Wonbin yang sempat terlihat tidak baik-baik saja. Dan sekarang, di tengah-tengah kericuhan, mereka entah di mana hingga Sohee panik dan bingung dibuatnya.
“Kita gak ada waktu lagi, lari sekarang!”
Kembali Seunghan memberi komando dan Wonbin tak memiliki opsi lain selain menarik paksa Sohee untuk ikut bersamanya. Mereka berlarian mencari tempat teraman menyusuri koridor panjang yang mulai sempit karena dipenuhi tamu lain yang berpencar mencari aman.
Satu per satu pintu kelas yang mereka lewati didobrak kencang dan banyak yang terkunci rapat karena penjaga sekolah tak memiliki akses untuk membukanya pada acara malam ini. Alhasil mereka harus mencari lebih keras di mana tempat yang dapat mereka hampiri.
“Yang ini kebuka!” Sohee berseru ketika berhasil menemukan satu kelas yang tidak terkunci. Buru-buru mereka masuki lalu menutup pintu rapat-rapat kemudian ambruk di atas keramik begitu kelelahan dengan napas yang memburu dan dada berdebar kencang.
“Gila.”
Satu kata yang Wonbin ucap dengan wajah penuh keringat. Sementara Seunghan tengah bersandar di balik pintu sambil menetralisir detak jantungnya yang berdegup acak.
“Gue gak paham sama apa yang baru aja gue liat barusan. That’s fucking creepy. Kacau parah—”
“Lebih kacau dari itu,” Seunghan bergumam dengan ponselnya yang digulir dengan jari gemetar. Satu informasi tersemat di pencarian internet dan Seunghan buru-buru membukanya. “Virus. Ada virus yang masuk ke dalam tubuh hewan ternak dan inang virus yang mati gak bikin virusnya juga ikut mati—justru mereka hidup kembali dan ambil kendali tubuh hewan dan manusia yang terinfeksi.”
Informasi kilat yang Seunghan baca dari internet total membuat reaksi merinding pada ketiganya yang sadar bahwa situasi saat ini begitu serius.
“Gue ambil kesimpulan, orang-orang di sini bisa terinfeksi karena olahan daging yang disaji sebagai menu acara malem ini.” Seunghan mulai berteori, mengingat adegan-adegan beberapa puluh menit lalu yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. “Dan orang-orang yang terinfeksi mulai berubah jadi sosok agresif dengan cara nyebar virusnya lewat gigitan yang—”
Tubuh Seunghan mendadak terdorong keras ketika pintu ruangan didobrak dari luar secara kasar dan suara geraman berat menggema begitu menyeramkan untuk didengar. Panik sambil berusaha untuk menahan pintu supaya tetap tertutup, Seunghan nyaris hilang tenaga dan Wonbin kelimpungan mencari sesuatu untuk dijadikan pelindung. Satu kayu panjang berasal dari patahan meja Wonbin temukan tergeletak di ujung ruangan, buru-buru ia raih lalu mengarahkannya pada sisi pintu yang mulai sedikit terbuka.
Tangan pucat penuh noda darah dan urat-urat biru yang mencuat Wonbin saksikan dengan gentar, matanya total membola ketakutan. Tapi ia meluruhkan keberaniannya untuk memukuli lengan tersebut dengan sekuat tenaga. Sementara Seunghan dan Sohee menahan pintu supaya kembali tertutup rapat walaupun nihil karena kini yang muncul di celah pintu bukan hanya lengan, tapi sebuah wajah yang menyeramkan.
“G—gue harus gimana? Ini gue apain? Han, Hee, gimana ini?!” pekik Wonbin panik, kayu di genggamannya turut bergerak gemetar.
“Pukul! Pukul aja kepalanya, gak usah takut karena dia udah mati. Lo pukul sekuat tenaga sampe—”
“Fuck, fuck, fuck.”
Wonbin harus menutup matanya rapat-rapat ketika ia menusuk wajah dan kepala makhluk tersebut berkali-kali hingga darah kental muncrat mengotori wajah dan tangannya. Lenyap sudah seketika takut dan gentar yang dirasa, ia tak punya waktu untuk melawannya. Sementara itu Seunghan dan Sohee sudah kehabisan energinya, mereka merosot bersamaan dengan makhluk tersebut yang tumbang dengan kayu yang menancap di kepala.
“Bin...” panggil Seunghan pelan, takjub dan khawatir dalam waktu bersamaan menyaksikan Wonbin berhasil membunuh satu makhluk dengan tangannya. “Lo gak kenapa-kenapa? Ada yang sakit? Sorry, lo pasti panik.”
“Gue—” Wonbin terkesiap, ia memandangi tangannya yang penuh darah juga wajahnya yang terasa lengket.
“It’s okay, Bin. Lo aman, lo enggak luka.” Sohee maju, memegangi bahu Wonbin supaya tetap tegak dalam upaya memberi semangat.
“Gue harus keluar.”
Kali ini Seunghan yang berucap berusaha untuk kuat. Idenya yang tak dipikir untuk kali kedua tentu buat Wonbin nyaris murka. “Lo mau ngapain keluar? Lo baru aja bikin gue panik setengah mati karena harus bunuh orang pake tangan gue sendiri. Terus sekarang lo mau pergi?”
Sohee menarik napas, terjadi lagi.
“Gue harus minta bantuan ke orang di luar sana. Kita gak bisa diem di sini aja sebelum orang-orang yang terinfeksi makin banyak jumlahnya!”
Dengan mata mulai berkaca-kaca, Wonbin coba tahan amarahnya supaya mereda. Ia kendalikan emosinya karena sudah tak tersisa tenaga. Pintu yang diusahakan untuk kembali tertutup rapat kini Wonbin tarik dibuka lebih lebar, “Keluar.”
“Bin—” Sohee berusaha menengahi.
“Biarin dia keluar, Hee. Dia emang selalu punya opsi yang gak gue ngerti. Pergi gitu aja tanpa mikir seberapa banyak perjuangan yang udah dilewatin sampe sejauh ini. Dan ternyata gak berubah sampe sekarang setelah tujuh taun pisah tanpa alesan jelas yang harusnya gue dapet—bahkan di situasi kacau balau kaya begini, gue tetep gak bisa ngerti.”
Tetes air mata Wonbin jatuh, akhirnya. Bulirnya menyatu dengan cipratan darah yang mengenai wajah, lalu Wonbin usap dengan punggung tangannya. Menyakitkan. Apa yang baru saja ia ungkapkan adalah hal yang lama dipendam dan baru memiliki waktu yang tepat untuk diutarakan. Seunghan tentu dibuat merasa bersalah atas pilihannya yang tidak ia pikir lebih matang. Mendekat lalu meraih jemari Wonbin untuk digenggam, Seunghan tundukkan kepala dan ucapkan permintaan maaf.
“Bareng gue terus buat cari cara keluar dengan selamat. Gue janji, gue enggak bakal pergi lagi.”
Mereka bersembunyi sampai keesokan harinya, mendekam di ruangan dengan mayat-mayat hidup di luar sedang berlalu-lalang. Saat ini virus sudah menyebar dan menjadikan gedung penuh dengan gerombolan menyeramkan sedang mengincar banyak korban. Tak sekali dua kali mereka dengar suara pekik kesakitan hingga jerit penuh penyiksaan menggema di berbagai lantai dan meninggalkan jejak berupa darah-darah juga potongan tubuh lain yang berceceran.
“Biar gue yang coba pimpin, lo sama Sohee tetep di belakang gue apa pun yang terjadi. Kita harus cari yang lain dan cepet-cepet minta pertolongan.”
Mereka akan keluar ruangan dan mencari teman yang lain lalu segera meminta pertolongan. Tak banyak waktu, sekarang sudah memasuki waktu malam dan berdiam diri bukan upaya pertama dalam penyelamatan.
“Gue harus ketemu Eunseok dan Anton, gue gak tau mereka di mana. Gue gak tau mereka aman atau enggak, gue—”
“We will find them, Hee.” Wonbin menenangkan dengan meraih genggaman erat supaya Sohee tetap memiliki rasa yakin untuk menghadang apa yang akan mereka hadapi dalam hitungan menit lagi.
“Gue buka pintunya sekarang, siap-siap di belakang.”
Wonbin menempatkan posisi di belakang tubuh Seunghan yang lebih tinggi, di belakangnya Sohee juga mengikuti. Pintu dibuka, decitan suaranya terdengar seperti bunyi penuh perjuangan. Mereka keluar setelahnya, temukan orang-orang berlarian dengan langkah tertatih-tatih juga geraman yang berat nan serak—seperti potongan film yang mendebar dan mencekam, mereka bersiap untuk hadapi mayat-mayat hidup tersebut dengan penuh keberanian.
Di ujung koridor, mereka menangkap seseorang sedang bersimpuh meminta pertolongan. Desahnya melirih kesakitan dan yang mereka lihat pada sekujur tubuhnya sudah banyak luka gigitan yang terbuka hingga timbulkan bau busuk ketika dihirup.
Mereka mematung seketika, menyaksikan bagaimana reaksi virus menyebar ke seluruh tubuhnya lalu perlahan berubah menjadi makhluk yang mati dan kembali hidup; berdiri susah payah dengan kepala yang bergerak patah-patah, perubahan fisik yang begitu pesat sampai mereka dibuat mengerjap ketika makhluk tersebut mulai melangkah mendekat.
“Lari!” Seunghan berseru bersamaan dengan makhluk tersebut yang berlari kian mengencang. Di belakang ada Wonbin dan Sohee yang berlari sambil menoleh ke kanan kiri untuk memastikan. Panik bukan main, mereka temukan puluhan yang lain juga berlari ke sana sini seolah sedang dilanda kelaparan yang begitu parah.
“Belok ke kiri!”
Karena sedari tadi mereka berlari lurus tanpa berbelok arah, maka ketika Seunghan di depan sana memberi peringatan dan aba-aba secara mendadak, Wonbin spontan memutar tubuhnya hingga berakhir jatuh kencang di lantai dingin dengan darah kental yang membecek—di sampingnya Wonbin temukan potongan tubuh lain yang habis digerogoti.
Seunghan kemudian menengok usai menyadari bahwa Wonbin tak ada di belakangnya lagi. Lelaki itu ada di atas lantai sedang merasakan kakinya yang terkilir ngilu. Saat-saat Wonbin berpikir bahwa ini adalah sebuah akhir; makhluk-makhluk itu mendekat menatapnya kelaparan dengan mulut yang siap terbuka menggigit seluruh bagian tubuhnya bersama-sama. Untuk berdiri pun, Wonbin merasa sia-sia.
Kelopak matanya dibiarkan tertutup, semoga sakitnya tidak begitu terasa.
“Wonbin!”
Itu suara Seunghan. Wonbin mengenal suara manis itu meski terakhir ia dengar sudah hitungan tahun silam. Suara yang kerap memanggilnya sambil berusaha menarik lengannya untuk bangun dan berdiri. Wonbin nyaris mati dan Seunghan tetap ada bersamanya siap melindungi—mungkin ini detik-detik berharga yang Wonbin harap bisa terselip di otaknya meski nanti virus-virus menggerogoti sampai tak tersisa lagi.
Dramatisasi kondisi mendadak berhenti kala suara senjata api menggelegar mengisi gema di seluruh gedung yang penuh teriak dan erangan. Makhluk-makhluk kelaparan itu semakin mendekat ke arah mereka dan tak lama mereka pun dibuat terkapar usai peluru menancap di kepala.
Ada seorang penyelamat.
“Anton?”
Seunghan menarik lengan Wonbin begitu kuat sampai tubuh yang lebih kecil tersebut berhasil berdiri kemudian dipapah olehnya menjauh dari situasi. Di belakang sana ada Anton yang berdiri di samping Sohee dengan pistol miliknya yang menembak satu per satu mayat hidup tersebut agar kembali mati.
“Kita ke studio musik, di sana ada Eunseok yang berusaha cari bantuan luar supaya cepet dateng.”
Masih Seunghan ingat di mana letak studio musik berada sebab dahulu kerap ia menemani Wonbin berlatih bersama teman satu bandnya di sana. Tak jauh dari tempat di mana mereka nyaris mati, Seunghan memapah Wonbin untuk berjalan meski sedikit kesusahan.
“Sekarang aman, Bin,” kata Seunghan berbisik usai menyadari tubuh Wonbin gemetar karena masih mencerna apa yang baru saja terjadi. “Kita aman di sini.”
Pintu studio musik ditutup rapat. Anton dan Sohee sudah datang menyusul dan mereka berkumpul. Tak banyak kursi yang tersedia, sebagian dari mereka duduk di atas karpet tipis yang menghadap alat-alat musik berjajar sempit. Seunghan dan Wonbin di sana sembari mengatur kembali napasnya yang tersengal.
“Kaki lo gimana?” tangan Seunghan turun meraba kaki Wonbin karena tahu ada yang terluka di sana. Benar saja, ada luka gores yang terbuka dan mungkin saja ada luka lain di dalamnya.
“Gue pikir tadi gue bakal mati dan kembali hidup jadi bagian dari mereka,” Wonbin berucap dengan netra lurus kosongnya, tak menjawab pertanyaan penuh risau yang Seunghan lontar untuknya. “Lo udah nyelamatin gue tiga kali di situasi kacau malem ini.”
Yang lain sedang berbincang dan mencari informasi, hanya Seunghan dan Wonbin yang duduk di bawah sana sedang mengumpulkan ruang bicara yang jauh dari hati. Mereka sedekat ini—sedekat lengan jas hitam yang mereka kenakan menempel bersentuhan.
“Dan gue harap ini cuma mimpi,” jeda Wonbin sambil tertawa nanar. “Mimpi buruk, tepatnya. Karena gak pernah gue duga-duga sama sekali kalo ada virus gila yang nyebar dan nyaris bikin gue terinfeksi sampe harus bikin gue sembunyi buat nyelamatin diri—apalagi sama orang yang gak pernah gue harap buat balik lagi.”
Seunghan menoleh ke sisi, menyadari kalimat di akhir adalah kalimat yang diperuntukkan baginya meski berupa sindiran—tapi sindiran itu sama sekali tak membuat Seunghan tersinggung.
“Kira-kira gue bakal dibilang lebih gila dari virus yang sekarang mulai menyebar enggak? Karena gue ngerasa bencana ini jadi hal berharga, soalnya gue bisa ada sama lo lagi setelah tujuh taun lamanya kita enggak ketemu.”
Sekarang tawa Wonbin berubah jadi tawa penuh caci, “Lo bisa digebukin orang-orang yang lagi berjuang di luar sana kalo mereka denger kalimat lo barusan.”
Lalu Seunghan terkekeh geli, “Tapi di sini yang bisa denger ‘kan cuma lo doang?”
Wonbin akhirnya menoleh, mereka bertatapan. “Maka dari itu, lo harus merasa beruntung karena ada sama gue di sini.”
“Pasti,” Seunghan membalas kilat. “Gue merasa seberuntung itu ada sama lo lagi.”
Iris keduanya tunjukkan sedikit binar setelah tadi hanya ada bayangan putus asa yang tergambar lewat bola mata; coba temukan tiap sekon yang bermakna, karena mungkin saja mereka masih sama-sama cinta.
“Virus berbahaya berhasil diteliti oleh para ilmuwan di sebuah laboratorium. Virus mulanya menyebar pada hewan-hewan ternak yang kemudian diolah menjadi bahan pangan dan dikonsumsi. Memiliki daya tular yang tinggi, virus dapat menghidupkan kembali seseorang yang terinfeksi kemudian mengendalikan seluruh fungsi tubuh hingga mayat tersebut bisa bergerak dan menularkan virus melalui gigitan juga luka dari cakaran. Hanya dalam waktu puluhan menit, virus dapat menularkan infeksi yang cepat sehingga angka korban yang terinfeksi di negara saat ini menaik pesat dan mengharuskan adanya isolasi diri.”
Berita siaran langsung yang ditonton menggunakan ponsel Eunseok menjelaskan secara rinci bagaimana virus dapat menyebar dan seluruh kota sudah bersiap untuk mengisolasi. Yang artinya, virus sudah beredar luas dan di luar sana mungkin lebih bahaya dari mereka yang mengamankan diri di gedung ini.
“It’s called zombies, the zombie apocalypse. Sekarang kita lagi berhadapan sama zombi-zombi—mayat mati yang hidup lagi dan nyebar virusnya lewat gigitan dan luka lain. This is a fucking mess. Kita terjebak dan gak mungkin tim penyelamat bisa dateng ke sini—kita bukan orang penting, mereka pasti lebih mendahulukan petinggi sebelum evakuasi rakyat sipil.”
Anton dan umpatan kekesalannya di situasi yang semakin serius kali ini. Mereka sungguh terjebak dan tak tahu bagaimana cara agar selamat—panggilan darurat telah Eunseok coba tapi mereka mengatakan untuk tetap menunggumu dan bertahan di tempat aman.
“Kita perlu banyak orang supaya bisa jadi kumpulan yang butuh penyelamatan. Semua orang yang masih hidup di gedung ini harus kumpul di satu tempat.”
Pendapat Seunghan disetujui oleh yang lainnya, mereka butuh lebih banyak orang yang siap menuntut bantuan untuk segera datang. Maka, sekarang mereka tengah bersiap dalam upaya penyelamatan diri dengan mengelilingi gedung untuk membawa tamu-tamu lain yang tidak terinfeksi.
“Lo pegangan sama gue, biar gue bantu selama jalan nanti.”
Kakinya yang terkilir belum lebih baik jika dibawa berlari. Tapi Seunghan menyerahkan diri untuk membantunya dan memastikan bahwa ia akan baik-baik saja, terkesiap Wonbin dibuatnya karena mendadak merasakan sebuah ketulusan yang lama tak ia rasa. Eksistensi Seunghan ada kembali seakan hangat meyakininya untuk percaya bahwa semua problematika bisa selesai dengan sempurna. Tapi gengsi adalah bagian utama, Wonbin tak mengucap sepatah kata untuk berterima kasih pada Seunghan yang bersedia membantunya. Justru ia hanya membalasnya dengan tak acuh.
“Gue bisa sendiri.”
Seunghan hanya berdehem tak mau memperumit keadaan karena kembali ke tujuan awal, mereka perlu menyusuri gedung dan mengumpulkan orang-orang di satu tempat. Maka cara cemerlang yang dapat dilakukan adalah membuat sebuah pengumuman melalui pengeras suara yang tersambung ke seluruh ruangan, lantas yang perlu mereka datangi adalah ruang siaran lebih dahulu. Tapi yang jadi masalah, ruang siaran ada di lantai tiga—mereka harus melewati dua lantai dengan berbagai ruangan yang sudah ditinggalkan bekas jejak-jejak penularan. Zombi-zombi itu ada di sepanjang jalan menuju lantai tiga dan mereka harus melawannya sama-sama dengan tangan kosong yang tak bersenjata—selain Anton dengan pistol ilegal yang dibelinya.
“Jangan ada yang berpencar, kita semua harus bareng sampe di lantai tiga.”
Sekarang Eunseok yang memimpin mereka, memberi banyak instruksi dan peringatan dengan langkah mengendap keluar mencari tangga menuju lantai dua. Sebagian penerangan sudah tak berfungsi menjadikan pencahayaan sedikit remang-remang, di ujung sana ada kasat bayangan seseorang yang langkahnya dibawa menyeret kesakitan.
“Tolong...”
Suara rintih terdengar, mereka yakin bahwa orang tersebut baru saja terinfeksi karena ketika diperhatikan seksama, organ perutnya sudah tak utuh dan terjatuh-jatuh sehabis dikoyak habis tak bersisa.
“Enggak. Gak bisa diselamatin. Lari!”
Langkah yang mulanya mengendap sekarang berubah jadi lari cepat. Mereka berlarian berhambur menaiki anak tangga. Di belakang ada Wonbin yang terseok-seok karena menolak bantuan Seunghan yang beberapa kali ditawarkan. Geram, Seunghan menarik paksa lengan kecil tersebut untuk digenggam.
“Lo bisa mati konyol kalo gak terima bantuan gue kali ini.”
Akhirnya mereka turut menyusul, berlari menjauh dari orang yang baru saja terinfeksi. Di lantai dua, cobaan datang lagi. Bukan hanya satu atau dua, belasan lainnya menghadang jalan mereka. Langkah optimis dibuat pudar dan terganti jadi langkah mundur penuh keraguan—mereka bukan hanya terjebak, tapi total terkepung di antara zombi-zombi yang siap menyantap meski belum menyadari kehadiran mereka yang berusaha agar selamat.
“Han...” panggil Wonbin pelan, genggamannya mengerat ketakutan.
“Gudang,” Anton berucap pelan. Di dua ruangan yang harus mereka lewati, ada sebuah tempat penyimpanan alat-alat olahraga yang biasa digunakan. Anton yakin di dalam sana banyak perlindungan yang bisa mereka kenakan dan pakai sebagai tameng untuk melawan. Maka, dengan aba-aba langkah pelan yang penuh hati-hati, mereka mencoba memasuki ruangan tersebut dengan zombi-zombi yang kapan saja bisa menoleh dan menyadari keberadaan mereka di sana.
“Pelan, jangan ada yang bersuara. Kita hampir sampe—fuck...”
Mereka menoleh kala terdengar suara kaleng minuman yang tak sengaja terinjak dan ciptakan bunyi nyaring yang mengundang zombi-zombi di sana menoleh.
“Lari! Geser pintunya dan langsung masuk!”
Seunghan di belakang memekik kencang supaya yang terdepan bergerak lebih cepat. Mereka berlari, menggeser pintu gudang susah payah karena mendadak macet—sementara zombi-zombi sudah berhamburan menyadari keberadaan mereka yang mengundang.
“Pintunya gak bisa dibuka!”
Eunseok susah payah bersikeras menggeser pintunya sampai bunyi decit yang ngilu terdengar. Dibantu dengan Seunghan yang menariknya kuat-kuat, pintu akhirnya terbuka dan muat untuk mereka masuk satu per satu lalu kembali ditutup tepat bersamaan dengan zombi-zombi yang berada di depan mengerang gagal. Mereka ambruk dan keluarkan napas gusar penuh perjuangan yang beradu di satu ruangan remang-remang karena lampu yang rusak.
“Udah pagi...”
Sohee bergumam setelah menyaksikan langit berganti melalui jendela yang menghadap taman belakang. Di sana banyak zombi-zombi berjalan kelaparan dengan langkah yang diseret paksa. Mereka berkeliaran dan diprediksi jumlahnya lebih banyak dari orang-orang di gedung ini yang masih hidup dan tidak terinfeksi.
“Pake ini,” Anton mengambil sarung pelindung tangan yang diambil di tumpukan dus-dus yang berserakan. “Nanti biar aku tambal pake yang lain. Kita harus lanjut keluar dan lawan mereka semua supaya bisa ke lantai tiga.”
Seunghan mengangguk, mengikuti Anton yang menyiapkan dua pasang sarung tangan untuk Eunseo dan Sohee, ia juga mengambilnya untuk Wonbin gunakan.
“Lo juga pake ini,” Seunghan ulurkan sepasang sarung tangan—kebetulan, di sana ada gulungan perban elastis yang fungsinya untuk menutup bagian tubuh yang terkilir. Seunghan langsung menarik Wonbin untuk duduk di kursi besi berkarat supaya ia bisa memasangnya dengan telaten. Jas hitam yang dipakainya kini berakhir dihempas, menyisakan kemeja putih yang lengannya digulung sampai sikut. “Buat sementara pake ini dulu. Kalo kita berhasil dievakuasi, nanti gue ganti pake yang lebih dari ini.”
Lagi. Wonbin terkesiap lagi. Kalimat Seunghan masih sama seperti ketika mereka ada di delapan belas remaja—tuturnya manis meski sewaktu-waktu mereka melayangkan canda. Belum lagi ada yang buat Wonbin tak percaya karena melihat sesuatu di pergelangan tangan Seunghan: gelang buatan tangannya yang tujuh tahun lalu diberikan, dibuat langsung oleh Wonbin dengan pick gitar sebagai gantungan. Bagai sihir yang terasa menenangkan di situasi genting, Wonbin merasa cukup lebih baik ada bersama Seunghan di sini.
“Sakit?” tanya Seunghan memastikan karena Wonbin begitu hening sedari tadi.
“Enggak—gak begitu sakit,” batuk sandiwara Wonbin keluarkan untuk menghilangkan canggung yang akan terasa. “Thanks.”
Seunghan menengadah, bibirnya melengkung tipis ciptakan senyum samar yang bahkan tak Wonbin sadari bentuknya. “Mmhm. Semoga bisa lebih enakan.”
Sunyi setelahnya. Mereka memandang ke luar jendela, matahari mulai terbit dan zombi-zombi masih ada di sana berkeliaran mencari mangsa baru untuk memperluas populasi.
“Lo nyesel gak?” tanya Wonbin dengan pelan, mencoba perlahan memulai obrolan. “Nyesel gak balik ke sini dan langsung dikasih situasi darurat kaya gini?”
Seunghan tertawa, tawa dengan suara kecil yang putus-putus. “Enggak. Enggak sama sekali. Gak ada yang bikin gue nyesel buat balik ke sini dan berakhir harus ada di situasi kaya gini—mungkin karena ada lo kali?”
Mulanya, banyak keraguan mengenai kembalinya Seunghan yang datang dan begitu mengejutkan. Karena pertama, Wonbin tak merasa selama Seunghan meninggalkannya, lelaki itu memiliki waktu untuk memikirkannya yang dibuat kebingungan mencari jawaban; apa alasan dari hubungan mereka yang kandas tiba-tiba ketika cinta sudah tumbuh besar dan banyak harapan yang disematkan? Lalu kedua, bagi Wonbin ada perkiraan yang besar bahwa Seunghan sudah memiliki sosok lain yang menggantikan tempatnya selama tujuh tahun terakhir.
Tapi pada detik ini, di tengah-tengah virus yang mewabah dengan keadaan kota yang hancur lebur, Seunghan memberi sebuah keyakinan pada dirinya untuk membuka celah. Hangatnya masih sama, dari tutur kata dan tatap mata, Seunghan masih melihatnya sama seperti kala itu ada bersamanya.
“Kita gak bisa lama-lama di sini.”
Eunseok tiba-tiba berucap dan meleburkan semua lamunan Wonbin yang berkilas balik pada saat dunia dan seisinya hanya terasa penuh cinta.
“Pake barang-barang yang sekiranya perlu.” Seunghan kemudian berdiri, mencari kembali benda-benda yang menurutnya berfungsi sebagai perlindungan diri untuk melanjutkan rencana yang tertunda karena mereka memilih mengambil jeda.
Dicari di tumpukan dan lemari-lemari yang berdebu, ada beberapa yang mereka dapatkan untuk melindungi diri dari serangan seperti pemukul bisbol, tongkat golf, juga tongkat sauk bola. Mereka dapatkan lalu dibagi-bagi sebagai senjata—setidaknya mereka berusaha, tak ingin mati sia-sia.
Seunghan mengambil senjata miliknya, “Kali ini biar gue yang pimpin jalan.”
Sepenggal kalimat yang buat Wonbin mendongak terkejut dengan mata membola. Keputusan yang menurutnya tak begitu tepat. Seunghan menyerahkan diri untuk memimpin barisan kali ini untuk sampai di kantin melewati puluhan zombi-zombi di sepanjang lorong—muncul kekhawatiran dalam diri yang mana buat Wonbin turut berdiri.
“Gue temenin.”
Tapi bukan senyum dan anggukan kepala yang Wonbin terima, Seunghan menolak tindakan inisiatifnya yang didasari dengan kepedulian begitu tinggi; Wonbin tak mau Seunghan terluka atau parahnya tidak berhasil di upaya bertahan hidup kali ini.
“Lo gak perlu, Bin. Kaki lo belum membaik, lo cukup—”
“Bisa percaya sama gue buat kali ini? Gue bisa, gue perlu berkontribusi buat rencana kali ini. Jadi, percaya gue buat ada di samping lo nanti.”
Seunghan total dibungkam. Wonbin tak bisa lagi ia lawan. Mata dengan binar redup itu tersisa banyak harapan. Tujuan mereka kali ini hanya dua; selamat lalu pulang—atau mungkin tiga, karena Seunghan dan Wonbin perlu membicarakan semua inti masalah secara dua mata.
“Tetep ada di samping gue sampe kita selamat nanti.”
Lalu mereka bersiap untuk rencana kali ini. Alat dan senjata sudah digenggam si masing-masing tangan, Seunghan mengulurkan tangannya untuk geser pintu dalam satu hitungan. Sempat ia melirik pada Wonbin di sampingnya juga tengah bersiap meski ada setitik rasa takut yang tersirat. Semoga selamat, dua kata yang Seunghan rapal dalam hati kuat-kuat.
“Jalan!”
Mereka keluar dalam bentuk dua barisan. Alat pemukul sudah siap untuk menebas zombi yang datang—untungnya tepat, mereka mulai berdatangan dan Seunghan jadi yang pertama kali menggunakan pemukulnya untuk membunuh mereka secara cepat; memukulnya tepat di kepala sebanyak mungkin lalu mendorongnya jatuh dengan darah-darah yang menyembur. Sama dengan Wonbin, meski tangannya gemetar dan menggigil, ia berusaha menghilangkan rasa takut dengan terus memusnahkan mereka menggunakan alat pemukul yang dipegangnya.
Penuh keringat dan darah, mereka bersatu untuk lawan kawanan zombi yang semakin padat mendatangi. Di barisan belakang juga sekuat tenaga memukul zombi-zombi yang menyelip dan berlagak agresif menunjukkan kelaparannya yang ingin segera diatasi. Kemeja-kemeja putih yang dikenakan sudah tak se-rapi ketika mereka datang sebagai tamu undangan, kini bentuknya sudah lusuh penuh noda juga bau yang tak sedap. Tapi mereka tengah berjuang untuk menghentikan kekacauan ini dengan terus menyatukan sisa tenaga untuk sampai di lantai tiga.
Konsentrasi yang berkurang karena tak memiliki asupan selama berhari-hari membuat Wonbin hampir terhuyung jika Seunghan tidak segera menariknya.
“Tahan, sebentar lagi kita sampe.”
Penuh amarah yang membara karena tak selesai-selesai menghadapi mereka, Seunghan menanggalkan seluruh tenaganya untuk melangkah lebih banyak dan menghabisi satu per satu dari mereka sampai keringat bercucuran dari pelipisnya.
“Udah habis, kita naik!”
Zombi-zombi yang mereka hadapi sudah gugur di atas lantai dengan sebagian tongkat-tongkat yang menancap. Sekarang langkah mereka dibawa lari menaiki tangga menuju lantai tiga, pintu ruangan siaran untungnya mudah dibuka. Mereka masuk kemudian mulai mengotak-atik seisi benda di sana.
“Kita bisa pake mikrofon ini buat bikin pengumuman untuk yang masih hidup supaya kumpul di satu tempat.”
Wonbin menunjuk mikrofon di atas meja siaran yang lengkap berjajar dengan peralatan lainnya yang sudah terhubung dan siap digunakan. Baru saja di antara mereka hendak menyentuhnya, gerakan harus terhenti ketika radio di ujung meja berdesik hendak berbunyi menyiarkan sesuatu.
“Peringatan darurat. Saat ini virus sudah mewabah di seluruh kota. Bantuan-bantuan sudah dikirimkan ke puluhan ribu pos karantina selama waktu dan akan berlangsung sampai waktu yang berjalan selama wabah masih merebak. Saat ini jumlah warga yang diamankan oleh negara sudah berangsur sebanyak delapan puluh lima persen. Untuk tindakan darurat, pemerintah akan melakukan pemusnahan di beberapa titik selama beberapa hari kedepan untuk meminimalisir banyaknya korban yang terinfeksi.
Titik pertama yang akan dilakukan pemusnahan adalah ibu kota. Dengan menggunakan ledakan bom yang dapat menghancurkan seluruh tatanan kota, kami menghimbau untuk warga yang belum dievakuasi agar segera mengirim sinyal bantuan karena pemusnahan akan dilaksanakan dalam kurun waktu dua puluh empat jam. Dan dalam sisa waktu tersebut, internet dan listrik akan dipadamkan demi kelancaran tindak operasi yang akan datang.”
Kini gurat gelisah, gentar, dan cemas ada di setiap ekspresi mereka begitu jelas. Pengumuman darurat selesai diwartakan dan bukan sebuah ketenangan yang mereka dapat mengingat mereka tak sempat dievakuasi dari jauh-jauh hari. Tersisa dua puluh empat jam mulai dari saat ini dan mereka tak memiliki ide apa yang harus dilakukan selanjutnya untuk menyelamatkan diri.
“Sekarang kita harus apa?”
Pertanyaan dari Anton dibalas hening yang teramat dalam. Masing-masing dari mereka tak berani mengeluarkan pendapat karena takut membuat langkah yang salah mengingat ada batas waktu untuk selamat.
“Kita harus tetep hidup.”
Wonbin menarik kursi di depan mikrofon untuk lekas bertindak karena sekarang mereka bukan hanya berusaha selamat, tapi juga sedang dikejar waktu yang berjalan dengan cepat.
“Satu-satunya tempat supaya kita bisa kirim sinyal bantuan yang lebih jelas adalah rooftop. Tim penyelamat bakal mastiin keadaan kota sebelum lepasin bom ledakan dalam waktu dua puluh empat jam yang akan datang. Jadi kita bisa bikin sinyal bantuan kalo kumpul di atap yang masih mereka bisa jangkau, ‘kan?”
Alis berkerut serius juga anggukan penuh setuju Wonbin simpulkan bahwa tindakannya cukup benar. Maka, mikrofon diaktifkan lalu Wonbin mengatakan informasi dengan lantang yang akan terdengar dari setiap ruangan hingga ke penjuru gedung. Zombi-zombi di luar sana hanya mengaung tak paham, tapi beberapa tamu undangan—yang sudah bersembunyi di tempat yang sama juga beberapa yang lain berpencar mengamankan diri tanpa secuil informasi—dibuat merasakan adanya harapan dan semangat hidup untuk lanjut berjuang.
“—we will wait for you.”
Kalimat terakhir yang Wonbin katakan sebagai penutup pengumuman lalu mikrofon dimatikan. Ditariknya napas panjang yang tak pernah terasa sebegitu berat sepanjang hidupnya. Dunia benar-benar nyaris luluh lantak dan kepercayaan diri mereka untuk selamat kian menipis, sebab untuk sampai di atap bukan hal yang mudah—tapi besarnya keinginan untuk tetap hidup masih begitu cerah.
“Siap-siap, ini usaha terakhir kita buat selamat.”
Wonbin menghapus jarak, mendekat pada Seunghan yang tampak gusar. “Lo takut?” tanyanya dengan wajah yang berusaha tetap sumringah, Seunghan memandangnya bagai nirmala di tengah puing-puing yang hancur tak berupa.
“Takut,” Seunghan menjawab dengan pelan tanpa ekspresi apa pun, datar dan penuh kecemasan. “Gue enggak tau. Karena kalo ada pilihan, gue lebih baik mati sekarang daripada nanti setelah sekian hari udah berjuang.”
“What a loser,” Wonbin memberi tanggapan untuk mencairkan suasana yang dirasa terlalu menegangkan. “Kalo mau mati, jangan mati di depan gue. Gue gak mau jadi saksi kematian siapa pun di sini. Apalagi jadi saksi kematian lo di kekacauan ini.”
Seulas senyum diukir kagum. Seunghan tahu, Wonbin mengatakan itu semua tak memiliki maksud yang sama kasarnya dengan kata per kata yang diucap penuh ancam dan penegasan. Itu bentuk Wonbin mengutarakan kepedulian dan rasa sayang, ketakutan yang sempat merenggutnya kini perlahan memudar lalu hilang.
“Gue enggak bakal mati. Lo juga gak bakal jadi saksi gue mati. Kita bakal selamat dan besok kita ngobrol lebih banyak.”
Dengan tenggorokan yang tercekat juga kedua mata yang memanas, Wonbin mengangguk mengidahkan apa yang Seunghan katakan dengan selipan harapan. Karena Wonbin, dari hati terdalam menginginkan ada hari esok untuk ia dan Seunghan berbicara perihal apa saja yang sempat terlewatkan.
Tersisa beberapa jam lagi tapi mereka mendadak berhenti.
Tiga bunyi peluru tembakan mendengung berurutan. Tak ada pekik dan teriak penuh rasa sakit, ketiganya mengakhiri dengan hikmat dan penuh kasih. Seunghan dan Wonbin tak begitu lapang dada menyaksikan kejadian yang begitu memilukan di menit-menit yang tersisa, tapi mereka harus terus berlari karena tak ingin menjadi yang sia-sia.
Eunseok, dengan begitu sayangnya, menjadi pertama di antara mereka yang terinfeksi karena tindakan heroiknya yang menahan barisan supaya tetap aman. Luka di lengannya disaksikan langsung penuh rasa duka dan tak terima. Tangis menggelegar untuk pertama kalinya. Dengan Sohee bersimpuh di sisi juga Anton yang berlutut memeluk, rasa sakit yang tak diduga akan terjadi ketika keberhasilan telah menanti.
“Lanjut. Tetep lanjut—”
Kalimat Eunseok diucap terbata-bata karena parasit mulai tenggelam di seluruh tubuhnya, lambat laun kulitnya menyembulkan urat-urat kebiruan juga bola mata yang perlahan tertutup terganti dengan merah mengerikan—baik Sohee dan Anton, mereka tak terlihat memiliki setitik ketakutan. Menoleh ke arah Seunghan dan Wonbin di belakang yang mematung tak memiliki ide untuk menolong, Sohee dan Anton memberi isyarat agar mereka melakukan perjalanan hanya berdua.
“We can’t—” Wonbin berkata tak tega.
“Just leave us,” Sohee menatap penuh permohonan. “Please.”
Seunghan menarik satu per satu jemari Wonbin untuk dibawa dalam sebuah genggaman. Ibu jarinya mengusap pelan punggung tangan Wonbin untuk meyakinkan. Mereka tak punya pilihan. Begitu Anton mengeluarkan senjata api miliknya dengan tiga peluru terakhir di sana, Seunghan membawa Wonbin berbalik badan dan melanjutkan langkah mereka dengan berlari kencang.
Mereka berlari, terus berlari tanpa henti karena penat sudah tak lagi bisa diresapi. Keguguran yang tak mereka inginkan agar terjadi, kini menjadi trauma yang akan mereka ingat sampai mati.
Mendobrak pintu besi mengandalkan sisa tenaga yang seharusnya sudah tak bisa dibawa berdiri, Seunghan dan Wonbin berhasil mencapai tujuan mereka yang menghabiskan hitungan hari tanpa jeda untuk berhenti sejenak. Di sana, di bagian gedung tertinggi mereka menyaksikan pemandangan kota yang sudah porak-poranda.
Kota yang biasanya tersuguh megah dengan lampu-lampu jalan yang menyala kini berubah seperti gambaran kota mati di komik yang pernah Seunghan baca. Tak seperti dugaannya setelah mengumumkan orang-orang untuk berkumpul di atap seperti susunan rencananya, Wonbin tak temukan satu dari mereka—bahkan berkurang jumlahnya, menyisakan mereka berdua yang kini beringsut bersandar pada dinding setengah rapuh.
“Cuma kita yang ada di sini, Han.”
Wajah penuh bercak-bercak noda Seunghan usap dengan telapak tangannya, “Cuma kita.”
Mereka duduk berdua, menyaksikan kepulan asap dari jauh sana. Bahu Seunghan dijadikan sandaran bagi Wonbin setelah sekian lamanya. Sisi wajahnya bersandar di sana, tumpahkan penat dan rasa yang mati karena banyak sebab.
“Maaf,” Seunghan berucap. “Maaf karena cuma gue yang ada di sini.”
“Lo lebih dari cukup,” Wonbin mengangkat pandangannya. “Gue beruntung punya lo di sini karena gue enggak mau sendiri lagi, apalagi waktu dunia nyaris kiamat. Gue enggak mau—”
Kalimat Wonbin yang tersendat dihentikan oleh Seunghan dengan rupa bentuk ciuman. Ciuman sederhana dengan ribuan rasa bersalah yang menumpuk di dalam benaknya. Meninggalkan Wonbin yang tak pernah ingin dibiarkan sendirian adalah kekejaman yang Seunghan lakukan—sakitnya terasa ketika Seunghan rasakan basah di pipi Wonbin tatkala telapak tangannya menyapu di sana.
Dunia bisa kacau dan hancur lebur, tapi tak akan Seunghan biarkan Wonbin dengan ringkih menghadapinya sendirian lagi. Seumpama hanya satu orang yang bisa dibawa dan diberi penanganan yang layak sebagaimana mestinya penyintas bencana, Seunghan akan mendorong Wonbin untuk maju dan meninggalkan dirinya tanpa banyak kata; Seunghan bersedia memberikan segala sebagai gantinya.
Tapi tidak. Bagi Wonbin, hadirnya Seunghan yang tiba-tiba adalah hal yang cukup untuk ia anggap terbayar lunas sudah penantiannya. Karena, sungguh, Wonbin hanya perlu menatap langsung Seunghan di depannya dengan keadaan yang lebih baik dari pertemuan terakhir. Maka ketika hari itu Seunghan berdiri memohon untuk diberi akses masuk di belakang panggung, Wonbin total tertegun; perawakan Seunghan masih sama meski matanya tak lebih segar karena kelelahan bekerja, rambutnya masih tertata rapi meski modelnya diganti jadi lebih dewasa, semua masih sama dan yang Wonbin inginkan adalah membawanya dalam dekapan erat sampai dadanya terasa sesak.
Tapi ada yang lebih Wonbin dapat; ciuman lembut meski bumi tengah luluh lantak. Di sini, bersama Seunghan, semua terasa jauh lebih aman. Dingin seperti hangat. Kacau seperti damai. Pilu seperti rayu. Mereka kembali satu. Yang hancur adalah bumi, tapi mereka siap benahi apa yang sempat terjadi. Siapa bilang di tengah kiamat terjadi tak dapat ada yang bersiap untuk menyambutnya dengan suka hati? Mereka telah jadi bukti.
“Kita selamat.” Wonbin berbisik setelah pagutan lepas dan menyadari bahwa bantuan akan segera datang di menit terakhir yang mereka miliki.
“Kita selamat.” Dibalas dengan makna lain oleh Seunghan dengan seulas senyum begitu apik. Jika dibandingkan dengan suasana kota yang hendak hancur dalam beberapa menit, itu akan jauh berbanding terbalik.
Mereka selamat. Mereka menyelamatkannya.